Pedekate

2065 Kata
“Mik, kamu mau ke mana?” tanya Alex saat melihat sahabatnya sudah berdandan rapi. Gabby yang baru keluar rumah untuk melihat apakah sudah dijemput atau belum, menoleh ke arah Alex yang baru saja melompati pagar setinggi pinggang yang sengaja dibuat di samping rumah. “Mau kursus, kenapa?” Alex menghampiri Gabby dan berkata sambil lalu pada gadis itu. “Aku anter ya? Mumpung aku nganggur nih, mau?” “Nggak, nggak usah, gue bisa pergi sendiri.” “Tumben nggak mau? Biasanya malah kamu yang ngerengek-rengek biar aku mau anterin dan jemput?” Gabby bersidekap di hadapan Alex dan menatap angkuh pada sahabatnya itu. “Sekarang nggak usah lagi,” sahut Gabby. “Kan gue udah gede, udah bisa pergi ke mana-mana sendiri.” Gabby sengaja berkata seperti itu karena tidak ingin Alex tahu kalau dia akan dijemput oleh Levin. Bisa berbuntut panjang kalau sahabatnya tahu. Alex pasti akan bercerita pada Helen dan Tanti, serta meledeknya tanpa henti. Seperti itulah menyebalkannya seorang Alexander Tobias Darmawan, sahabat, sekaligus teman ributnya sejak kecil. Namun, Alex akan selalu berdiri paling depan kalau ada orang yang mencoba menyakitinya. Alex hanya mengangkat bahu tidak peduli mendengar jawaban Gabby. “Ya udah kalo nggak mau, aku sih malah seneng.” Gabby yang sejak tadi mencoba tidak marah, akhirnya kesal juga mendengar perkataan Alex. dia mengentakkan kaki sambil melontarkan kekesalan pada Alex. “Belagu banget deh jadi orang.” Gabby mendekati Alex dan secepat kilat, tangannya menjitak kepala sahabatnya dengan keras. Setelah itu, dia langsung melarikan diri ke rumah Alex untuk meminta perlindungan dari Tanti. “Sakit tau Mik.” Alex berlari mengejar Gabby yang sudah membuka pagar samping dan masuk ke rumahnya. Gabby berlari ke rumah Alex dan bertemu dengan Tanti yang baru keluar dari kamar. Dengan sengaja, Gabby berdiri di balik punggung Tanti, menunggu Alex datang. Saat sahabatnya tiba, Gabby meleletkan lidah dari belakang tubuh Tanti, kemudian tersenyum puas, karena dia tahu kalau Alex tidak dapat melakukan apapun jika ada ibunya. “Wah curang, beraninya ngumpet di belakang Bunda.” Gabby tersenyum puas melihat wajah gusa Alex yang tidak dapat membalas. “Biarin, sirik banget deh jadi orang.” “Kalian tuh kenapa sih? Selalu begini kalo ketemu, mirip banget sama Tom dan Jerry,” ujar Tanti yang kerap dibuat pening dengan kelakuan Gabby dan Alex. “Dia duluan Bun.” Alex menunjuk ke arah Gabby dengan gusar. “Masa ngejitak kepala aku kenceng banget, kan sakit.” “Bohong Bun, Alex yang duluan kok,” sahut Gabby tidak mau kalah. Tanti menggeleng mendengar keributan di antara Alex dan Gabby. “Kalian ini, beneran deh, bikin kepala Bunda sakit.” Gabby yang berdiri di belakang Tanti, merasa tidak enak saat mendengar perkataan wanita itu. Dia memeluk Tanti dari belakang dan berkata dengan manis. “Maapin Gabby ya Bun.” Tidak lupa Gabby mengecup pipi wanita itu. Setelah itu, Gabby berjalan keluar untuk melihat apakah Levin sudah datang atau belum. Dia melewati Alex begitu saja tanpa mengatakan sepatah katapun. “Kamu mau ke mana By?” tanya Tanti saat melihat Gabby keluar. Gabby berhenti melangkah dan berbalik ke arah Tanti. “Mau kursus Bun, kenapa?” “Kamu pergi sendirian?” “Ng …, kalo iya, emang kenapa Bun?” “Nggak mau dianter sama Alex?” Tanti menatap ke arah putranya yang masih berdiri dan menatap Gabby. “Anaknya nggak mau Bun, katanya Mikha udah gede dan bisa pergi sendiri,” sahut Alex datar. Kali ini Tanti menatap Gabby yang berdiri sambil meringis malu ke arahnya. “Iya gitu?” “Emang nggak boleh ya Bun?” Tanti tersenyum pada Gabby sebelum mejawab pertanyaan gadis itu. “Boleh aja sih, cuma rasanya aneh aja. Kamu kan selalu nempel sama Alex, ke mana-mana selalu berdua. Kan Bunda jadi bingung dan penasaran.” Gabby menundukkan wajah karena malu mendengar perkataan Tanti. Dia tidak mungkin mengakui alasan yang sebenarnya menolak kebaikan hati Alex. “Ayo jujur sama Bunda, pasti ada alesannya kan kamu mau pergi sendiri?” “Sebenernya Gabby mau dijemput sama temen Bun, tapi mama belum tau. Bunda jangan bilang-bilang dulu ya ke mama.” “Ah …, ternyata karena itu.” Tanti tersenyum lebar setelah mengetahui alasan Gabby. Dan dia yakin jika teman yang dimaksud gadis itu pastilah laki-laki. “Baiklah, Bunda ngerti sekarang. Kamu tenang aja, Bunda nggak akan kasih tau mama kamu dulu.” “Bunda baik banget sih.” Gabby berlari ke arah Tanti dan memeluk wanita itu erat-erat. “Bunda emang baik, tapi kan masih ada aku.” Alex sengaja mengganggu Gabby lagi. “Aku aja yang ngasih tau mama kalo kamu mau dijemput sama cowok.” Gabby mendelik mendengar perkataan Alex. Dia mengacungkan telunjuknya ke arah Alex. “Awas kalo berani ngomong ke mama! Gue beneran nggak akan maafin elo!” Alex tidak menjawab perkataan Gabby, malah berjalan ke kamarnya. Hatinya sakit mengetahui kalau gadis yang sudah disuka sejak SMP itu akan pergi dengan laki-laki lain. “Bun, Alex kenapa?” ujar Gabby yang bingung melihat kelakuan sahabatnya. “Entah,” sahut Tanti. Tanti tidak mungkin mengatakan pada Gabby kalau putranya pasti kecewa mendengar Gabby akan pergi dengan laki-laki lain. Dia tahu perasaan Alex untuk Gabby, akan tetapi tidak dapat membantu apa-apa. Jika memang sudah jalannya, pasti suatu saat Alex akan bersama dengan gabby. Itulah prinsip yang dipegang teguh oleh Tanti. “Bun, Gabby ke kamar A-” Gabby tidak meneruskan ucapannya karena ponselnya bergetar. Dia melihat ada pesan baru dari Levin yang memberitahu kalau pemuda itu sudah tiba dan menunggu di depan rumahnya. “Bun, maaf, Gabby pergi dulu ya, udah dijemput di depan.” Gabby mengecup Tanti sekilas, kemudian berlari keluar untuk menemui Levin. Dia berlari keluar dari rumah Alex dan melihat Levin duduk di atas motor, tepat di depan rumahnya. “Hai,” sapa Gabby saat tiba di dekat Levin dengan napas sedikit terengah. Levin yang melihat Gabby keluar dari rumah lain, mengernyit bingung dan tidak suka. “Rumah kamu bukannya yang ini?” Levin menunjuk ke arah rumah Gabby. “Iya.” “Terus barusan dari mana?” Terdengar sedikit nada curiga dalam suara Levin saat bertanya pada Gabby. “Oh, itu rumah tetangg aku, sekaligus temen main, dan temen ribut dari kecil. Dan aku juga udah kayak keluarga mereka.” “Temen kamu cewek kan?” Gabby meringis mendengar pertanyaan Levin. “Bukan, temen aku itu cowok, namanya Alex. Nanti deh kapan-kapan aku kenalin sama kamu. Anaknya asik juga kok, kayaknya kalian bakalan cocok.” Levin hanya tersenyum simpul mendengar ucapan Gabby. Dia tidak peduli sedikitpun dengan penjelasan gadis itu. Levin juga tidak berniat untuk berkenalan dengan pemuda yang dimaksud Gabby. Tujuannya hanyalah Gabby, dan bagaimana caranya mendapatkan gadis itu. Levin menyodorkan helm pada Gabby. “Ayo naik, terus kita berangkat, biar nggak telat masuk kelas.” “Iya.” Gabby menerima helm yang diberikan Levin, memakainya dan duduk di belakang Levin. Levin menunggu hingga Gabby duduk dengan benar, kemudian menyalakan mesin dan meninggalkan rumah gadis itu. Dia mengendarai motor menuju tempat kursus sambil memikirkan apa yang harus dikatakan untuk membuat Gabby tertarik padanya, dan mau menjalin hubungan dengannya. Tiba di tempat kursus, Levin membantu Gabby turun dari motor untuk memberikan kesan dia adalah pria yang baik pada gadis itu. Gabby dan Levin jalan bersisian menuju ruangan tempat mereka akan belajar membuat kue. Ada gelenyar aneh di d**a Gabby saat Levin mengambil tangannya tanpa permisi dan menggandengnya begitu saja. “By, pulang kursus ada acara nggak?” tanya Levin sebelum mereka masuk ke dalam ruangan berlatih. “Nggak, kenapa?’ sahut Gabby santai. “Kita jalan-jalan sebentar, mau nggak?” Gabby menggigit ujung bibirnya mendengar perkataan Levin. Dia sudah menunggu kapan tepatnya pemuda itu akan mengajaknya kelaur, dan ternyata hari inilah waktunya. Tentu saja Gabby senang, akan tetapi dia berusaha menutupi perasaan yang sebenarnya. “Ke mana?” tanya Gabby seolah tidak peduli. “Terserah kamu mau ke mana,” sahut Levin. “Kok gitu?” Levin berhenti dan menatap Gabby sambil memamerkan senyum manis miliknya. “Aku mau kenal kamu lebih lagi By, jadi ke manapun nggak masalah, asal sama kamu.” Merona sudah pipi Gabby mendengar perkataan manis Levin. Dengan malu-malu, Gabby memegangi kedua pipinya untuk menutupi rona merah yang pasti menghiasi wajahnya. “Mau nggak?” tanya Levin yang tidak terpengaruh dengan sikap Gabby yang seperti itu. “Mau,” sahut Gabby cepat. “Tapi enaknya ke mana ya? Nongkrong di kafe aja, mau?” “Bebas, semuanya terserah kamu. Aku tinggal ngikutin aja.” “Oke, kalo gitu aku pikirin dulu ya enaknya ke mana. Nanti pas selesai kursus, aku kasih tau ke kamu.” Setelah itu, baik Gabby maupun Levin berkosentrasi mempelajari materi yang diberikan, serta mempraktekkan secara langsung apa yang sudah didapat dari pengajar. Levin menunggu Gabby di depan pintu kelas sampai gadis itu keluar. “Kamu udah tau mau ke mana?” Levin langsung menodong jawaban Gabby begitu gadis itu tiba di hadapannya. “Udah dong, dan aku yakin kamu pasti suka.” “Oke, kalo gitu kita langsung pergi, supaya nggak kemaleman pas anter kamu pulang.” Gabby dan Levin berjalan bersisian ke tempat parkir. Setelah mengenakan helm dan duduk di belakang, Levin langsung menjalankan motor ke tempat yang dimaksud Gabby. Saat melihat tempat yang dimaksud Gabby, Levin sedikit tercekat karena kafe yang diinginkan gadis itu terlalu romantis untuknya yang tidak terbiasa dengan hal seperti itu. Namun, Levin memilih diam dan mengikuti Gabby yang sudah terlebih dahulu masuk. Gabby memilih tempat di luar ruangan supaya dapat mengobrol dengan lebih nyaman, tanpa terganggu orang-orang yang lalu-lalang di dalam. “Kenapa ngeliatin aku terus?” tanya Gabby setelah selesai memesan makanan dan minuman. “Kamu cantik, dan aku nggak bosen ngeliatin kamu.” Untuk sesaat, Gabby tertegun mendengar perkataan Levin yang sangan terus terang itu. “Gombal banget deh.” “Nggak kok, aku serius. Rasanya nggak pengen pulang, maunya sama kamu terus.” Pipi Gabby semakin merona mendengar rayuan Levin. “Terus?” tanya Gabby dengan hati berdebar. “Pengen bisa ngabisin hari sama kamu, ke mana-mana selalu berdua. Pokoknya ngelakuin semua hal berdua sama kamu.” “Maksud kamu apa sih? Coba ngomong yang jelas.” “Kalo kamu ijinin, aku mau jadi orang yang paling spesial buat kamu.” Gabby menatap Levin lekat-lekat, mencari kebohongan di sana. Namun, dia tidak melihat apapun selain keseriusan. “Tapi kita belum lama ketemu kan? Kamu belum kenal aku banget, ketemu juga cuma di tempat kursus, paling ngobrol di telepon. Gimana bisa kamu udah suka sama aku dan pengen jadi yang spesial buat aku?” “Nggak tau By, mungkin ini yang dibilang cinta pada pandangan pertama. Waktu liat kamu pertama kali, hati aku yakin banget kalo kamu itu takdirnya aku.” “Kamu nggak lagi nyoba mainin perasaan aku kan?” Hanya itu yang bisa Gabby katakan, karena dia benar-benar dibuat tidak berkutik dengan semua ucapan Levin yang terdengar sangat serius. “Mana mungkin mainin perasaan kamu By,” sahut Levin sedikit gusar. “Aku beneran serius sama kamu.” “Gile aja deh, ini beneran mendadak banget loh. Dan aku nggak bisa jawab sekarang.” “Nggak masalah,” sahut Levin yang sudah kembali bersikap manis seperti biasa. “Aku bakal nunggu sampe kamu siap ngasih jawaban. Dan selama waktu itu, biarin aku ada di samping kamu, dan nunjukkin kalo aku beneran serius sama omongan aku.” “Kalo aku kelamaan mikirnya gimana?” tantang Gabby. “Nggak masalah. Mau sepuluh, seratus tahun, aku pasti tungguin.” Gabby terkekeh geli mendengar perkataan Levin barusan. Dia tidak menyangka kalau pemuda itu ternyata bisa melucu juga. “Kenapa ketawa?” Levin sedikit tersinggung ketika melihat Gabby tertawa. “Kamu lucu juga ya,” ujar Gabby yang belum bisa berhenti tertawa. “Masa iya mau nunggu seratus tahun? Mana bisa? Yang ada, kita tuh udah ada di dalem kuburan kali. Mana ada orang yang umurnya seratus tahun lebih? Itu cuma ada di jaman dulu kali.” Wajah Levin yang mengeras, berubah menjadi biasa kembali setelah mendengar penjelasaan Gabby. “Aku kira kamu sengaja ngeledek aku,” ujarnya lembut. “Ternyata karena masalah seratus tahun. Habisnya aku bingung gimana bikin kamu percaya kalo aku beneran serius.” “Nggak usah gitu juga kali. Tunjukkin dan buktiin aja, itu udah cukup buat aku.” Levin menatap Gabby dalam-dalam dan berkata dengan suara pelan, akan tetapi sangat jelas di telinga Gabby. “Pasti,” sahutnya mantap. “Aku bakal buktiin sama kamu kalo aku serius dengan ucapan aku.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN