Seperti Seorang Ksatria

2377 Kata
“Pa, Ma, lagi sibuk nggak?” Abimanyu yang sedang membaca koran, mendongak saat mendengar suara Gabby dan tersenyum melihat putri sulungnya berdiri tak jauh dari sofa. “Kamu mau apa? Duduk sini.” Abimanyu menepuk tempat kosong di antara dirinya dan Helen. Sambil tersenyum lebar, Gabby duduk di antara Abimanyu dan Helen. Kendati sudah besar, Gabby masih sering bersikap manja pada kedua orang tuanya, terutama pada Abimanyu, ayahnya. “Kamu pasti mau minta sesuatu, iya kan?” Abimanyu menjawil puncak hidung Gabby dengan sayang. “Kok Papa tau?” tanya Gabby sambil memeluk lengan Abimanyu dengan manja. Abimanyu terkekeh mendengar perkataan Gabby. “Taulah, dari kecil kan kamu selalu bersikap kayak gini kalo lagi pengen sesuatu.” Gabby mengerucutkan bibir manja mendengar penuturan ayahnya. “Papa memang selalu tau semua tentang Gabby,” ujarnya sambil menatap Abimanyu. “Papa memang yang terbaik.” Gabby mengeratkan pelukan di lengan Abimanyu. Helen yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan suami dan putrinya, tidak tahan untuk terus diam. “Terus Mama apa?” tanyanya pura-pura marah. Gabby melepaskan pelukan di lengan Abimanyu dan beralih memeluk Helen dengan erat. “Mama juga yang terbaik kok,” ujarnya sambil mencium pipi Helen. “Dan Gabby bangga jadi anak kalian.” Abimanyu mengusap kepala Gabby dengan sayang seraya berujar. “Sekarang, bilang kamu mau apa?” “Gabby mau kursus bikin kue, boleh?” tanyanya langsung sambil memandang kedua orang tuanya secara bergantian. Helen langsung bereaksi mendengar permintaan putrinya. “Kan kamu mau kuliah, gimana caranya mau kursus juga?” “Kan masuk kuliahnya masih rada lama Ma,” sahut Gabby manja. “Daripada bosen di rumah nggak ada kegiatan, mending Gabby kursus aja.” “Kamu yakin?” Hanya itu kata yang diucapkan oleh Abimanyu setelah mendengar keinginan putrinya. “Yakin Pa, boleh kan?” “Tempat kursusnya di mana?” Gabby menyebutkan nama sebuah tempat kursus membuat kue yang cukup terkenal di Jakarta. Dia berharap Abimanyu mau memberi ijin. Gabby sangat ingin sekali belajar di sana, karena dia yakin akan banyak ilmu yang bisa digunakan olehnya kelak saat berhasil membuka toko kue impiannya. “Tidak terlalu jauh juga,” ujar Abimanyu setelah memperkirakan jarak antara rumah dan tempat kursus. “Kamu udah tau berapa biayanya?” “Udah dong,” sahut Gabby dengan bangga. Abimanyu menatap Gabby dan kembali bertanya pada putrinya. “Kapan Papa harus bayar?” Gabby tersenyum lebar mendengar perkataan ayahnya yang membuktikan kalau Abimanyu memberinya ijin untuk belajar di sana. “Makasih Pa.” Gabby kembali memeluk lengan ayahnya dengan erat. “Makin cepet, makin baik Pa.” “Oke, kalo gitu besok Papa ke sana, dan urus semuanya buat kamu.” Usai mendapat apa yang diinginkan, Gabby kembali ke kamar dengan hati bahagia. Akhirnya, impiannya sejak awal SMA untuk bisa belajar di tempat itu menjadi kenyataan. Gabby sudah bisa membayangkan apa saja yang akan dikerjakan setelah selesai belajar di sana. Belum lagi ditambah dengan pelajaran dari tempatnya kuliah nanti. Masih dengan senyum di bibir, Gabby merebahkan diri di tempat tidur sambil terus memikirkan rencana-rencana yang akan dilakukan setelah dirinya lulus kuliah nanti dan toko kue yang tidak lama lagi akan dimiliki. Tengah membayangkan semua itu, pintu kamarnya dibuka oleh Alex yang tanpa sungkan berjalan ke arah tempat tidur. “Mikha, keluar yuk.” Alex memanggil Gabby yang tidak menyadari kedatangannya. Sejak awal saling mengenal, Alex tidak pernah memanggil gadis itu dengan nama depan. Selalu menyebut Mikha yang merupakan nama tengah Gabby. Saat gadis itu protes dan bertanya apa alasan Alex memanggilnya begitu, Alex hanya menjawab bahwa itu adalah panggilan kesayangan untuk Gabby, dan hanya Alex seorang yang boleh menggunakan panggilan itu. Dan itu terus berlangsung sampai sekarang. “Mau ngapain?” tanya Gabby malas. “Aku laper, pengen makan nasi uduk yang di Tanah Abang, temenin yuk.” “Tapi gue udah makan.” Gabby menolak permintaan Alex tanpa berpikir dua kali. “Ayolah, temenin aku. Nanti aku beliin roti bakar kesukaan kamu deh.” Alex mencoba membujuk Gabby dengan jajanan kesukaan gadis itu. “Nggak mau kalo cuma roti bakar doang.” “Terus? Emang kamu mau apa lagi?” tanya Alex sambil mengulum senyum. “Kayaknya nasi goreng yang di deketnya nasi uduk enak tuh.” Alex terkekeh mendengar mendengar perkataan Gabby yang memang hobi makan. Namun, entah ke mana larinya semua makanan yang masuk ke dalam tubuh gadis itu, karena tubuhnya tetap kecil. “Diajakin makan nasi uduk bilangnya udah makan, dibilang mau dibeliin rotbak, malah nambah mau nasi goreng. Kamu tuh ya.” “Mau ditemenin apa nggak?” Gabby menatap Alex dengan tajam. “Iya, mau,” ujar Alex cepat. “Cepetan ganti baju, aku tunggu di bawah ya.” Setelah Alex keluar, Gabby bergegas mengganti pakaian. Tidak lama kemudian, Gabby sudah turun dan menemui Alex yang menunggu di teras. “Motor lo mana?” tanya Gabby saat tidak melihat motor kesayangan Alex. “Di rumah.” “Terus mau pergi pake apaan?” “Tuh.” Alex menunjuk ke arah mobil sedan milik Simon, ayah Alex. “Kok tumben Papi Simon ngijinin kamu bawa mobil?” “Kan aku udah delapan belas, jelas boleh lah,” sahut Alex tanpa menutupi rasa bangganya. “Lagian papi tau aku mau perginya sama kamu, makanya papi nyuruh aku bawa mobil.” Gabby menyeringai senang mendengar kalimat terakhir Alex. Gabby sudah berteman dengan Alex sejak mereka kecil, dan selalu bermain bersama, entah Gabby yang datang ke rumah Ales, atau sebaliknya. Simon dan Tanti yang adalah orang tua Alex sangat menyayangi Gabby yang sudah dianggap seperti anak mereka sendiri. Simon dan Tanti sangat mengharapkan memiliki anak perempuan, akan tetapi karena ada masalah dengan kandungan Tanti, dia tidak diijinkan untuk memiliki anak lagi, karena akan membahayakan kesehatannya. Karena itu, baik Tanti maupun Simon sangat menyayangi Gabby, dan selalu memanjakan gadis itu. Bahkan, dulu saat masih SD, terkadang Alex sering merasa sedikit tersisihkan, karena merasa kedua orang tuanya lebih peduli dan menyayangi Gabby “Papi Simon memang yang terbaik.” Gabby mengacungkan kedua ibu jarinya ke arah Alex. Gabby bergegas ke mobil dan duduk di bagian depan mobil, menunggu Alex datang. Sambil menggelengkan kepala, Alex menyusul Gabby. Dia mengendarai mobil menuju Tanah Abang, ke tempat nasi uduk favoritnya. “Eh, gue dong mau kursus kue,” ujar Gabby dalam perjalanan. “Di mana?” tanya Alex tanpa mengalihkan perhatian dan tetap fokus mengemudi. “Kok elo nggak kaget sih?!” Gabby merasa kecewa dengan reaksi Alex yang biasa saja. “Temenan sama kamu sekian tahun, udah bikin aku kebal dari rasa kaget Mikha.” Alex mengulurkan tangan kiri dan mengacak rambut sahabatnya dengan gemas. “Tangan lo ih!” Gabby menepak tangan Alex yang masih berada di kepalanya. Alex hanya tertawa kecil dengan perlakuan Gabby padanya. Dia sama sekali tidak tersinggung ataupun marah pada gadis itu. “Elo nggak nanya gue mau kursus di mana?” tanya Gabby lagi setelah terdiam sejenak. “Nggak,” sahut Alex santai. “Nanti juga kamu sendiri yang bakal ngasih tau ke aku.” “Pede banget deh jadi orang!” Gabby mengerucutkan bibir sebal mendengar jawaban Alex barusan. “Kalo gua nggak mau ngasih tau gimana? Emang elo bakal tau?” tantang Gabby gemas. “Pasti tau,” sahut Alex sambil mengangguk. “Caranya?” Gabby benar-benar sebal melihat sikap acuh Alex. “Percaya sama aku, Mama Helen pasti bakal nyuruh aku anter jemput kamu. Jadi, aku nggak perlu cape-cape nyaritau, nanti juga tau sendiri.” “Jahat!” Gabby mencubit gemas paha Alex. Apa yang dikatakan pemuda itu memang benar. Ibunya pasti akan meminta bantuan Alex untuk menjaga dengan cara mengantar jemput dirinya saat kursus. “Sakit dong Mik.” Alex melepaskan tangan Gabby yang masih menempel di pahanya dengan lembut. Tidak terdengar sedikitpun nada gusar dalam suara Alex. “Biarin!” *** Hari pertama kursus, tanpa sengaja Gabby melihat seorang pemuda tampan yang kebetulan mengambil kelas yang sama dengan dirinya. Bukan hanya tampan, tapi pemuda itu terlihat baik, dan juga mempesona dengan tutur kata lembut dan sopan. Sepanjang kelas, mata Gabby tidak henti-hentinya memperhatikan pemuda yang sudah menarik perhatiannya sejak tadi. Saat selesai kelas, tidak sengaja Gabby menabrak kursi yang ada di depannya saat berjalan meninggalkan ruangan. Pemuda itu bergegas menghampiri dan bertanya pada Gabby dengan suara ramah. “Kamu gapapa?” “Gapapa, makasih ya udah perhatian.” “Sama-sama,” sahut pemuda itu sambil tersenyum lebar. “Oh iya, saya Levin, kamu?” “Gabby.” Levin tersenyum mendengar jawaban Gabby. “Nama yang cantik, sesuai sama orangnya. Seneng bisa kenalan sama kamu.” Pipi Gabby merona mendengar pujian yang keluar dari bibir Levin. Hatinya juga berdegup kencang karena Levin terus menatapnya lekat-lekat. “Makasih,” sahutnya sedikit gugup. “Kamu pulang sama siapa?” “Dijemput sama mama, bentar lagi juga dateng. Kenapa?” “Kalo gitu, saya temenin sampe kamu dijemput.” “Jangan, saya nggak mau ngerepotin kamu.” Bibir Gabby memang menolak perkataan Levin, akan tetapi hatinya berharap yang sebaliknya. “Saya nggak merasa direpotin kok.” Levin menatap lembut pada Gabby. “Oh iya, saya boleh minta nomor hape kamu?” “Buat?” Gabby sengaja bertanya, walaupun sudah tahu jawabannya. Bukankah dia harus memberi kesan lugu pada Levin, pemuda yang sudah berhasil mencuri perhatiannya sejak tadi? “Saya mau ngobrol aja sama kamu, boleh kan?” Tatapan mata Levin yang begitu dalam, membuat Gabby kehilangan kata-kata untuk sesaat. Otaknya menjadi buntu seketika dipandang seperti itu oleh Levin. “Boleh,” ujar Gabby setelah berhasil mengatasi kegugupan yang mendadak menyerang. Dia menyebutkan nomor ponselnya pada Levin, sambil berharap kalau pemuda itu akan benar-benar menghubungi dirinya. “Makasih.” Levin menepati ucapannya pada Gabby. Dia tetap berdiri di samping gadis itu sampai mobil yang dikendarai Helen datang. “Saya duluan ya.” Gabby tersenyum manis pada Levin sebelum berlalu ke mobil. “Kamu hati-hati ya.” Gabby mengangguk dan berlari kecil ke mobil yang sudah menunggu. Dia naik dan duduk dengan senyum yang masih menghiasi wajahnya. Helen yang sejak tadi sudah melihat putrinya asik mengobrol dengan seorang pemuda, tidak tahan untuk tidak menggoda putrinya. “Kenapa senyum-senyum sendiri?” “Nggak kok.” Gabby membantah cepat perkataan Helen. “Itu siapa?” Helen menatap ke arah Levin yang masih berdiri di tempat yang sama sambil memandang ke mobil. “Temen baru, namanya Levin, ganteng kan Ma?” “Iya, emang ganteng banget,” sahut Helen menyetujui pendapat putrinya. “Sepertinya bentar lagi bakal ada yang sering dateng ke rumah buat ngapelin kamu tuh.” “Ih …, Mama apaan sih.” “Mau taruhan sama Mama?” Helen menoleh sekilas ke arah Gabby sebelum mengemudikan mobil meninggalkan tempat kursus. “Nggak mau.” Malamnya, saat Gabby sedang berbaring di tempat tidur, merasakan getaran di sampingnya. Dengan malas dia mengambil ponsel dan melihat sebuah nomor asing menelepon. “Jangan-jangan Levin,” gumam Gabby tidak dapat menyembunyikan rasa penasarannya. Dengan d**a berdebar, dia menggeser warna hijau pada layar ponsel dan menyapa dengan suara sedikit gugup. “Halo?” “Gabby?” Terdengar suara lembut di seberang. “Iya, ini Levin?” Gabby sengaja bertanya, walaupun dia sudah bisa menebak. “Iya, saya Levin. Saya ngeganggu nggak?” Gabby menggigit jempol kirinya supaya tidak berseru kesenangan karena menerima telepon dari Levin. “Nggak kok,” sahutnya berusaha berbicara dengan suara biasa. “Kamu sendiri lagi apa?” “Lagi mikirin kamu.” Gabby kembali menggigit jempolnya mendengar perkataan Levin. “Ternyata kamu pinter ngegombal ya.” “Cuma sama kamu aja kok,” sahut Levin serius. “Kamu udah makan?” “Udah dong.” Gabby mengobrol dengan Levin selama beberapa sebelum pemuda itu mengajukan pertanyaan yang membuat Gabby semakin melambung dalam kebahagiaan. “Nanti kalo kursus lagi, mau nggak kalo saya jemput?” “Jemput?” ulang Gabby tanpa menutupi rasa bahagianya. “Iya, saya jemput kamu di rumah, boleh?” “Boleh sih, tapi apa kamu nggak akan repot kalo mesti jemput saya dulu?” “Nggak kok,” sahut Levin tenang. “Tapi saya minta alamat rumah kamu, supaya beneran bisa jemput.” Setelah mendapatkan alamat rumah Gabby, Levin masih mengobrol sebentar dengan gadis itu sebelum mengakhiri panggilan. Gabby masih tersenyum-senyum sendiri, walaupun Levin sudah tidak menelepon. “Kamu kenapa Mik?” tanya Alex saat masuk ke dalam kamar dan melihat sahabatnya senyum-senyum sendirian. Lamunan Gabby terputus saat mendengar suara Alex. Gabby menoleh dan menatap tajam pada Alex. “Gangguin aja deh! Nggak bisa liat orang seneng banget sih!” “Kok marah? Emang aku ngapain? Kan aku cuma tanya?” Alex bingung mendapati reaksi Gabby yang seperti itu. “Emang kamu lagi mikirin apa? Jangan-jangan mikirin yang terlarang ya?” “Ngaco!” Wajah Gabby langsung merah padam mendengar kalimat Alex. “Tuh, muka kamu aja langsung merah begitu, berarti tebakan aku bener ya?” Alex semakin berani menggoda Gabby. “Berisik ih!” Gabby mengambil boneka beruang pemberian Alex dan melemparkan ke arah pemuda itu. Alex tersenyum melihat kelakuan Gabby. Dengan santai, dia menangkap boneka dan meletakkan di sisi Gabby dengan hati-hati. “Kamu lagi mikirin apa?” tanyanya sambil duduk di tepi tempat tidur. Gabby yang memang tidak pernah bisa berlama-lama marah pada Alex, langsung menceritakan tentang telepon Levin. “Tadi ada cowok yang telepon gue.” Alex mengernyit mendengar perkataan Gabby. “Siapa?” Gabby pun menceritakan tentang Levin pada sahabatnya dengan rinci tanpa ada sedikitpun yang ditutupi. Seperti itulah hubungannya dengan Alex, selalu terbuka dan tidak menyimpan rahasia di antara mereka berdua. “Terus?” tanya Alex berusaha untuk menutupi rasa terkejut mendapati Gabby terpesona oleh seorang laki-laki. “Kamu suka sama dia?” Gabby pun mengangguk yakin. “Kayaknya sih iya, habis Levin tuh udah ganteng, baik, dan kelakuannya seperti seorang ksatria banget.” Alex tertegun saat melihat sinar bahagia yang terpancar dari kedua bola mata gadis itu. Gabby yang tidak menyadari perubahan di wajah Alex, kembali melanjutkan perkataannya. “Lex, menurut lo gimana?” “Gimana apanya?” “Ish, ini anak, lemot banget deh!” Gabby mengerucutkan bibir sebal dengan tanggapan acuh Alex. “Ya kan aku nggak tau yang kamu maksud.” Alex mencoba menjelaskan pada Gabby. “Kalo ngomong tuh yang jelas, biar aku ngasih jawabannya juga bener.” “Menurut lo, apa gua terusin aja gitu sama Levin? Atau diemin aja? Perlu nggak gue jual mahal dulu? Apa terabas terus aja?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN