Keputusan Gabby

2084 Kata
Alex dan Gabby masuk ke dalam rumah melalui pintu penghubung antara garasi dan ruang tamu. Mereka berjalan berdampingan hingga ke ruang keluarga. Tanti dan Simon yang memang belum tidur, terkejut melihat kedatangan Gabby. “Loh? Kenapa kamu ke sini By?” ujar Tanti yang tidak dapat menutupi rasa terkejutnya. “Mikha mau tidur di sini Bun.” Alex mewakili Gabby menjawab pertanyaan Tanti. Tanti berdiri dan menghampiri Gabby yang terlihat gusar sekaligus lelah. Dia memegang kedua bahu gadis itu. “Loh, emang kenapa? Kamu lagi ada masalah di rumah? Tapi kan kamu sama Alex baru pulang dari jalan-jalan.” Gabby yang sedang tidak enak hati, maju semakin dekat dan meletakkan kepala di bahu Tanti dan berujar dengan suara lirih. “Gabby nggak ada masalah di rumah Bun. Gabby cuma lagi pengen nginep di sini aja. Kan udah lama kan Gabby nggak tidur di sini. Boleh kan?” Simon yang sejak tadi memperhatikan raut wajah Gabby tahu jika saat ini gadis itu sedang gelisah. Terlihat jelas dari bahasa tubuhnya, dan sorot mata Gabby pun sudah mengungkapkan semua. Dia merasa perlu menolong gadis yang sudah dianggap anaknya sendiri. “Iya, kamu boleh tidur di sini, seperti biasanya.” Simon menatap lembut ke arah Gabby. Gabby tersenyum lebar mendengar jawaban Simon. Dia melepaskan diri dari Tanti dan menghampiri ayah Alex. Tanpa sungkan, dia memeluk Simon dengan erat. “Makasih Pi,” ujarnya lirih. “Kalo gitu, sekarang Gabby langsung tidur. Gabby udah cape dan ngantuk.” Setelah mengecup pipi Tanti dan Simon, Gabby berlari ke kamar Alex untuk beristirahat. Dia ingin merebahkan diri dan mencoba melupakan tentang Levin. Kepalanya terasa berdenyut karena ulah kekasihnya sejak tadi pagi. Setelah Gabby menghilang ke dalam kamar, Simon memandang Alex yang masih berdiri di samping Tanti. Dengan suara tenang, dia bertanya pada putranya yang sejak tadi memandang ke arah kamar. “Boleh Papi tau ada apa?” Alex mengembuskan napas mendengar pertanyaan Simon. Dengan langkah diseret dia berjalan ke sofa dan duduk di dekat ayahnya. “Panjang ceritanya Pi,” ujar Alex lelah. “Kalo panjang, kamu bisa ceritain dari sekarang, atau kamu bisa bikin jadi singkat tanpa ngurangin inti masalahnya.” Alex kembali mengembuskan napas mendengar ucapan Simon. Dia tahu percuma saja membantah ayahnya. Simon memang pria yang jarang bicara, akan tetapi sekali berkata, tidak ada orang yang berani menentang atau mengajukan keberatan. Akhirnya, alex pun menceritakan semuanya pada Simon dan Tanti tentang bagaimana sikap Levin pada Gabby. Sambil berbicara, matanya tak lepas memandang ke arah pintu kamar. Dia khawatir Gabby tiba-tiba keluar kamar dan mendengar dirinya menceritakan semua pada kedua orang tuanya. “Ya Tuhan,” desah Tanti setelah Alex selesai bercerita. “Kok bisa yang kayak begitu jadi pacarnya Gabby? Apa nantinya nggak akan jadi masalah? Kasian Gabby kalo begini terus.” “Terus sekarang, anaknya masih ada di depan?” tanya Simon tenang. “Nggak tau Pi, Alex nggak perhatiin lagi.” Simon memandang putranya yang terlihat sedikit gusar setelah bercerita. Dia tahu apa yang saat ini dirasakan Alex. “Coba kamu liat dulu ke depan.” Dengan sedikit enggan, Alex berdiri dan berjalan ke depan untuk melihat apakah Levin masih berada di depan rumah Gabby. Dia menyibak tirai dan mengintip, akan tetapi tidak dapat melihat dengan jelas. Alex memutuskan untuk keluar dan melihat secara langsung. Setelah memastikan, Alex masuk ke dalam dan kembali ke ruang keluarga. Dia duduk di samping Tanti dan memberi laporan pada Simon. “Masih ada Pi, dan nggak ada tanda-tanda Levin mau pergi.” “Ya ampun,” desis Tanti terkejut. “Itu anak mau sampe jam berapa ada di sana? Apa nggak cape dan ngantuk?” Tanti memandang ke arah jam dinding, kemudian mengalihkan tatapan pada Simon. “Pi, apa nggak kita suruh Levin ke sini, dan ngobrol sama Gabby aja?” Simon menggeleng tegas dan balas menatap istrinya. “Jangan, biar gimana juga, ini udah bukan jam yang tepat buat berkunjung. Apalagi Gabby kan anak perempuan, dan nggak sopan dateng berkunjung jam segini.” “Terus gimana dong?” sahut Tanti tidak tega. “Biarin aja,” sahut Simon tenang. “Kalo itu anak emang beneran tulus sayang sama Gabby, dia pasti mau nunggu sampe besok. Biarin dia nunggu di sana, Papi yakin nggak lama lagi juga dia pulang.” “Papi yakin?” “Hm,” sahut Simon. “Nggak ada orang juga yang mau nunggu sampe lama banget. Dia juga pasti cape dan ngantuk kan?” “Iya juga sih,” gumam Tanti. “Tapi gimana sama Helen dan Abimanyu? Mereka pasti nungguin Gabby kan?” Mendengar perkataan Tanti, Alex langsung menjawab pertanyaan ibunya. “Tadi Mikha udah sempet telepon sama papa, dan bilang mau tidur di sini Bun.” “Bagus kalo gitu,” ujar Simon. “Sekarang, kita juga istirahat, udah malem juga kan.” Simon beranjak dari sofa. Namun, sebelum melangkah, dia menatap Tanti dan berujar. “Bun, Papi tau kamu sayang sama Gabby, tapi untuk kali ini, Papi minta kamu diem dan jangan ikut campur, oke? Biarin Gabby belajar nyelesaiin masalahnya sendiri, bisa?” Tanti yang tadinya berniat untuk membantu Gabby, langsung diam dan dengan terpaksa menggangguk pada Simon. “Iya, Bunda bakal diem.” Simon mendengkus pelan melihat raut wajah gusar istrinya. “Kalo kamu ikut turun tangan, kapan Gabby jadi dewasa? Tapi nanti kalo dia tanya pendapat, kamu boleh kasih masukan.” “Iya, iya,” sahut Tanti paham maksud suaminya. “Bunda bakal diem dan nggak akan ikut campur.” Alex yang masih duduk di samping Tanti, menunduk dan mengulum senyum melihat kedua orang tuanya seperti itu. Selalu menyenangkan melihat interaksi Simon dan Tanti yang memiliki karakter yang sangat berbeda, seperti gula dan garam, akan tetapi selalu harmonis satu dengan yang lain. “Kamu juga Lex, cukup diem dan liatin dari belakang. Jangan coba-coba ikut campur, oke? Kecuali anak itu mau coba kasar sama Gabby, baru kamu boleh turun tangan.” “Iya Pi,” sahut Alex enteng. “Papi sendiri nggak akan tinggal diam kalo anak itu berani nyentuh Gabby,” ujar Simon sebelum meninggalkan ruang keluarga. *** Gabby keluar kamar dengan wajah ditekuk. Tidurnya terganggu akibat panggilan dan pesan beruntun dari Levin. Dia berjalan ke sofa dan melihat Alex masih tertidur nyenyak dengan Snowy yang menemani di karpet, dekat kepala pemuda itu. Tanpa permisi, dia duduk dan ikut berbaring di samping Alex, serta mendesak pemuda itu supaya bergeser ke dalam. Merasa terganggu, Alex membuka mata dan melihat Gabby ada di sampingnya. “Mau apa Mik? Ganggu orang tidur aja deh.” “Biarin! Geseran dikit ih!” Tanpa mengatakan apapun, Alex beringsut dan mmemberikan tempat supaya gadis itu dapat berbaring lebih nyaman. “Kamu kenapa Mik? Pagi-pagi, muka udah ditekuk kayak gitu? Jelek tau.” tanya Alex dengan mata terpejam. Sekilas tadi, dia melihat wajah kusut sahabatnya. “Biarin! Jangan ngomong sembarangan ya, gue lagi bete tingkat dewa!” “Kenapa?” Alex mengulang pertanyaannya pada Gabby dan tidak mempedulikan nada gusar gadis itu. Mata Gabby yang baru terpejam, kembali terbuka mendengar pertanyaan Alex. “Levin.” Hanya satu kata yang diucapkan Gabby dan langsung membuat Alex membuka mata dan menjadi segar sepenuhnya. Hilang sudah rasa kantuk yang tadi masih menggayuti kedua bola matanya. “Kenapa lagi?” “Semalem tuh ternyata dia tau kalo gue nggak pulang ke rumah. Dia liat mobil elo dateng, terus katanya nungguin gue, tapi guenya nggak balik ke rumah. Marahlah dia.” “Terus?” “Dia bilang habis pulang gereja mau ke sini dan nuntut penjelasan dari gue.” “Ya tinggal dateng aja, apa susahnya,” sahut Alex tenang. “Kamu kan nggak bikin salah Mik, kenapa mesti takut? Toh memang pada kenyataannya kamu itu sering tidur di sini.” “Kalo gini terus, gue capek beneran Lex,” ujar Gabby setengah mengeluh. “Kok dia beda banget sama waktu lagi pedekate. Cemburuannya parah banget, kan gue jadi nggak hepi pacaran sama dia. Kalo kayak gini, mending putus aja deh, enakan juga jomblo, pergi sama elo nggak ada yang marahin. Mau ngapain juga bebas, nggak ada yang larang.” “Ya kalo gitu tinggal putus aja sih,” sahut Alex semakin berani. “Kan dari kemarin aku juga udah bilang gitu ke kamu.” “Terus kalo putus, dan gue jadi sedih gimana dong?” “Ada aku ini, kenapa mesti bingung?” Gabby yang tadinya membelakangi Alex, langsung berbalik dan menatap Alex yang berbaring telentang dengan sebelah tangan menutupi mata. “Maksud lo?” Alex menoleh dan balas menatap Gabby yang memperhatikannya dengan wajah penasaran. “Aku bakal temenin kamu ngelewatin masa sedih kamu, sampe kamu biasa lagi. Kapanpun kamu butuh temen, aku pasti ada dan bakal temenin kamu sampe kamu nggak ngerasa kehilangan dia.” Mendengar jawaban Alex, Gabby merasa tenang dan semakin yakin dengan keputusannya untuk Levin. Dia beringsut bangun dan berjalan meninggalkan ruang keluarga. “Kamu mau ke mana Mik?” tanya Alex sebelum Gabby menghilang dari ruang keluarga. “Pulang, mandi, siap-siap nunggu Levin dateng.” Tanpa menoleh lagi, Gabby meninggalkan rumah Alex menuju rumahnya sendiri. Dia masuk ke kamar, mandi dan bersiap-siap menunggu kedatangan Levin di teras. Kedua orang tuanya dan Reni belum kembali dari gereja, sehingga di rumah hanya ada dirinya dan ART. Karena itulah, dia memilih menunggu di luar. Sekitar pukul sebelas siang, motor yang dikendarai Levin memasuki pekarangan rumah. Gabby yang memang sudah menunggu sejak tadi, langsung menegakkan tubuh dan berusaha meredakan debaran jantungnya yang berdetak kencang karena gugup. Dia tetap duduk di kursi teras dan menunggu di sana dengan cemas. Jantungnya berdetak semakin kencang saat Levin mendekat ke arahnya. “Kemarin kamu ke mana?!” tanya Levin begitu tiba di hadapan Gabby dengan suara tinggi. Berusaha tetap tenang, Gabby berdiri dan menatap langsung kedua bola mata Levin. “Emang kenapa? Apa aku mesti laporan sama kamu?” “Iya! Kamu itu pacar aku, jadi aku berhak tau kamu ke mana dan sama siapa!” “Kalo aku nggak mau kasih tau gimana? Toh kalo aku ngomong pun, kamu tetep nggak bakal suka dan bakal larang aku pergi!” “Kamu kenapa sih By?! Kamu sengaja mau nyari ribut sama aku?!” Levin mulai kehilangan kontrol dirinya dan tatapan matanya semakin liar saat memandang gadis itu. “Bilang sama aku kemarin kamu ke mana By! Aku tau kamu pergi sama tetangga kamu, dan pulang malem banget! Apa pantes anak gadis pulang semalem itu?! Kayak cewek nggak bener aja!” Gabby yang sejak kemarin memendam amarah pada Levin, tidak dapat menahan kedongkolannya lagi. Dia meluapkan unek-uneknya tanpa berpikir panjang. “Tetangga yang kamu sebut itu punya nama, A-L-E-X. Itu nama dia, dan asal kamu tau, dia itu lebih dari sekedar tetangga buat aku! Dia itu temen, sahabat, dan satu-satunya orang yang bisa ngertiin aku! Aku sama dia itu udah sering pulang malem, dan keluarga juga nggak pernah ngelarang! Kenapa kamu yang mesti sewot?! Baru jadi pacar aja udah nyebelin banget sih?! Kamu tuh nggak berhak larang-larang aku!” Levin mendelik marah mendengar luapan amarah Gabby. Dia tidak terima dengan perkataan gadis itu yang secara tidak langsung menyatakan kalau Alex lebih penting darinya. “Ternyata kamu kayak gini By! Aku nggak nyangka kalo kamu lebih mentingin orang lain daripada pacar kamu sendiri!” “Siapa bilang?!” bantah Gabby cepat. “Dari awal, aku udah coba ngertiin kamu dan semua kelakuan kamu! Aku nurut waktu kamu larang aku pergi sama temen-temen, nurut waktu kamu nggak ijinin pergi cuma karena kamu nggak bisa anter! Tapi lama-lama aku nggak tahan Lev!” Gabby mengambil napas sejenak, kemudian melanjutkan ucapannya. “Baru pacaran aja kamu udah kekang aku dan ngambil kebebasan aku, gimana nanti kalo udah nikah?! Aku tuh nggak suka dikekang! Papa sama mama aja selalu ngasih aku kebebasan, dan percaya kalo aku nggak macem-macem!” Levin mendengkus kasar mendengar perkataan pedas Gabby. “Ngasih kebebasan? Nanti kalo bablas beneran gimana?! Aku tuh larang kamu karena sayang sama kamu! Kamu tuh ngerti nggak sih kalo dibilangin?!” Gabby mengangkat kedua tangannya ke atas, menyerah memberikan penjelasan pada Levin. Akhirnya, dengan berat hati, dia menatap Levin dan berujar dengan suara bergetar. “Aku cape ngomong sama kamu Lev! Aku juga cape berantem terus sama kamu! Pacaran sama kamu bukannya hepi malah jadinya tertekan!” Mendengar perkataan Gabby, emosi Levin semakin meninggi. “Jadi kamu maunya apa?!” Gabby mengembuskan napas panjang. “Mending kita nggak usah ketemu dulu Lev,” ujar Gabby berusaha tegar. “Kamu pikirin dulu baik-baik semuanya. Kalo emang kamu sayang sama aku, dan masih mau nerusin hubungan sama aku, tolong jangan cemburuan dan ngekang aku. Jangan larang aku terus sahabatan sama Alex.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN