Menghindar

1947 Kata
“Mik, ngapain di sini sendirian?” Alex terkejut saat tiba di rumah pohon dan melihat sahabatnya tengah duduk bersandar sambil membaca komik. “Mencari ketenangan!” sahut Gabby tanpa mengalihkan tatapannya dari komik. Alex mendengkus geli mendengar jawaban Gabby. Jelas-jelas wajah gadis itu terlihat sedang gusar dan cara bicaranya juga terdengar gusar. Alex melangkah masuk ke dalam dan duduk di samping Gabby. Dengan tenang, dia mengambil komik dari tangan gadis itu dan berkata lembut. “Tenang nggak usah dicari di sini kali,” ujar Alex. “Di kamar, di mana aja juga bisa. Selama hati kamu tenang, semua juga bakal baik-baik aja.” Gabby menoleh ke arah Alex, gusar karena ucapan pemuda itu. “Belagu banget ngomongnya, kayak filsuf aja.” Alex mengulum senyum mendengar omelan Gabby. “Kamu kenapa lagi?” tanyanya sambil mengacak rambut sahabatnya. “Habis ribut lagi sama Levin?” Mendengar perkataan Alex yang terdengar lembut dan penuh perhatian, membuat d**a Gabby terasa sesak. Dia memalingkan wajah untuk menutupi matanya yang berkaca-kaca. “Sok tau lo!” “Terus kenapa bibirnya manyun kayak gitu?” goda Alex. “Nggak tuh, biasa aja.” Gabby masih tidak ingin bercerita pada Alex apa yang sedang dirasakan saat ini. Alex yang memang sangat memahami Gabby, mengerti tanpa perlu bertanya lagi, cukup hanya melihat wajah gadis itu. Tanpa mengatakan apa-apa, dia menarik tubuh Gabby dan meletakkan kepala gadis itu di pahanya. “Iya, aku percaya,” ujar Alex sambil mengelus lembut rambut Gabby. “Kamu bilang mau tenang kan? Sekarang tutup mata, tarik napas pelan-pelan, dan lupain semua.” Gabby yang tadinya hendak marah, menjadi luluh dengan perlakuan Alex. Dia urung beringsut bangun dan melakukan apa yang dikatakan pemuda itu. Perlahan, hatinya terasa sedikit lebih tenang setelah melakukan yang dikatakan Alex. Beberapa saat yang lalu, Gabby dibuat kesal dengan tingkah Levin yang melarangnya pergi dengan Sonya. Alasan yang diberikan pemuda itu sangat tidak masuk akal, dan itu membuat dirinya sangat marah. Gabby yang tidak terbiasa dilarang, mulai merasa jenuh dengan sikap Levin, akan tetapi di satu sisi, dia sangat menyayangi pemuda itu. Alex sejak tadi memperhatikan Gabby, merasa lega saat melihat raut wajah gadis itu mulai terlihat tenang. Dia mengulum senyum karena ternyata usahanya menenangkan Gabby berhasil dengan baik. “Mik,” panggil Alex setelah Gabby benar-benar sudah rileks. “Hm,” sahut Gabby tanpa membuka mata. “Temenin aku jalan-jalan yuk.” “Males,” sahut Gabby tanpa perlu berpikir panjang. “Tumben? Biasanya kamu paling nggak betah diem di rumah kalo Sabtu dan Minggu.” “Nggak usah bahas itu deh, ntar gue bete lagi!” Alex mengangguk pelan, dan mengerti kira-kira hal apa yang sudah membuat gadis itu kesal. Dia berpikir cepat untuk bisa membawa Gabby keluar dari rumah dan menghibur gadis itu. “Padahal aku tadinya mau ajak kamu makan sate Meranggi di Purwakarta,” ujarnya sambil lalu. “Berhubung kamunya nggak mau, ya udah, aku ajak Reni aja.” Gabby membuka kedua matanya saat mendengar tujuan Alex. “Sate Meranggi? Di Purwakarta? Kapan?” Alex berusaha bersikap biasa melihat wajah Gabby yang terlihat bersemangat. Dalam hati, dia bersorak karena pancingannya mengenai sasaran. “Sekarang, tapi kamunya nggak mau kan?” Gabby beringsut bangun dan duduk menghadap ke arah Alex. “Kata siapa gue nggak mau?” “Kan tadi kamu yang bilang,” sahut Alex berusaha bersikap biasa. “Gue nggak bilang nggak mau!” Gabby membantah perkataan Alex sambil mendelik pada pemuda itu. “Gue cuma bilang males!” “Jadi?” Alex sengaja menggantung ucapannya untuk memancing reaksi Gabby. “Jalan sekarang?” sahut Gabby cepat. Alex menyeringai lebar mendengar jawaban Gabby. “Oke.” Alex berdiri dan berjalan ke ambang rumah pohon. Sebelum turun, Alex memandang Gabby dan mengajukan pertanyaan pada gadis itu. “Kamu nggak bilang dulu sama Levin?” “Males, biarin aja,” sahut Gabby tidak peduli. “Ntar kalo udah di jalan, baru gue kasih tau ke dia.” Alex mengangguk paham dan tidak bertanya apa-apa lagi. “Aku ambil jaket dulu, oke? Ntar aku tunggu di depan. Begitu kamu selesai, kita langsung jalan.” “Oke.” Setelah tiba di bawah, Alex berjalan ke arah rumah untuk mengambil jaket dan kunci mobil. Sementara Gabby masuk ke rumah untuk mengambil tas. “Kamu mau ke mana By?” tanya Helen saat melihat putrinya keluar kamar sambil membawa jaket dan tas. “Mau jalan sama Alex Ma.” “Ke?” “Purwakarta, mau makan sate Meranggi,” ujar Gabby sambil menghampiri helen, kemudian memeluk ibunya. “Reni mana Ma?” “Barusan pergi, katanya mau main sama Debora dan Anita.” “Ow …, padahal tadinya kalo di rumah, mau Gabby ajak,” sahut Gabby sambil mengecup pipi Helen. “Kalo gitu Gabby pergi dulu ya Ma.” “Hati-hati.” Gabby melambai pada Helen, kemudian berjalan keluar. Dia mempercepat langkah saat melihat mobil Alex sudah menunggu di depan. SetelahGabby duduk dan memasang sabuk pengaman, Alex menjalankan mobil dan meninggalkan rumah. “Mik, itu dari tadi Levin telepon, kenapa nggak diangkat?” ujar Alex saat ponsel Gabby kembali berbunyi. “Biarin aja, males gue angkat telepon dari dia.” Gabby memasukkan ponsel ke dalam tas. Alex yang penasaran mendengar jawaban Gabby, berusaha mencaritahu mengapa sahabatnya bersikap seperti itu pada Levin. “Kenapa?” “Dia pasti bakal nyari tau gue lagi di mana. Kalo tau gue pergi, ntar jadi panjang.” Gabby menoleh ke samping dan melanjutkan perkataannya. “Pasti nanyanya panjang, ke mana, sama siapa, ngapain pergi, ya yang begitulah. Gue males banget jawabnya.” Tanpa disadari Gabby, Alex mencengkram kemudi untuk meredam emosi setelah mendengar perkataan gadis itu. Dia gusar mengetahui sikap dan perlakuan Levin pada Gabby yang semakin menjadi. “Kalo tau dia begitu, kenapa kamu masih nerusin hubungan kalian? Itu nggak sehat loh Mik,” ujar Alex berusaha tetap tenang. “Hubungan yang baik dan sehat itu nggak boleh saling ngekang. Kalian harus bisa saling percaya dan ngasih kebebasan.” Gabby mengembuskan napas gusar mendengar penuturan Alex. “Gue juga maunya begitu, tapi Levin selalu jadi nyebelin banget.” Gabby mulai mengeluarkan unek-unek yang mengganjal di hatinya. “Apalagi kalo udah tentang masalah gue mau pergi, cerewetnya minta ampun. Jujur aja, kadang gua nggak tahan ngadepin Levin.” “Ya kalo nggak tahan, kenapa nggak udahan aja? Mumpung kalian baru pacaran kan?” Gabby mengerucutkan bibir, sedikit gusar mendengar perkataan Alex. “Tapi ada yang bilang, awal-awal pacaran itu emang bakal sering ribut, karena sedang dalam tahap saling mengenal satu sama lain. Jadi, ya gue terima dulu aja lah. Siapa tau setelah ini Levin bakal membaik dan mau ngertiin gue.” “Apa kamu nggak salah ngomong begitu?” Alex membantah cepat pendapat Gabby. “Setau aku, justru awal-awal pacaran itu adalah masa-masa paling manis, nyenengin, dan semua terasa indah. Tapi kenapa kalian malah kebalikannya? Kalo aku liatin, dalam seminggu aja, kalian pasti ada ributnya terus. Itu beneran nggak sehat Mik.” “Nggak tau ah! Gue nggak mau mikirin Levin, dan ngebahas masalah ini sekarang! Sekarang, gue mau seneng-seneng sama elo, makan sate dan jalan-jalan sampe puas titik.” “Baiklah.” Alex mengalah dan tidak ingin mendesak Gabby lagi. Alex kembali memusatkan perhatian pada jalanan dan mengemudi dalam diam. Sementara Gabby memilih memejamkan mata dan berpura-pura tidur supaya tidak perlu membahas masalah Levin lagi. Alex membiarkan sahabatnya bersikap seperti itu hingga mereka tiba di Purwakarta. Setibanya di tempat makan, Alex dan Gabby turun dari mobil. Mereka masuk ke dalam rumah makan dan menempati salah satu meja yang kosong. “Kamu kenapa lagi?” tanya Alex saat melihat Gabby merengut setelah selesai memesan makanan. Gabby yang malas menjawab pertanyaan Alex, mendorong ponsel ke arah Alex dan membiarkan sahabatnya membaca sendiri pesan dari Levin yang membuat hatinya kesal. Alex mengambil ponsel Gabby dan membaca pesan dari Levin. Wajah Alex tetap tenang, walaupun gusar dengan isi pesan. Selesai membaca, Alex mengembalikan ponsel Gabby dan menatap gadis itu lekat-lekat. “Terus kamu mau gimana sekarang?” “Nggak tau, gue beneran bingung.” “Kamu mau pulang aja?” tanya Alex yang akan langsung mengikuti keinginan Gabby jika memutuskan untuk pulang. “Nggaklah!” sahut Gabby cepat. “Kalo kali ini gue ngalah dan ngikutin maunya Levin, ntar dia malah bisa makin neken dan seenaknya sama gue!” Alex menunduk dan menyembunyikan senyum di wajahnya mendengar jawaban Gabby. Tidak disangka jika sahabatnya masih bisa memutuskan apa yang diinginkan, tanpa merasa gentar dengan isi pesan dari Levin. “Itu baru namanya sahabat aku.” Alex memandang Gabby dan memberikan pujian tulus pada keputusan gadis itu. “Iyalah, sesayang-sayangnya gue sama Levin, gue ini tetep Gabby yang masih punya prinsip dan nggak mau diatur sembarangan sama orang.” “Iya, aku ngerti,” ujar Alex senang. “Sekarang kita makan dulu, oke?” Alex mengatakan hal itu karena bertepatan dengan Gabby berujar, pelayan datang mengantarkan pesanan mereka. Gabby dan Alex menikmati sate Meranggi sambil mengobrol ringan. Tengah makan, ponsel Gabby kembali berbunyi. Dari tempatnya duduk, Alex dapat melihat nama penelepon di layar. Namun, dia memilih diam dan berusaha tidak peduli. Gabby pun bersikap sama seperti yang dilakukan Alex. Dia tidak mengacuhkan panggilan dari Levin. “Kamu udah kenyang?” tanya Alex setelah mereka menghabiskan isi piring. “Apa masih mau nambah?” Gabby menyandarkan tubuh ke belakang, kemudian mengusap perutnya yang kekenyangan. “Nggak, udah nggak sanggup lagi.” Alex terkekeh mendengar perkataan dan kelakuan Gabby. Dia senang karena sahabatnya terlihat ceria. “Habis ini mau ke mana? Mau langsung pulang apa mau jalan-jalan dulu?” “Mm …, jalan-jalan dulu juga boleh,” ujar Gabby dengan mata berbinar. “Sekalian nyari oleh-oleh buat dibawa pulang. Pokonya hari ini gue mau seneng-seneng, kalo boleh, sampe rumahnya malem sekalian.” “Kamu yakin? Kalo Levin ke rumah gimana? Ini hari Sabtu loh, kamu nggak mau malam mingguan sama dia?” “Nggak, males,” sahut Gabby santai. “Enakan pergi sama elo, nggak perlu dengerin ocehan dan larangan yang bikin hati kesel.” Tawa Alex semakin keras mendengar jawaban yang meluncur dari bibir Gabby. “Oke, nggak masalah,” sahut Alex. “Hari ini, aku bakal jadi sopir pribadi kamu, dan akan anter ke manapun kamu mau.” “Beneran ya? Awas kalo boong.” Gabby mengarahkan telunjuk ke wajah Alex sambil menatap tajam pada Alex. “Iya,” sahut Alex sabar. “Kalo gitu, sekarang kita pergi, dan cari oleh-oleh buat di rumah. Aku juga mau beliin buat bunda.” Alex bangkit berdiri dan menghampiri tempat duduk Gabby. Mereka berjalan bersisian ke arah kasir dan membayar makanan pesanan mereka. Alex dan Gabby masuk ke mobil dan dan melanjutkan perjalanan untuk mencari oleh-oleh yang akan dibawa pulang. Menjelang tengah malam, mobil yang dikendarai Alex memasuki jalan yang mengarah ke rumah. Saat mobil Alex hampir tiba di dekat rumah, Gabby tertegun ketika melihat Levin sedang duduk di motor, padahal sekarang sudah cukup larut. Alex yang juga melihat kehadiran Levin, merasa situasi tidak terlalu baik untuk Gabby yang sejak melihat pemuda itu mencekal pergelangan tangan kirinya dengan erat. “Kamu mau aku temenin?” “Nggak usah,” sahut Gabby. “Boleh nggak kalo mobilnya langsung ke rumah elo aja? Gue sekalian tidur di rumah elo ya? Gue males pulang dan ketemu sama Levin.” Jika menuruti keinginan hatinya, Alex sangat ingin mengiyakan permintaan Gabby. Namun, dia juga tahu kalau itu tidak benar, dan akan membuat masalah menjadi semakin besar. “Tapi kalo nggak kamu temuin, dia pasti bakal makin marah.” “Biarin,” sahut Gabby tidak peduli. “Untuk saat ini, gue nggak mau ngerusak hari bahagia gue dengan dengerin ocehan dia. Biarin besok aja.” “Kamu yakin?” “Iya.” “Terus kalo Levin bakal tetep di depan rumah kamu gimana?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN