Meminta Kesempatan

2046 Kata
“MA?!” Gabby yang baru pulang kuliah, berteriak memanggil Helen karena tidak melihat ibunya di mana-mana. Atik, salah satu ART yang sedang membersihkan ruang keluarga, bergegas mendatangi Gabby. “Ibu ada di dapur Mbak, lagi goreng rengginang. “Oh, baiklah,” sahut Gabby sambil tersenyum. “Makasih ya Tik.” Gabby meninggalkan Atik dan melangkah ke dapur untuk menemui ibunya. “Ma, Gabby pulang.” Helen menoleh dan tersenyum melihat Gabby yang sudah duduk di kursi pantry. “Tumben pulang cepet?” Gabby turun dari kursi, dan mencomot rengginang di dekat Helen. “Tadi ada dosen yang nggak masuk, makanya bisa pulang cepet.” “Emang kamu udah cuci tangan?” tegur Helen melihat kelakuan Gabby. “Belum, tapi tangan Gabby bersih kok,” sahutnya enteng. Gabby kembali duduk di kursi pantry, sambil menikmati rengginang, dia memperhatikan Helen yang terus menggoreng. “By, kok tumben sih Levin udah lama nggak dateng?” tanya Helen sedikit penasaran karena sudah hampir dua minggu tidak melihat Levin datang ke rumah. “Biarin aja Ma,” sahut Gabby dengan mulut penuh. “Kok jawabnya begitu? Kamu nggak kangen sama dia? Atau jangan-jangan kalian lagi ada masalah?” Gabby mengembuskan napas panjang mendengar pertanyaan Helen. “Ya gitu deh,” sahutnya tanpa semangat. Helen yang baru selesai menggoreng, membalikkan badan sambil membawa wadah besar berisi rengginang. “Kalian kenapa lagi?” tanyanya sambil menutup wadah rapat-rapat. “Gapapa Ma,” ujar Gabby tanpa berani memandang Helen. “Gabby cuma lagi ngasih waktu Levin buat mikirin semua.” Helen menghampiri Gabby dan menatap putrinya dengan seksama. “By, Mama bukan mau ikut campur masalah kalian, tapi kalo kamu pengen cerita, Mama bisa dengerin,” ujar Helen lembut. “Siapa tau dengan cerita, kamu bisa jadi lebih tenang.” Helen merapikan anak rambut Gabby yang sedikit berantakan dengan penuh kasih. “Siapa tau juga Mama bisa ngasih masukan buat kamu, iya kan?” Mendengar suara Helen yang lembut dan menenangkan, membuat Gabby yang sudah mulai merasa tenang, kembali sedih. Timbul niat untuk berbagi cerita dengan ibunya. “Mama beneran mau denger?” Helen tersenyum kecil mendengar pertanyaan Gabby. Dia duduk di samping putrinya dan berujar lembut. “Emang pernah Mama nggak mau dengerin cerita kamu?” Gabby menggeleng. “Nggak sih, cuma yang kali ini tuh rasanya nggak banget Ma, jadi Gabby nggak berani cerita sama Mama, takut aja Mama marah dan nyalahin Gabby.” “Kamu ini, ada-ada aja deh. Sekarang cerita ada apa, hm?” Ditanya seperti itu, Gabby yang sejak tadi berusaha menahan sesak di d**a, perlahan menitikkan air mata. Sambil terisak, dia menceritakan tentang Levin dari awal hingga akhir, tanpa ada sedikitpun yang ditutupi. “Jadi gitu Ma,” ujar Gabby setelah selesai bercerita. “Gabby nggak salah kan begitu ke Levin? Gabby nggak tahan Ma ngadepin sikap cemburu Levin. Masa mau pergi ke mana-mana mesti laporan dulu? Papa sama Mama aja nggak begitu.” Helen mengangguk lembut sambil tersenyum kecil. Sedikitpun dia tidak menyalahkan Gabby karena sudah bersikap seperti itu. “Sebenernya kamu nggak salah bersikap begitu sama Levin, dan dia juga nggak salah-salah banget minta kamu kasih tau kalo mau pergi. Hanya caranya yang kurang baik,” ujar Helen sabar. “Dulu waktu Mama masih pacaran sama papa juga begitu kok. Mama selalu ngasih tau ke papa kalo mau pergi. Kamu sih enak, sekarang udah ada hape, tinggal kirim pesan aja beres. Waktu jamannya Mama, baru ada pager. Jadi Mama tuh dulu selalu ngasih kabar ke papa pake pager.” “Papa ngelarang nggak?” tanya Gabby penasaran. “Nggak tuh,” sahut Helen. “Papa cuma tanya pergi ke mana, sama siapa, dan minta Mama hati-hati. Kalo misalnya Mama lupa ngomong, papa kamu suka negur dan ngingetin Mama sama komitmen kita.” “Gabby juga maunya kayak gitu Ma, tapi Levinnya kepala batu banget, nggak bisa dikasihtahu. Kan Gabby jadi bete banget. Masa mau pergi nyari barang aja sama Sonya nggak boleh. Mau pergi sama Alex aja, Levin tuh nyolot banget, kan jadi kesel. Harusnya Levin kan tau, Gabby sama Alex emang cuma temen doang.” “Kalo masalah Alex, Mama rasa wajar kalo Levin takut. Biar gimana kan Alex itu laki-laki, dan jarang banget laki-laki dan perempuan bisa sahabatan awet tanpa ada perasaan lebih.” “Tapi kan Gabby sama Alex udah dari kecil kali sahabatannya, dan sampe sekarang baik-baik aja.” Helen terkekeh mendengar perkataan Gabby. “Ya kan Levin nggak tau. Udah tugas kamu buat ngasih tau dia dan bilang kalian itu murni cuma temenan.” “Kepala batu kayak gitu, mana mau denger omongan orang lain.” “Terus sampe sekarang Levin belum nyari kamu lagi?” Gabby menggeleng lesu, teringat kalau sampai hari ini Levin seolah menghilang ditelan bumi. “Belum, mungkin emang dia nggak niat balikan lagi sama Gabby.” “Jangan patah semangat dulu,” ujar Helen mencoba memberi semangat pada putrinya. “Mungkin dia lagi mikirin omongan kamu baik-baik.” Helen menepuk lembut punggung tangan Gabby. “Kasih dia waktu, oke? Lagian kamu kan tau kalo Levin harus kerja, belum lagi ngurus mamanya yang kurang sehat. Mama rasa, ini semua juga nggak mudah buat dia, By. Pasti ada alasannya kenapa dia cemburuan ke kamu. Kita kan juga nggak tau apa yang pernah dia alamin di masa lalu. Kamunya yang harus lebih sabar dan ngertiin dia.” Gabby mengerucutkan bibir mendengar perkataan Helen. “Nggak enak juga ya jadi cewek,” gerutunya pelan. “Kita yang harus lebih pengertian, lebih sabar, lebih jaga sikap. Keenakan cowok dong kalo kayak gini.” Helen terkekeh mendengar omelan putrinya. “Kamu ini, ngomongnya ngasal aja. Siapa yang bilang begitu? Dalam menjalin hubungan itu, kedua belah pihak harus mau saling ngerti, dan sama-sama belajar buang ego masing-masing. Kalo mau ngikutin keinginan sendiri, ya hubungan nggak akan bertahan lama, bakalan bubar di tengah jalan.” “Tapi papa sama Mama nggak gitu tuh,” sahut Gabby ngotot. “Papa tuh selalu sabar sama Mama, nurutin omongan Mama, dan perlakuin Mama kayak ratu banget. Gabby kan juga pengen ngerasain kayak gitu.” Helen mendengkus geli mendengar ucapan putrinya. “Itu semua juga nggak langsung terjadi By,” ujar Helen sabar. “Perlu waktu yang cukup lama buat mau saling ngerti. Dulu, awal-awal pacaran papa sama Mama juga suka ribut, padahal cuma masalah sepele. Tapi, karena kami niatnya bukan untuk main-main, papa sama mama belajar untuk mau ngalah dan saling ngerti, makanya bisa awet sampe sekarang.” “Ah masa? Seriusan dulu papa sama Mama suka ribut juga?” “Hm.” “Terus kalo marahan, lama nggak?” “Untungnya nggak,” sahut Helen sambil tertawa, teringat saat dia baru menjalin hubungan dengan Abimanyu. “Untungnya lagi, umurnya papa kan lebih tua empat tahun dari Mama, jadi papa kamu itu lebih sabar ngadepin Mama.” “Terus Gabby mesti gimana dong Ma?” “Mama cuma mau bilang, kalo kamu emang masih sayang sama Levin, berjuang, dan belajar untuk mengalah dan buang ego kamu, oke?” *** Reni membuka pintu kamar Gabby dan berujar pada kakaknya dari pintu. “Kak, di depan ada Kak Levin tuh.” “Seriusan lo?” tanya Gabby yang sedang menonton televisi. “Iya, ngapain juga boong,” sahut Reni dongkol. “Buruan sana keluar, kasian kan kalo nunggu kelamaan.” Gabby loncat dari tempat tidur dan berlari ke lemari pakaian untuk mengambil pakaian ganti. Setelah berganti pakaian dan merapikan rambut, dia keluar kamar untuk menemui Levin. Ketika tidak melihat kekasihnya di ruang tamu, Gabby melanjutkan langkah hingga ke teras dan melihat Levin sedang berdiri membelakangi pintu. Levin menoleh saat mendengar suara langkah mendekat. Dia menoleh dan bertatapan langsung dengan Gabby yang tengah memandangnya. Levin berbalik dan menghampiri Gabby. Tanpa mengatakan apapun, dia menarik kekasihnya dan memeluk Gabby dengan erat. “Aku kangen banget sama kamu.” Sesaat Gabby berdiri mematung dalam dekapan Levin. Detik berikutnya, dia membalas pelukan kekasihnya dan bergumam lirih. “Aku juga kangen sama kamu Lev, kangen banget.” Levin menyeringai mendengar perkataan Gabby. Dia yakin kekasihnya akan berkata seperti itu. Dan ternyata dugaannya tepat. Perlahan, Levin menguraikan pelukan dan menatap lembut kedua bola mata Gabby. Tangannya terulur dan membelai pipi gadis itu. “Kalo kamu kangen sama aku, kenapa nggak hubungin aku?” Levin mulai melancarkan rayuannya yang dia yakin akan membuat Gabby luluh. “Aku nungguin telepon dan pesen dari kamu, tapi kamunya dingin banget. Aku beneran sedih By.” Mendengar perkataan Levin, perasaan bahagia yang dirasakan Gabby, perlahan menguap. Bukan seperti itu yang diinginkannya. Dia hanya ingin mendengar permintaan maaf dan penyesalan dari bibir Levin. Gabby menjauh dari Levin dan berdiri sambil bersidekap menatap kekasihnya. “Kamu nggak salah ngomong Lev? Bukannya harusnya kamu duluan yang ngehubungin aku? Untuk sesaat, Levin terdiam mendengar ucapan Gabby yang di luar dugaan. Tadinya, dia mengira Gabby duluan yang akan meminta maaf, serta menyesal karena sudah memintanya untuk berpikir. Levin juga berpikir kalau gadis itu duluan yang akan meminta dirinya untuk kembali. Namun, semua berjalan di luar kehendaknya. Levin segera memutar otak untuk memperbaiki keadaan yang sudah mulai tidak menguntungkan untuknya. “Maaf, bukan maksud aku begitu By.” Levin berkata dengan suara pelan dan penuh penyesalan. “Tiap hari, aku nungguin kabar dari kamu. Aku berharap banget kamu telepon dan bilang kangen sama aku. Aku juga berharap kamu mau maafin aku dan ngasih aku kesempatan lagi.” Levin menundukkan wajah, bersikap seolah-olah sangat menyesali perbuatannya pada Gabby. Gabby yang memang mudah jatuh kasihan, tidak tega melihat wajah sedih Levin. Dia mendekat dan memegang tangan pemuda itu dengan lembut. “Kesempatan itu ada Lev, tapi aku mau kamu juga inget apa yang waktu itu aku bilang ke kamu.” Gabby mengusap pelan punggung tangan Levin. “Asal kamu janji nggak akan ngekang aku, ngasih aku kebebasan mau pergi ke mana dan sama siapa, juga nggak curigaan, dan nggak marah-marah terus, aku mau kok ngasih kamu kesempatan.” Perlahan, Levin mengangkat wajah dan menatap dalam-dalam kedua bola mata Gabby. “Beneran By?” “Hm.” Gabby mengangguk dengan mantap. “Jujur aja By, aku tuh nyesel banget karena udah berlaku kayak gitu sama kamu,” ujar Levin dengan tatapan sendu. “Tapi aku juga nggak bisa ngilangin ketakutan di hati aku.” Levin menarik Gabby ke dalam pelukannya. “Dulu, aku pernah punya pacar, dan karena aku ngasih kebebasan, dia mengkhianati kepercayaan aku dan selingkuh sama cowok lain yang kaya dan punya segalanya. Hati aku sakit banget By, dan itu bikin aku trauma. Makanya aku jadi begitu. Maafin aku ya.” Levin menyeringai lebar dan berharap Gabby akan mempercayai ucapannya. Gabby merasa tersentuh dan semakin merasa bersalah mendengar cerita Levin. Dia melepaskan diri dari dekapan pemuda itu. “Kenapa kamu nggak pernah cerita ke aku? Kalo aku tau, kan aku bisa lebih ngertiin kamu.” “Maaf, aku cuma nggak mau bikin kamu jadi sedih karena cerita aku.” Gabby mengangkat tangan dan mengusap pipi kiri Levin. “Lev, aku tuh beda sama mantan pacar kamu,” ujar Gabby lirih. “Aku nggak ada niat mau selingkuh atau mainin kamu. Aku tuh serius dan tulus sayang sama kamu. Aku harap, seiring berjalannya waktu, kamu bisa percaya sama omongan aku ini.” “Iya By,” sahut Levin. “Aku cuma minta kamu percaya sama aku, bisa? Aku nggak akan salah gunain kepercayaan kamu Lev.” Levin mengulas senyum kecil dan berujar lirih. “Aku coba ya By.” Dia kembali menarik Gabby ke dalam pelukannya. “Jadi, kamu mau maafin aku kan?” “Hm,” sahut Gabby singkat.“Aku udah maafin kamu kok. Lagian, aku nggak beneran marah sama kamu. Aku tuh cuma kesel aja karena kamu itu susah banget dikasih taunya.” Seringai di wajah Levin semakin lebar mendengar perkataan Gabby. “Jadi, kamu mau kan ngasih aku kesempatan lagi?” “Iya,” sahut Gabby sambil tersenyum kecil melihat sinar bahagia di mata Levin. Levin melepaskan pelukannya dan menatap dalam-dalam kedua bola mata Gabby sambil berujar pelan dan tenang. “Aku janji nggak akan ngelarang kamu lagi. Kamu mau pergi sama siapa aja, silakan, asal ngasih kabar ya ke aku, bisa kan? Aku juga nggak akan larang kalo kamu mau deket sama Alex, karena aku tau kalian nggak punya rasa apa-apa. Selain anggep dia sahabat, iya kan?” “Hm.” “Jadi?” “Masih harus ditanya?” ujar Gabby lembut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN