Hadiah Kejutan

1926 Kata
“By, di depan ada Devi tuh,” ujar Helen dari depan kamar Gabby. Gabby yang sedang berbaring di tempat tidur, menoleh ke pintu dan menjawab Helen. “Devi? Mau ngapain dia ke sini? Tumben amat?” “Daripada ngomong sendiri, mending keluar, samperin dia dan tanya langsung.” “Iya, iya, Gabby keluar sekarang.” Gabby beringsut bangun dan turun dari tempat tidur dengan sedikit enggan. Dia keluar untuk menemui Devi yang menunggu di ruang depan. “Tumben ke sini?” tanya Gabby sambil duduk di salah satu sofa, berseberangan dengan Devi. “Gue bosen di kost an sendiri, terus kepikiran sama elo, makanya ke sini.” Gabby mencembik mendengar jawaban Devi. “Yakin banget kalo gue ada di rumah?” Devi menyeringai lebar, kemudian menjawab pertanyaan Gabby dengan santai. “Yakinlah, kan kalo nggak sama Alex, elo nggak akan mau keluar rumah.” “Alex? Kenapa bawa-bawa itu anak?” Seringai di wajah Devi semakin lebar. “Tadi gue tanya sama itu anak ada di mana. Dan Alex bilang di rumah, makanya gua ke sini.” “Curang lo Dev,” ujar Gabby tidak terima. “Selalu make Alex buat nyari tau gua ada di mana. Kenapa nggak nyari tau sendiri?” “Biarin aja,” sahut Devi tidak peduli. “Gue beneran bosen di kost, daripada gue keluyuran sendiri, terus jadi aneh-aneh, mending gue ke sini kan?” Devi meletakkan lengan kanannya di sandaran sofa, kemudian menopang kepalanya dengan gaya santai. Gabby menelengkan kepala dan memperhatikan sahabatnya dengan seksama. Wajah Devi terlihat sedikit kusut, dan Gabby yakin jika sahabatnya sedang punya masalah. “Elo lagi kenapa? Ada masalah sama siapa lo? Tante lo lagi? Apa bokap?” Devi mengangkat bahu. “Ada masalah, iya, tapi bukan sama keluarga gue.” “Terus?” “Pacar.” “Eh? Elo udah punya pacar? Seriusan? Sejak kapan? Temen kuliah?” Gabby memberondong Devi dengan pertanyaan karena tidak menyangka jika sahabatnya sudah memiliki kekasih. “Satu-satu kali nanyanya. Elo pikir lagi interogasi orang?” gerutu Devi sambil melempar bantal sofa ke arah Gabby. Gabby menghindar sambil mencibir ke arah Devi. “Sekarang elo ngerasain kan rasanya diberondong pertanyaan? Dulu kan elo begitu ke gue. Gantian lah sekarang. Udah, buruan cerita, ada masalah apa elo sama pacar lo.” Devi mengerucutkan bibir dengan perkataan yang meluncur dari bibir Gabby. “Iye, iye, gue cerita. Berisik banget deh!” Devi berdiri dan pindah ke samping Gabby dan duduk berhadapan dengan jarak cukup dekat dengan sahabatnya. “Elo inget nggak waktu gue bilang ada kakak kelas yang ganteng? Nah, setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, akhirnya gue bisa kenal juga sama dia. Bukan cuma itu, setelah melalui proses yang lumayan lama, akhirnya gue jadian kan sama dia,” “Wuih …, keren banget lo Dev, bisa pacaran sama kakak kelas,” sela Gabby sambil bertepuk tangan keras. “Siapa namanya? Ganteng nggak?” “Ish, ini anak! Orang lagi ngomong, main nyela aja seenaknya! Masih mau gue ceritain nggak?” Devi menggerutu kesal karena ceritanya diputus begitu saja oleh Gabby. Gabby terkekeh mendengar omelan Devi. “Sori, sori, gue kan kaget aja denger elo bisa pacaran sama kakak kelas. Elo beneran hebat.” Gabby mengacungkan kedua ibu jarinya pada Devi. “Sekarang, elo boleh terusin cerita lo.” Gabby melipat kedua tangannya di depan d**a, siap untuk mendengarkan kelanjutan cerita Devi. “Nah, terus kan ya, dia itu juga salah satu mahasiswa yang pinter, ganteng, dan pokoknya terkenal lah,” ujar Devi sedikit berapi-api. “Aslinya, gue seneng banget pacaran sama dia. Anaknya baik, pengertian, dan selalu tau gue tuh maunya apa,” “Tapi?” sela Gabby cepat karena penasaran. Terkadang, Devi suka terlalu panjang dalam bercerita dan membuat dirinya sering dibuat tidak sabar. Gemas dengan kelakuan Gabby, Devi mencubit paha sahabatnya dengan cukup keras. “Ini anak, beneran deh! Stop nyela napa?!” Devi mendelik pada Gabby yang terlihat tidak merasa bersalah sedikitpun. Gabby meringis lebar melihat wajah Devi yang semakin kesal karena kelakuannya. “Sori, gue penasaran banget, dan elo kelamaan ceritanya, jadi deh gue sela. Ya udah, lanjut lagi deh.” Devi mengembuskan napas kasar sebelum kembali bercerita. “Masalahnya, dia itu terlalu ramah sama orang, termasuk ke cewek,” ujar Devi yang tidak dapat menutupi kekesalan hatinya. “Dan gue beneran nggak suka sama sifat dia yang satu itu. Makanya gue sama dia jadi sering ribut karena hal itu.” Devi mengerucutkan bibir sebal teringat dengan kelakuan kekasihnya. “Dan tadi gue ribut lagi sama dia. Sebenernya hari ini tuh gue sama dia mau jalan seharian kan, eh tiba-tiba dia telepon dan ngebatalin janji.” “Karena?” “Temen sekelasnya minta dianterin nyari buku, dan dia mau aja. Kan gue jadi bete.” “Temennya cowok apa cewek?” tanya Gabby iseng, walaupun dia sudah tahu jawabannya tanpa perlu bertanya lagi. Dia sengaja berbuat seperti itu hanya untuk menggoda Devi. “Ceweklah! Kalo cowok, gua nggak akan semarah ini!” sahut Devi ketus. Gabby terkekeh geli melihat ekspresi wajah sahabatnya. Tujuannya untuk menggoda Devi ternyata berhasil dengan baik. “Pantesan elo dateng ke sini,” ujar Gabby sambil terus terkekeh. “Elo pasti kesel banget, dan perlu orang buat dengerin cerita elo kan? Dan orang yang paling tepat itu adalah gue, iya kan?” ledek Gabby tanpa ampun. “Belagu lo By,” ujar Devi dongkol. “Kan elo tau, temen gue itu cuma elo. Dan satu-satunya yang selalu ngertiin gue itu ya cuma elo.” “Duh, romantis banget sih elo.” Gabby merentangkan tangan ke arah Devi dan memeluk sahabatnya dengan erat. Selama mereka SMA, memang hanya dirinyalah teman yang dimiliki oleh Devi. “Gue jadi terharu tau.” Devi balas memeluk Gabby dengan erat. Dia memang tidak dekat dengan anak lain selama di SMA. Karena berasal dari luar Jakarta, Devi menjadi sedikit minder, sehingga menutup diri dan tidak mau bergaul dengan anak yang lain. Hanya Gabby yang tidak bosan mendekati dirinya, sehingga akhirnya perlahan dia mau membuka diri pada Gabby dan akhirnya bersahabat hingga sekarang. “Eh, ngomong-ngomong, siapa nama pacar lo?” tanya Gabby sambil melepaskan pelukannya dan menatap ingin tahu pada Devi. “Raymond,” sahut Devi bangga. “Namanya juga keren kan?” “Hm, keren, tapi kan gue belum pernah,” “By?” “Levin?!” Gabby terkejut saat melihat kekasihnya berdiri di depan pintu sambil tersenyum lebar. Gabby berdiri dan bergegas menghampiri Levin. “Kenapa kamu ke sini? Bukannya kamu kerja?” Levin mencubit gemas pipi Gabby yang bertanya terus dan tidak memberikan kesempatan dirinya untuk menjawab. “Aku hari ini kerjanya cuma setengah hari, makanya bisa dateng ke sini,” ujar Levin memberi penjelasan. “Kamu nggak seneng liat aku?” Levin mengelus lembut kepala Gabby. Devi yang sejak tadi memperhatikan, merasa sedikit iri melihat cara Levin menatap Gabby serta memperlakukan sahabatnya. Tadinya, Devi berpikir jika Raymond adalah yang terbaik dalam memperhatikan dirinya. Ternyata, hari ini, dia melihat seorang pemuda yang lebih baik dalam melakukan hal itu. Apalagi tatapan mata Levin hanya terpusat pada Gabby seorang, seolah-olah tidak ada orang lain di sana. Perlahan, Devi berdiri dan menghampiri Gabby dan Levin. Dia penasaran dengan sosok Levin dan ingin mengenal pemuda itu juga. Devi menarik lengan Gabby dan bertanya dengan suara perlahan. “Ini pacar lo?” Levin menatap Devi sesaat, kemudian mengulas senyum kecil pada gadis itu. Dia mendengar pertanyaan Devi barusan. “Iya, saya pacarnya Gabby.” Levin mengulurkan tangan pada Devi. “Kenalin, saya Levin.” Devi tersenyum canggung, kemudian menerima uluran tangan Levin, dan berkata dengan malu-malu. “Gue Devi, sahabatnya Gabby sejak SMA. Seneng akhirnya bisa kenalan sama pacarnya Gabby. Dia tuh sering banget nyeritain tentang elo ke gua, tapi nggak pernah mau ngasih liat foto elo. Gabby bilang rahasia, dan nggak ada yang boleh tau muka pacarnya.” Devi memandang Levin tanpa kedip sambil mengulas senyum manis dan sedikit menggoda. “Sekarang gue tau alesannya.” Gabby yang sejak tadi mendengarkan perkataan Devi, menjadi sedikit risih. Dia mencubit pinggang Devi. “Berisik lo! Bisa diem nggak?” desisnya. Devi meleletkan lidah ke arah Gabby. “Biarin aja kali, emang kenyataan kan kalo elo nggak pernah mau ngasih liat mukanya Levin ke gue?” “Tau ah!” gerutu Gabby gusar. Dia menarik tangan Levin dan membawa pemuda itu ke sofa, dan duduk bersisian di sana. Dengan perasaan sedikit gusar, Devi berjalan di belakang Gabby dan memilih duduk berseberangan dengan sahabatnya. “Kamu ke sini mau apa? Kan kemarin bilangnya mau datengnya malem?” tanya Gabby sambil memandang Levin dan sedikit mengabaikan Devi. Levin tersenyum lembut pada Gabby. “Aku punya sesuatu buat kamu.” “Apaan tuh?” tanya Gabby cepat. Levin mengambil sesuatu dari saku jaket bagian dalam, kemudian mengambil tangan kanan Gabby dan meletakkan kotak kecil di telapak tangan gadis itu. “Ini apaan?” tanya Gabby antara kaget dan senang. “Hadiah buat kamu,” sahut Levin tenang. Mata Gabby terbelalak mendengar jawaban Levin barusan. “Buat aku? Beneran?” Gabby tidak dapat menutupi rasa senangnya mengetahui Levin memberikannya hadiah. Namun, sedetik kemudian, wajahnya berubah sedih saat teringat akan sesuatu. “Tapi kamu kan ….” Gabby tidak berani melanjutkan ucapannya karena tidak ingin menyinggung perasaan Levin. Lagipula, di situ juga ada Devi yang bisa mendengar ucapannya. Gabby tidak ingin membuat Levin malu jika Devi sampai tahu keadaan kekasihnya. Levin tersenyum kecil melihat wajah sedih Gabby. “Aku tau yang mau kamu bilang,” ujarnya lembut. “Tapi aku emang sengaja mau ngasih hadiah buat kamu. Itu ungkapan perasaan aku buat kamu. Jadi, aku mohon banget kamu terima ya.” Gabby menatap lama pada Levin. Dia terharu dengan sikap dan perhatian pemuda itu padanya. Dengan tangan sedikit gemetar, Gabby membuka kotak kecil di tangannya. Dia semakin terharu saat melihat hadiah yang diberikan Levin. Sebuah cincin dengan mata mutiara kecil yang terlihat sangat cantik sekali. Gabby menengadah dan menatap dalam pada Levin. “Lev, ini bagus banget,” gumam Gabby terharu. “Makasih banget, tapi ini pasti mahal kan?” Mata Gabby berkaca-kaca saat mengatakan hal itu. Levin tersenyum kecil, kemudian mengelus kepala Gabby. “Nggak ada yang terlalu mahal buat orang yang paling aku sayang By,” ujarnya tenang. “Kamu itu adalah orang yang paling penting buat aku, orang yang udah ngisi hati aku yang kosong. Dan, aku bakal makin seneng kalo kamu pake cincin ini terus. Aku mau kamu selalu inget sama aku, kapanpun, dan di manapun.” Devi yang mendengar perkataan Levin merasa iri dengan semua hal yang dilakukan Levin pada Gabby. Raymond saja belum pernah memberikannya hadiah semanis itu untuk dirinya. Yang ada adalah kebalikannya. Dialah yang kerap memberikan hadian untuk Raymond. Devi berusaha menutupi rasa cemburu di hatinya, dan berkata dengan nada riang pada Gabby. “Wuih …, ternyata pacar lo romantis banget By. Bikin gue jadi ngiri aja. Raymond aja belum pernah tuh ngasih gue hadiah kayak gitu.” Gabby menoleh ke arah Devi dan tersenyum lebar mendengar perkataan sahabatnya. “Iya, gue juga nggak nyangka banget Levin segini romatisnya.” Gabby mengalihkan tatapan Levin, kemudian melanjutkan ucapannya. “Dan kalo gini kan aku jadinya makin sayang sama kamu.” Perlahan, Gabby mengambil cincin dari dalam kotak dan memasangkan di jari manis tangan kirinya. “Lev, kamu bisaan banget deh milih cincinnya.” Gabby memperhatikan cincin yang melekat indah di jarinya. Dia tidak berhenti tersenyum mengagumi keindahan mutiara yang melekat di tengah cincin. “Kamu suka?” tanya Levin. “Suka banget, dan aku janji cincin ini nggak bakal aku copot. Bakal terus aku pake, supaya selalu inget sama kamu, dan supaya ngejaga hati aku cuma buat kamu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN