Berkenalan Dengan Keluarga

2178 Kata
“By, bantuin Mama bikin kue yuk.” Gabby yang sedang berbaring di sofa sambil membaca majalah remaja, menoleh ke arah Helen yang berdiri tidak jauh darinya. “Oke.” Gabby beringsut bangun dan berjalan menghampiri Helen. Dia memeluk ibunya sambil bersama melangkah ke dapur. “Emang Mama mau bikin apaan?” “Mau bikin bolu gulung,” sahut Helen. “Tapi gimana kalo kamu aja yang bikin? Mama kurang bisa pas bagian ngegulunya, selalu pecah. Gimana?” Ini memang niat Helen sejak awal. Dia ingin putrinya berlatih sendiri di rumah, bukan hanya mempraktekkan ilmu yang sudah didapat, tetapi supaya tangan Gabby terbiasa dengan semua alat yang ada. Gabby mengerucutkan bibir mendengar perkataan Helen. “Kalo gini namanya, berarti Gabby bukan bantuin dong? Yang ada jadinya ini sih Gabby yang bikin dong.” “Loh, gapapa dong? Kan kamu udah kursus bikin kue, dan harus dipraktekkin kan biar lancar. Katanya mau punya toko kue? Kalo nggak dilatih dari sekarang, kapan bisanya?” Mendengar perkataan Helen, Gabby harus mengakui jika yang dikatakan ibunya memang benar. Jika dia tidak berlatih sendiri, maka ilmu yang sudah dipelajari selama beberapa waktu ini tidak akan berkembang. “Oke, siapa takut.” Gabby berjalan ke arah pantry di mana di sana semua bahan dan peralatan sudah tersedia. Setelah mencuci tangan, dia mulai menakar bahan-bahan sesuai resep. Begitu tangannya memegang bahan, pikirannya tercurah sepenuhnya untuk membuat bolu. Gabby melupakan segala sesuatu yang berada di sekitarnya. Helen yang sejak tadi memperhatikan, tersenyum kecil melihat bagaimana putrinya bekerja. Tangan Gabby bergerak dengan luwes, wajahnya juga terlihat sangat serius. Ternyata, membiarkan putrinya memilih hal yang disukai adalah pilihan yang tepat yang telah dilakukan dirinya dan Abimanyu sebagai orang tua. Tidak lama kemudian, Gabby menuang adonan yang sudah jadi ke dalam loyang persegi. Setelah memasukkan ke dalam oven, dan mengatur suhu, tidak lupa Gabby menyalakan pengatur waktu. Saat semuanya selesai, dia bertepuk tangan sambil memandang Helen. “Selesai satu tahap Ma. Sekarang kita tinggal nunggu kuenya mateng. “Anak Mama hebat juga ya.” Helen mengacungkan kedua ibu jarinya pada Gabby. “Gabby gitu loh.” Gabby mengedipkan sebelah matanya pada Helen. “Sambil nungguin kuenya mateng, enaknya kita ngapain?” “Kita di sini aja, duduk ngobrol sambil nungguin kuenya mateng, gimana?” Helen memberikan usul pada Gabby. “Boleh juga.” Gabby duduk di salah satu kursi pantry, tepat berhadapan dengan oven, sehingga dapat terus mengawasi kuenya. Helen mengikuti jejak putrinya, dan duduk di samping Gabby. “Mama mau ngobrol apaan?” “Gimana hubungan kamu sama Levin?” “Mm …, baik, lancar, mulus. Emang kenapa gitu Ma?” Gabby menatap Helen dengan wajah penasaran. “Kamu nggak pengen bawa dia ke rumah? Nggak mau kenalin sama Mama dan papa?” tanya Helen hati-hati. Gabby mengembuskan napas mendengar pertanyaan Helen. Sebenarnya hal inilah yang sedang dihindari oleh Gabby. “Harus gitu ya bawa Levin ke rumah? Nggak bisa nanti aja gitu, kalo Gabby udah siap?” Bukan dia tidak ingin memperkenalkan Levin pada kedua orang tuanya, akan tetapi, Gabby merasa dia masih perlu waktu untuk mengenal pribadi Levin, sebelum membawa kekasihnya ke rumah. Helen mengernyit mendengar jawaban putrinya yang terlihat enggan mengenalkan Levin pada dirinya dan Abimanyu. “Emang mau siap apaan? Emangnya kalian udah mau nikah?” “Bukan gitu Ma, masalahnya kan pacarannya aja juga baru banget. Gabby kan belum kenal bener sama Levin. Ya maunya Gabby tuh, kita berdua saling kenal dulu lah, baik, buruknya kita. Nanti, kalo Gabby emang udah yakin sama Levin, baru dibawa ke sini.” Helen menyimak penjelasan putrinya dan menurutnya cukup masuk akal. “Begitu juga baik sih,” ujar Helen kurang yakin. “Sebenernya Mama tuh nggak terlalu masalah kamu mau bawa Levin ke sininya kapan, tapi kamu kan tau papa gimana. Dari kemarin, papa nanya terus ke Mama, kapan kamu mau bawa Levin ke sini. Papa pengen kenalan sama dia.” “Huft! Papa kebiasaan banget deh. Masa nggak percaya sama anaknya sendiri sih?! Gabby tuh nggak bakal macem-macem kok sama Levin.” Gabby menatap sedikit gusar pada Helen. “Gabby kan udah sering diajarin sama Mama buat jaga diri yang bener. Gabby malah masih inget banget sama omongan Mama.” “Emang Mama bilang apaan gitu?” Helen sengaja memancing putrinya untuk mengetahui sejauh mana Gabby menyerap apa yang dia ajarkan. “Ish! Masa nggak inget sama omongan sendiri sih?!” Gabby merengut dongkol dengan perkataan yang terlontar dari bibir Helen. “Mama kan bilang kalo kita ini sebagai perempuan harus bisa jaga kehormatan diri sendiri. Nggak boleh salah bergaul, nggak boleh pacaran sampe bablas, nanti yang rugi ya diri kita sendiri. Masa lupa sih?!” Helen tersenyum mendengar jawaban Gabby. Ternyata, putrinya tidak melupakan sedikitpun apa yang sudah dia ajarkan. Memiliki dua orang putri yang sedang beranjak dewasa membuat Helen sering dihinggapi rasa takut dan khawatir berlebih. Dia tidak ingin kedua putrinya salah jalan yang nantinya akan disesali seumur hidup mereka. Saat mendengar perkataan Gabby, dia bersyukur karena putri sulungnya tetap ingat dengan nasihat yang pernah dia berikan. “Iya, Mama tau By.” Helen memandang putrinya dengan lembut. “Masalahnya, teori sama praktek itu beda jauh banget. Pada prakteknya, kita tuh harus bener-bener bisa ngendaliin diri supaya nggak bablas, dan itu nggak gampang.” Mendengar perkataan Helen, Gabby merasa terharu karena besarnya kasih sayang Helen untuknya. Dia berdiri dan mendekati ibunya, kemudian memeluk Helen dengan erat. “Iya Ma, Gabby tau dan akan berusaha sebisa mungkin buat menghindari masalah, dan menghindari buat berduaan aja sama Levin.” “Baguslah kalo kamu ngerti.” Helen menepuk lembut lengan Gabby yang melingkari lehernya. “Tapi, kalo boleh, tolonglah bawa Levin ke sini, sekali aja, mau kan? Biar papa nggak penasaran gitu sama Levin.” “Iya, nanti Gabby coba pikirin dulu gimana baiknya.” *** “Lev, nanti pas anterin aku pulang, kamu mampir dulu ya, mau kan?” ujar Gabby saat sedang berdiri di motor r bersama Levin selepas mereka kursus. “Emang mau ngapain?” tanya Levin sambil menyerahkan helm pada Gabby. Gabby mengenakan helm terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Levin. “Mama sama papa mau kenalan sama kamu, gapapa kan?” Levin mengernyit sejenak mendengar perkataan kekasihnya. “Kenalan sama aku? Mau ngapain?” Gabby sedikit gusar mendengar perkataan Levin. “Kok malah nanya mau ngapain sih? Wajar kali papa sama mama mau ketemu sama kamu, sekalian kenalan. Mereka pasti pengen tau pacar anaknya kayak gimana.” Melihat wajah gusar Gabby, seketika Levin bersikap serius dan mencoba membuat kemarahan gadis itu tidak berlanjut panjang. “Iya, maaf,” ujar Levin dengan nada menyesal. “Aku kan kaget aja denger kamu bilang papa sama mama kamu mau kenalan sama aku.” Gabby masih sedikit kesal dengan Levin, akan tetapi berusaha melupakan karena pemuda itu sudah mengucapkan kata maaf padanya. “Jadi? Mau kan?” Levin berpikir sejenak mengenai permintaan Gabby. Sebelah hatinya sangat ingin pergi ke rumah Gabby, akan tetapi dia teringat pada mamanya yang kondisinya kurang sehat. “Tapi nggak lama kan? Aku nggak bisa ninggalin mama sendirian terlalu lama di rumah.” Gabby tersenyum senang mendengar Levin bersedia ikut ke rumahnya. “Iya, nggak akan lama. Aku janji.” Levin menatap Gabby sesaat. Untuk saat ini, melihat gadis itu sudah tersenyum dan bersikap biasa kembali, sudah cukup untuk Levin. “Oke, nggak masalah. Sekarang, kamu naik motor, terus kita ke rumah kamu.” Gabby naik dan duduk di belakang Levin. Tanpa malu-malu lagi, Gabby melingkarkan kedua lengannya ke pinggang Levin. Dia juga menyandarkan kepala di punggung pemuda itu. Gabby merasa senang bisa sedekat ini dengan Levin yang terkadang suka menjauh saat dia sedang ingin menggandeng tangan pemuda itu. Levin mengendarai motor menuju rumah Gabby dalam diam. Di depan, Levin menyeringai dingin mendapat perlakuan manis dari Gabby. Memang itulah yang dia harapkan dari gadis itu. Jatuh cinta sedalam-dalamnya, sehingga tidak bisa melupakan dirinya. Tiba di rumah Gabby yang memiliki pekarangan yang cukup luas, Levin memarkir motornya di jalan setapak berbatu. Gabby turun dari motor dan menunggu Levin sambil melepaskan helm dan menyerahkannya pada pemuda itu. Setelah Levin siap, Gabby mengambil lengan pemuda itu dan memeluknya serta membimbung Levin masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu, seperti kebiasaan yang selalu dilakukan Gabby, dia memanggil kedua orang tuanya dengan suara keras. “Ma! Pa!? Kalian di mana?” Helen dan Abimanyu yang berada di ruang keluarga, dapat mendengar dengan jelas suara Gabby. Mereka berpandangan sesaat sambil menggeleng pasrah dengan kelakuan putri sulung yang selalu seperti itu sejak kecil. Abimanyu dan Helen berdiri dan berjalan ke arah ruang tamu untuk menemui Gabby. “By-” Helen urung menegur putrinya karena terkejut melihat kehadiran Levin di sana. Gabby menyeringai geli melihat ekspresi Helen yang batal menegur dirinya. “Ma, Pa, ini Levin.” Gabby memeluk lengan Levin dengan hangat sambil tersenyum lebar pada Abimanyu dan Helen. Abimanyu terdiam saat melihat wajah Levin. Dia seperti tidak asing dengan wajah pemuda itu. Ada sesuatu yang mengingatkan dirinya dengan seseorang yang pernah dikenalnya, akan tetapi lupa di mana pernah bertemu. “Pa? Kok diem aja? Katanya mau kenalan sama Levin. Ini anaknya Gabby bawa, kenapa Papa malah bengong kayak gitu?” ujar Gabby melihat Abimanyu hanya diam saja sejak tadi. Abimanyu tersentak mendengar suara Gabby. Dia mengulas senyum kecil ke arah putri sulungnya. “Maaf, tadi Papa ada yang dipikirin sedikit.” Abimanyu melangkah mendekati Gabby dan Levin. “Makanya, jangan mikirin kerjaan mulu, jadi nggak fokus kan?” ledek Gabby saat Abimanyu sudah berdiri di depannya. Abimanyu hanya tersenyum mendengar candaan putrinya. Dia menatap Levin sembari mengulurkan tangan ke arah pemuda itu. “Apa kabar Levin?” sapa Abimanyu hangat. Levin menyambut uluran tangan Abimanyu. “Baik Om, terima kasih.” Helen pun mengikuti perbuatan suaminya. Dia mengulurkan tangan pada Levin sembari berujar ramah. “Apa kabar Vin? Saya Helen, mamanya Gabby.” “Baik Tante,” sahut Levin tetap dengan menyunggingkan senyum lebar. “Seneng kenalan sama Tante dan Om.” Seketika, Helen menyukai sikap Levin yang ramah dan sopan. Ditambah wajah ganteng dan penampilan Levin yang rapi dan bersih, membuat Helen menyetujui pilihan putrinya. “Ayo, silakan duduk.” Abimanyu memecah keheningan dan meminta Levin untuk duduk di sofa. Saat Gabby hendak duduk, Helen menggamit tangan putrinya. “By, tolong bantuin Mama bikin minum yuk.” “Iya Ma.” Gabby menatap Levin dan berkata pada pemuda itu. “Aku bantuin mama dulu ya. Kamu di sini aja, ngobrol sama papa, gapapa kan?” Levin mengangguk dan tersenyum lembut pada Gabby. “Iya, gapapa.” Gabby masuk ke dalam bersama Helen untuk menyajikan minuman bagi Levin. Tengah membantu ibunya menata kudapan di piring saji, Helen berkata sambil lalu pada Gabby. “Nggak nyangka ya, yang namanya Levin itu ganteng banget. Pantes aja kamu jatuh nyungsep sama dia.” “Ih! Mama apaan sih.” Wajah Gabby seketika merona merah seperti kepiting rebus kala mendengar perkataan jail Helen.“Gabby nggak ngeliat gantengnya lagi.” Dia berusaha membantah perkataan ibunya, untuk menutupi rasa malu. “Gabby tuh suka sama Levin karena dia orangnya baik banget, perhatian dan sayang sama Gabby.” Helen mendengkus geli mendengar penjelasan putrinya yang malah membuatnya semakin yakin dengan apa yang tadi dia katakan. “Iya, iya, Mama percaya sama omongan kamu. Tapi kan wajahnya juga mendukung buat bikin kamu makin nggak bisa lupain dia kan?” “Mama!” Gabby mengerucutkan bibir dongkol karena tebakan ibunya yang tepat seratus persen. Helen terkekeh melihat reaksi putrinya yang terlihat gusar. “Udah, jangan cemberut kayak gitu. Mending kamu bawa ini ke depan.” Helen menyodorkan baki berisi kudapan pada Gabby. Sementara dia sendiri membawa baki lain berisi minuman. Gabby menuruti permintaan Helen. Dia membawa baki ke ruang tamu. Namun, sebelum tiba di sana, dia tertegun saat mendengar suara Levin. “Papa saya udah meninggal Om, dan sekarang saya tinggal berdua sama mama.” Helen yang baru tiba pun mendengar perkataan Levin barusan. Dengan lembut dia menyenggol tangan putrinya dan memberi isyarat dengan kepala supaya Gabby kembali berjalan. Gabby pun melanjutkan langkahnya ke ruang tamu, meletakkan piring berisi kudapan di meja, kemudian duduk di samping Levin. “Lalu apa mama kamu kerja?” tanya Abimanyu lagi. Sejak istri dan putrinya masuk ke dalam, dengan sopan dan hangat, Abimanyu mulai bertanya pada Levin mengenai latar belakang pemuda yang sedang dekat dengan Gabby. Levin tersenyum sedih mendengar pertanyaan Abimanyu dan menjawab dengan suara pelan. “Mama saya sakit Om, jadi nggak bisa keluar rumah.” Helen yang penasaran dengan ucapan Levin, tidak dapat menahan lidahnya untuk bertanya. “Maaf kalo Tante kedengeran lancang, tapi gimana caranya kalian bisa hidup? Apa ada yang bantu membiayain kalian? Atau gimana?” Levin kembali mengulas senyum kecil, kali ini sambil menatap Helen. “Selama ini, selalu ada orang yang memberikan mama biaya untuk hidup, tapi saya nggak pernah tau siapa orangnya. Tiap bulan selalu ada dana yang masuk ke rekening mama.” “Ah, ternyata seperti itu.” Helen mengangguk mengerti dengan penjelasan Levin. Sementara Abimanyu tersentak mendengar perkataan Levin. Dia semakin curiga dengan pemuda di hadapannya. Abimanyu berharap kekhawatirannya tidak menjadi kenyataan. Dengan hati-hati dia mengajukan pertanyaan lagi pada Levin. “Boleh Om tau siapa nama mama kamu?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN