Tempat Pelarian

1967 Kata
Gabby meninggalkan teras dan berlari ke sebelah untuk menghindari Levin sambil menangis. Dia tidak ingin mendengar perkataan pemuda itu, karena takut akan goyah sehingga pada akhirnya akan menerima permintaan maaf Levin dan kembali berbaikan. Dia masuk ke dalam rumah Alex sambil berurai air mata, sehingga tidak melihat Alex yang sedang bermain dengan Snowy di ruang depan. “Mik, kamu kenapa?” Alex terkejut saat melihat Gabby masuk ke dalam rumah sambil menangis. Dia berdiri dan menghampiri Gabby yang terus terisak. Gabby menatap Alex dan berujar dengan suara tersendat. “G-gue h-habis ngomong sama Levin.” “Tentang?” “Gue minta dia mikir dan ….” Melihat Gabby yang terus menangis, dan ragu untuk berbicara, Alex menarik gadis itu dan memeluk Gabby dengan erat. Dia membiarkan gadis itu menumpahkan kesedihan di dalam pelukannya. Alex juga tidak mempermasalahkan ketika air mata Gabby membasahi kaos yang dikenakan. Dengan lembut, dia mengelus punggung Gabby. “Kalian habis ribut lagi?” tanya Alex setelah beberapa menit. Gabby mengangguk dalam pelukan Alex. Dia merenggangkan kepalanya dan berkata pelan. “Gua juga minta break dulu sama dia. Gue suruh dia mikir dulu.” “Tentang?” Sambil terisak, Gabby menceritakan tentang yang terjadi di teras tadi. Tidak lupa dia mengatakan tentang reaksi Levin yang seperti orang kehilangan akal saat mendengar permintaannya tadi. “Terus kenapa sekarang nangis? Bukannya harusnya kamu lega?” tanya Alex setelah Gabby selesai bercerita. “Tapi kan sedih Lex,” gerutu Gabby sambil mengerucutkan bibirnya. Biar bagaimanapun, dia masih sangat mencintai Levin, terlepas apa yang sudah dilakukan pemuda itu padanya. Rasa cintanya tidak berubah, bahkan semakin dalam, karena di waktu-waktu tertentu, Levin adalah pemuda yang sangat manis, penuh perhatian, menyenangkan, dan lembut. “Kenapa harus sedih?” tanya Alex yang tidak mengerti jalan pikiran Gabby. “Kalo jadinya malah putus, gimana?” tanya Gabby yang tidak dapat menutupi rasa sedih. Alex mengelus lembut kepala Gabby dan berujar dengan suara pelan. “Ya berarti dia nggak beneran sayang sama kamu.” Gabby menengadah dan menatap tajam pada Alex yang terlihat seperti tidak peduli dengan perasaannya. Dia juga mencubit perut Alex dengan keras untuk melampiaskan rasa gusarnya. “Aw! Sakit Mik,” desis Alex sambil melepaskan cubitan Gabby. “Elo duluan sih, ngomong seenaknya aja. Emang elo nggak mikirin perasaan gue apa?!” Alex terkekeh mendengar perkataan Gabby. Dia melepaskan pelukan, kemudian menjawil puncak hidung gadis itu dengan gemas. “Justru karena aku sayang dan peduli sama kamu, aku ngomong kayak gitu,” ujar Alex tenang. “Kalo dia beneran sayang sama kamu, dia pasti bakal mikirin baik-baik omongan kamu. Dia juga bakal balik ke kamu, dan nerima syarat dari kamu. Itu yang aku maksud, nggak ada yang lain. Untuk sekarang, mending kamu tenangin diri dulu, jangan mikirin tentang dia. Kasih dia waktu buat mikir, oke?” Gabby mengerucutkan bibir mendengar penjelasan Alex. setelah merenungkan sejenak, dia merasa apa yang dikatakan oleh pemuda itu ada benarnya. “Baiklah, kali ini gue nurut sama omongan elo,” ujar Gabby. “Tapi tadi kan elo janji bakal nemenin gue ke manapun dan kapanpun. Itu bener kan?” “Hm.” “Kalo gitu, gimana kalo sekarang temenin gue jalan-jalan?” Alex mengangkat sebelah alisnya dan menatap Gabby dengan seksama. “Ke?” Gabby mengangkat kedua bahunya. “Ke mana aja, yang penting bisa keluar dari rumah dan nyegerin pikiran gue.” Alex berpikir sejenak ke mana baiknya dia membawa Gabby pergi. Sesuatu yang menarik dan akan membuat gadis itu melupakan sejenak kesedihan yang dirasakan. “Gimana kalo kita ke mall, terus ke toko buku, cari buku resep baru, makan es krim, main ice skate, makan jajanan pinggir jalan, keliling daerah SMA kita dulu-” “Udah-udah,” sela Gabby sambil membekap mulut Alex dengan telapak tangannya. “Yang elo sebutin itu, emangnya bisa dilakuin seharian? Nggak akan cukup kali.” “Tau kok,” sahut Alex enteng. “Makanya aku sebutin semuanya, karena kita perginya nggak cuma hari ini. Aku yakin, kamu perlu berhari-hari buat ngilangin semua rasa yang lagi campur aduk di hati kamu.” Gabby tersenyum mendengar penjelasan Alex. Tanpa malu-malu, Gabby memeluk Alex dengan erat. “Makasih Lexi. Elo emang sahabat terbaik yang gue punya.” Gabby mengeratkan pelukannya dan menikmati aroma harum tubuh Alex yang selalu membuatnya merasa tenang dan nyaman. “Elo selalu ngertiin gue, bahkan elo selalu tau apa yang gue mau sebelum gue bilang.” Alex tersenyum kecil mendengar ucapan Gabby. Dia mengelus punggung gadis itu dan berkata dengan suara jail. “Kamu tuh ya, selalu manggil aku Lexi kalo lagi ada maunya aja. Kenapa nggak manggil gitu terus sih?” Gabby melepaskan diri dari pelukan Alex, menatap pemuda itu dan meleletkan lidahnya. “Maunye elo. Daripada protes terus, mending pergi sekarang yuk.” Gabby menarik tangan Alex supaya mengikuti dirinya keluar rumah. Alex menahan tangan Gabby sehingga mau tidak mau gadis itu tetap berada di tempatnya. “Iya, tapi kalo dia masih ada di rumah kamu gimana? Kamu kan juga belum bawa dompet?” “Biarin aja, kan ada elo.” Gemas mendengar jawaban Gabby, Alex mengulurkan tangan dan menyentil pelan kening gadis itu. “Kamu tuh, maunya selalu menang sendiri aja.” “Biarin.” Alex menggeleng pasrah melihat kekeraskepalaan Gabby, dan memilih untuk segera menuruti keinginan sahabatnya. “Ya udah, ayo berangkat sekarang. Aku ganti baju sebentar, sekalian ambil dompet dan jaket. Kamu tunggu aja di garasi, gapapa kan?” “Hm.” *** Begitu kelas selesai, Gabby bergegas membereskan tas dan berlari meninggalkan kelas. Hari ini, dia berencana pergi dengan Alex, dan sengaja tidak membawa mobil karena pemuda itu akan menjemput dirinya. Belum lama Alex mengirim pesan dan memberitahu kalau sudah datang dan menunggu di parkiran motor. “Sori gue lama,” ujar Gabby saat tiba di hadapan Alex yang duduk di atas motor. Alex yang sedang menerima panggilan, langsung mematikan sambungan dan tersenyum pada Gabby. “Gapapa, nyantai aja.” Melihat sikap Alex yang sedikit mencurigakan, Gabby bertanya dengan tatapan menyelidik. “Siapa yang telepon? Serius amat muka lo?” “Temen,” sahut Alex enteng. “Cowok? Cewek?” tanya Gabby lagi yang tidak puas dengan jawaban yang diberikan Alex. “Maunya?” tantang Alex sambil turun dari motor. Gabby menelengkan kepala memperhatikan raut wajah Alex yang terlihat tetap tenang dan sulit ditebak. “Elo udah punya pacar ya?” “Maunya?” Gemas mendengar jawaban menyebalkan Alex, Gabby mencubit pinggang pemuda itu dari belakang karena saat itu Alex sedang mengambil helm. “Sakit Mik,” desis Alex sambil melepaskan cubitan Gabby. “Hobi kok nyubit sih? Nggak ada yang lebih bagus dikit gitu?” “Lagian elo, gua nanya bener-bener, jawabnya malah ngajak ribut!” “Emang aku mesti jawab gimana?” sahut Alex sambil memasangkan helm di kepala Gabby. “Ya mana gue tau?! Kan gue cuma nanya elo udah punya pacar apa belum. Tinggal jawab udah kalo emang udah ada, belum kalo belum ada. Beres kan?” Alex menatap dalam ke mata Gabby sebelum menjawab pertanyaan gadis itu. “Kamu penasaran? Beneran pengen tau?” Gabby mengangguk dan menatap pada Alex, berharap pemuda itu mau menjawab pertanyaannya dengan jujur. “Iya, aku udah punya pacar. Puas?” ujar Alex tenang. Gabby tercekat mendengar pernyataan yang keluar dari bibir Alex. “Serius lo? Kapan jadiannya? Kok gue nggak tau sih? Bunda udah tau?” Gabby mencecar Alex dengan pertanyaan beruntun. Dia tidak menyangka jika ternyata di belakangnya Alex sudah memiliki kekasih. Alex terkekeh melihat raut wajah Gabby yang tampak tidak percaya. “Segitu penasarannya kamu Mik? Tenang aja, dia itu gadis baik-baik dan aku emang belum niat ngenalin dia ke kamu.” “Kenapa?” cecar Gabby penasaran. “Karena belum mau, nggak ada alesan lainnya. Kalo aku udah siap, aku pasti kenalin kamu ke dia, oke?” “Bunda udah tau?” tanya Gabby lagi. “Mm …, tau sedikit sih, pernah ketemu juga, tapi belum tau kalo dia itu pacar aku. Kenapa?” “Gue jadi penasaran pengen kenalan.” Wajah Gabby seketika menjadi muram dan membuat Alex jadi tidak enak hati. “Kamu kenapa Mik?” Gabby menatap sendu pada Alex. “Berarti gue udah nggak bisa sering-sering jalan dan main sama elo dong? Nanti kalo dia tau elo sering sama gue, dan kalian jadi ribut gimana?” Alex mendengkus geli mendengar ucapan Gabby yang tidak masuk akal. “Tenang aja. Dia tau kok tentang kamu, dan dia nggak masalah aku tetep deket sama kamu, juga nggak ngelarang kalo aku suka pergi sama kamu.” “Serius lo?” Gabby tidak percaya jika ada seorang gadis yang tidak merasa cemburu melihat kekasihnya dekat dengan gadis lain, walaupun itu adalah sahabatnya sendiri. “Dia beneran nggak marah elo jalan sama gue? Nggak cemburu? Nggak ngambek?” Alex menggeleng geli mendengar rentetan pertanyaan Gabby. “Kan tadi aku udah bilang, dia nggak masalah. Aku juga udah pernah bilang kan, kalo hubungan yang sehat itu nggak akan ngekang, tapi akan saling percaya dan ngasih kebebasan satu sama lain. Dan itu yang terjadi sama hubungan aku.” “Ya, ya, ya, gue percaya sama omongan elo, dan gue juga salut sama elo yang bisa dapet pacar yang baik dan mau ngertiin!” Gabby gusar mendengar perkataan Alex yang secara tidak langsung sudah menyindir dirinya dan Levin. “Jadi mau pergi nggak?!” “Tentu aja. Ayo naik.” Alex menyalakan mesin dan menunggu sampai Gabby naik dan duduk dengan nyaman di belakang. Alex menjalankan motor meninggalkan kampus dan membawa Gabby ke daerah Glodok, tempat yang sudah mereka sepakati semalam. Tiba di tempat tujuan, Alex memarkir motor dan menunggu sampai gadis itu turun. Mereka berjalan-jalan sambil melihat-lihat tukang jualan di sepanjang jalan. Tiba-tiba, Gabby menarik tangan Alex. “Lex, gue mau kue pancong,” ujar Gabby sambil menunjuk ke seorang bapak yang menjual jajanan kesukaannya. “Oke.” Alex menggandeng tangan Gabby dan membimbing gadis itu hingga tiba di hadapan penjual kue pancong. Setelah membeli kue yang diinginkan, mereka kembali berjalan sambil menikmati jajanan kesukaan Gabby bersama-sama. “Kamu mau makan apa lagi? Ada yang mau kamu beli di sini? Gimana kalo kita ke toko cemilan yang dulu suka kita datengin bareng mama dan bunda?” “Elo inget bubur ayam yang di gang nggak? Gue lupa jalannya, tapi gue pengen makan itu, terus siomay yang kita suka makan dulu. Elo masih inget kan?” tanya Gabby. “Ingetlah, mana mungkin aku lupa. Kamu selalu ngerengek sama mama biar bisa makan di sana, padahal kamu nggak suka sama jalanan yang becek dan kotor. Kamu rela jalan ke sana, walaupun jinjit, cuma supaya bisa makan itu.” Gabby meringis malu mendengar perkataan Alex yang masih mengingat semua kenangan tentang masa kecil mereka. “Ternyata elo masih inget,” ujar Gabby senang. “Kita ke sana yuk? Habis itu baru ke toko cemilan, beli banyak jajanan, baru pulang.” “Oke.” Hanya itu yang diucapkan Alex pada Gabby. Alex menggandeng tangan Gabby dan berjalan menuju tempat bubur yang diinginkan gadis itu. Tiba di sana, Alex membawa Gabby ke meja yang berada di sudut ruangan. “Lex, gue boleh nanya nggak?” “Kamu mau tanya apa?” Gabby melipat kedua tangannya di meja dan menatap serius pada Alex. “Kenapa sih elo dari kemarin baik banget ke gue? Elo selalu nurutin apa yang gue mau? Bahkan hari ini, elo rela bolos kuliah demi nemenin gue ke sini?” “Nggak boleh?” sahut Alex enteng. “Ditanya apa, jawabnya apa! Jawab yang bener napa!” rutuk Gabby dongkol. “Kamu mau jawaban serius?” “Iyalah,” sahut Gabby gemas. “Kamu itu perlu menyibukkan diri supaya nggak mikirin dia terus, tapi kalo sendirian, kamu juga bingung mau ngapain. Aku bener kan?” “Hm, terus?” “Karena itu aku ada di sini. Aku bakal jadi tempat pelarian sampe kamu ngerasa tenang dan bisa semangat lagi kayak dulu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN