Tidak Sengaja Bertemu

1970 Kata
“Dev, pulang kuliah kamu langsung pulang?” tanya Raymond saat bertemu dengan Devi di lorong ruangan kelas. Devi menatap sejenak pada Raymond sebelum menjawab pertanyaan pemuda itu. “Nggak, aku mau pergi dulu, kenapa?” tanyanya dingin. “Mau ke mana? Aku anter ya?” ujar Raymond dengan nada membujuk. Devi mendengkus sebal mendengar perkataan kekasihnya. “Nggak usah, aku bisa pergi sendiri kok,” sahut Devi sedikit ketus. “Kamu urusin aja cewek-cewek manja yang nggak bisa apa-apa dan selalu nyari kamu buat nolongin mereka!” Raymond mengembuskan napas mendengar jawaban Devi. Baru saja berbaikan, akan tetapi Devi mulai menyulut pertengkaran lagi di antara mereka dengan mengungkit kejadian hari Sabtu kemarin. “Kok kamu ngomongnya kayak gitu sih? Kamu masih marah sama aku? Aku kan udah minta maaf Dev, dan hari ini aku sengaja ngeluangin waktu buat kamu, tapi tanggepan kamu malah begini.” Raymond masih berusaha sabar menghadapi kemarahan Devi. Devi mencibir mendengar ucapan Raymond. “Ngeluangin waktu buat aku?! Kamu serius?! Ntar juga paling di saat-saat terakhir kamu bakal minta maaf karena harus ngebatalin janji lagi, karena ada yang minta tolong sama kamu!” Devi masih belum bisa melupakan kejadian Sabtu kemarin di mana lagi-lagi Raymond membatalkan janji pergi dengannya. Dan karena hal itu juga Devi harus menyaksikan kebahagiaan Gabby dan bagaimana manisnya sikap Levin pada sahabatnya. Jika mengingat itu semua, kemarahan Devi muncul kembali. Raymond mulai tersulut emosi mendengar perkataan sini kekasihnya, akan tetapi, dia masih berusaha untuk tetap sabar. “Dev, aku ngomong baik-baik loh, nggak ada niat nyari ribut. Kalo kamu gini terus, aku juga bisa kesel sama kamu. Daripada begini terus, aku mending pergi sendiri aja.” Hati Devi yang masih dipenuhi rasa kesal, terpancing mendengar perkataan Raymond. Dia tidak lagi bisa berpikir jernih, dan menumpahkan amarahnya pada Raymond. “Bagus banget kamu ngomongnya kayak gitu! Kamu tau nggak, aku tuh kesel banget sama kamu Ray! Selalu janji, tapi akhirnya nggak bisa ditepatin! Sebenernya, aku tuh penting nggak sih buat kamu?! Lebih penting aku apa orang lain sih?! Aku tuh jadi ngerasa kalo aku bukan pacar kamu, tapi cuma buat jadi pajangan doang!” Merasa percuma berdebat dengan Devi yang sedang emosi, Raymond memilih untuk menghindar hingga suasana hati Devi kembali membaik. “Kalo kamu masih marah dan nggak jelas kayak gini, mending aku pergi aja!” Raymond berbalik dan hendak meninggalkan Devi saat mendengar perkataan pedas kekasihnya. “Terus aja menghindar! Tiap punya masalah selalu pergi dan nggak mau diselesaiin! Lama-lama, aku sebel sama kamu!” Devi mengentakkan kaki dan meninggalkan lorong, kembali ke kelasnya. Dia kecewa melihat sikap Raymond yang sepertinya tidak paham kalau dirinya marah dan ingin dirayu sedikit supaya rasa kesalnya menghilang. Selalu menghindar dan tidak pernah mau menyelesaikan masalah, itu salah satu sifat Raymond yang sangat dibenci Devi. Devi masuk ke kelas, mengambil tas dan memilih pergi saja. Dia tidak peduli dengan absensi dan hukuman yang akan diterima karena bolos kuliah. Devi ingin menenangkan diri sambil berpikir ulang mengenai hubungannya dengan Raymond yang semakin hari semakin hambar dan tidak menyenangkan. Devi berjalan hingga tiba di depan kampus. Hari ini dia tidak membawa motor karena tantenya meminta tolong supaya dia mengambil kue tart untuk ulang tahun sepupunya nanti sore. Devi berdiri di tepi jalan dan menunggu angkutan umum yang mengarah ke toko kue untuk mengambil pesanan tantenya. Setelah kendaraan yang ditunggu datang, Devi naik dan masih sempat melihat Raymond memandangnya dari dekat tempat dia tadi berdiri. Namun, karena hatinya masih kesal, Devi memalingkan wajah dan tidak ingin melihat kekasihnya lagi. Sebenarnya, Devi enggan melakukan permintaan tantenya, akan tetapi karena sampai saat ini dia masih menerima uang bulanan dari adik ayahnya, maka dengan terpaksa dia melakukan apa yang diinginkan Resti. Apalagi, hari ini sepupunya berulang tahun, mau tidak mau, dia harus datang ke rumah Resti. Tadinya, dia berniat meminta tolong pada Gabby untuk mengantarkan dirinya mengambil kue. Selain malas menggunakan kendaraan umum, dia juga ingin bertanya-tanya dan mencaritahu tentang Levin. Namun, ternyata hari ini jadwal kuliah Gabby sangat padat, sehingga rencananya berantakan. Dan pada akhirnya, dia tetap harus pergi sendiri mengambil pesanan tantenya. Devi turun di dekat toko kue, setelah itu dia berjalan sedikit dan masuk ke dalam. Udara sejuk dari pendingin ruangan, membuat Devi merasa sedikit lebih nyaman. Sebelum menuju meja kasir, terlebih dahulu Devi berkeliling dan melihat beraneka kue yang ditata dalam etalase kaca. Semua tampak begitu cantik dan menggiurkan. “Selamat siang Mbak, ada yang bisa dibantu?” Terdengar suara seorang pria yang menyapa Devi saat gadis itu tiba di dekat meja kasir. Devi menoleh dan terkejut saat melihat Levin mengenakan seragam putih yang biasa dipakai para koki di dapur. “Levin kan? Kok ada di sini?” Levin mengernyit, mencoba mengingat siapa gerangan gadis yang berdiri di hadapannya. “Ah, temannya Gabby? Apa kabar?” sapanya ramah. Dia mengenali wajah Devi, akan tetapi tidak mengingat nama gadis itu. Devi tertawa senang saat Levin ternyata masih mengingat dirinya. “Kamu kerja di sini?” tanya Devi dengan keramahan berlebih. “Begitulah,” sahut Levin singkat. “Kamu mau beli apa?” “Itu, mau ambil pesanan kuenya Resti. Udah selesai belum?” “Resti? Coba aku tanya dulu ya. Kamu tunggu sebentar di sini gapapa?” Devi mengulas senyum manis lebar mendengar pertanyaan Levin. Jika harus menunggu lama pun, akan dia lakukan, asal masih bisa melihat dan mengobrol dengan Levin. “Gapapa, nyantai aja. Saya juga nggak ada kerjaan kok.” Levin meninggalkan Devi dan masuk ke dapur untuk menanyakan pesanan gadis itu pada atasannya. Sementara Devi memegangi bagian depan pakaiannya erat-erat, merasakan debaran jantungnya yang seolah mau melompat keluar akibat melihat senyum Levin. “Andai gue duluan yang kenal sama Levin,” gumamnya sambil berkeliling melihat-lihat kue yang terpajang di etalase. “Sayangnya Gabby duluan yang kenal dan berhasil jadi pacarnya Levin.” “Kamu ngomong sama siapa?” tanya Levin yang sudah berdiri di balik etalase, tepat berseberangan dengan Devi. “Eh?“ Devi terkejut saat mengetahui Levin sudah ada di dekatnya, dan berharap pemuda itu tidak mendengar perkataannya. “Udah selesai?” tanya Devi untuk menutupi rasa gugupnya. “Sedikit lagi,” sahut Levin tenang. “Paling sekitar lima menit lagi. Apa kamu mau nunggu, apa gimana?” “Mm …, aku tunggu aja deh,” ujar Devi yang melihat kesempatan untuk bisa lebih lama dengan Levin di sini. “Daripada aku mesti balik lagi kan? Mending aku tunggu di sini.” Devi tersenyum manis pada pemuda itu. “Ngomong-ngomong, kue di sini, mana yang paling enak?” Devi mencoba membuka percakapan dengan Levin untuk mengisi waktu sambil menunggu pesanan kue ulang tahun untuk sepupunya selesai. “Wah …, kalo kamu nanyanya kayak gitu, aku bingung jawabnya,” sahut Levin sambil tertawa. “Karena buat aku pribadi, kue di sini tuh enak-enak semua, apalagi, ada beberapa yang memang buatan aku sendiri.” “Oh ya? Yang mana? Boleh dong kasih tau aku?” Levin menatap sejenak pada Devi. Dia bukan tidak tahu kalau Devi sedang sengaja mencoba mendekati dirinya. Semua terlihat jelas dari bahasa tubuh gadis itu sejak awal melihat dirinya. Levin jadi penasaran dan ingin tahu sampai sejauh mana Devi berani melancarkan usahanya. “Memangnya kamu mau beli?” “Jelas dong,” sahut Devi cepat. “Kalo nggak, aku nggak mungkin nanya kan?” Devi mengedipkan sebelah matanya pada Levin. “Kasih tau aku yang mana kue buatan kamu, biar aku beli, dan kalo emang enak, aku borong aja semua, sekalian buat nambahin kue di rumah tante aku.” “Oke, kalo gitu kita ke sana.” Levin berjalan dari bagian dalam tempat dia bertugas menuju salah satu etalase yang memajang kue buatannya. “Ini semua jenis kue yang aku bikin, kamu mau beli?” Dia menunjukkan deretan pop cake dan cupcake hasil karyanya. Devi terdiam takjub memandangi kue-kue buatan Levin. Terlihat menarik dan menggoda selera. “Serius ini semua kamu yang bikin?” Devi tidak dapat menutupi rasa kagumnya pada Levin yang ternyata mahir membuat kue. “Iyalah, mau ngapain juga boong,” sahut Levin enteng. “Kalo gitu, aku mau deh.” “Tunggu sebentar,” ujar Levin sambil beranjak meninggalkan Devi untuk mengambil baki. *** “By, siapa nama temen kamu yang waktu itu ketemu di sini?” tanya Levin pada Gabby saat malamnya datang berkunjung ke rumah kekasihnya. “Devi? Kenapa kamu nanyain nama dia?” Levin mengangkat bahu dan menjawab pertanyaan Gabby. “Gapapa, tadi siang nggak sengaja ketemu sama temen kamu pas dia dateng ke toko, ngambil kue pesenan tantenya,” sahut Levin tetap dengan sikap tenang. “Dia nggak tau kalo aku kerja di sana. Pas liat aku, dia kaget banget, dan akhirnya malah ngeborong kue yang ada di toko.” Gabby menatap tidak percaya pada Levin. “Serius? Kok tumben dia yang ambil?” “Mana aku tau,” sahut Levin tidak peduli. “Aku nggak nanya juga, dan itu kan bukan urusan aku.” “Kalian ngobrol lama?” cecar Gabby penasaran. “Nggaklah, mau ngapain juga,” sahut Levin enteng. “Aku kan nggak kenal sama dia. Lagian kan kamu tau aku gimana, nggak kenal ya nggak akan nyapa.” “Iya, aku tau kok,” sahut Gabby sambil mengangguk. “Kadang, sikap acuhnya kamu tuh jadi keliatan nyebelin tau, tapi anehnya kok nggak berlaku ya sama aku?” Levin mengacak gemas rambut Gabby. “Ya itu kan beda, By,” sahut Levin sambil tertawa. “Dari awal kan emang aku udah punya perasaan beda ke kamu. Kalo nggak ada rasa apa-apa, ngapain juga aku berusaha deketin kamu.” Gabby yang masih penasaran dengan kunjungan Devi ke toko tempat Levin bekerja, sengaja bertanya lagi pada Levin. “Terus kalo ke Devi gimana?” “Kenapa jadi nanya Devi? Emang apa hubungannya sama aku?” “Ya aku cuma pengen tau aja gimana perasaan kamu ke dia? Kan kemarin dan tadi kamu ketemu sama dia.” “Biasa aja, nggak ada rasa apa-apa,” sahut Levin sambil menatap kedua bola mata Gabby. “Buat aku, dia itu cuma temen kamu, nggak lebih. Aku juga nggak ada niat buat kenal sama dia, buat apaan? Cukup kamu aja yang boleh deket sama aku.” Hati Gabby berbunga mendengar pernyataan Levin barusan. Kekasihnya sangat jarang mengucapkan kata rayuan, akan tetapi, saat dia berkata-kata, semuanya terdengar begitu manis. Membuat dunia Gabby semakin indah. “Ternyata kamu tuh bisa ngegombal juga ya Lev,” ujar Gabby tersipu. “Tadinya aku pikir kamu tuh dingin dan nggak peka. Ternyata aku salah.” Levin mendengkus geli mendengar ucapan Gabby. “Mau ngapain juga ngegombal, nggak ada gunanya,” sahut Levin tetap memandang lurus ke mata kekasihnya. “Lebih baik nunjukkin perhatian dengan tindakan, daripada ngomong tapi nggak pernah ditepatin.” Gabby terdiam mendengar kata-kata Levin. Setelah dipikir-pikir, ucapan pemuda itu memang benar. Sejak mereka berbaikan beberapa waktu yang lalu, Levin tidak lagi menunjukkan sikap posesif dan cemburuan padanya. Pemuda itu bahkan tidak melarang lagi jika dirinya hendak pergi dengan Alex atau Sonya. Levin hanya memintanya untuk memberitahu ke mana dia pergi. Gabby merangkul lengan Levin dan menyandarkan kepalanya di bahu pemuda itu. “Kalo kamu kayak gini, aku tuh seneng banget, plus bahagia, plus makin sayang, plus makin maunya deket terus sama kamu.” Gabby menengadahkan kepala dan menatap lembut pada Levin. “Aku seneng banget karena kamu sekarang udah beda Lev, nggak sering marah-marah kayak dulu.” Levin menunduk sedikit dan mengecup lembut bibir Gabby. “Demi kamu By, apapun bakal aku lakuin,” ujar Levin lirih. “Aku nggak mau kehilangan kamu lagi. Cukup kejadian kemarin, dan itu bikin aku sadar kalo aku cinta banget sama kamu, dan nggak mau kehilangan kamu lagi.” Mendengar perkataan Levin, membuat perasaan Gabby semakin melayang. Gabby menegakkan diri dan perlahan mendekatkan kepala ke arah Levin, kemudian balas mengecup bibir Levin. “Aku juga cinta sama kamu Lev, dan aku harap kamu itu yang pertama dan yang terakhir buat aku.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN