Mengembangkan Sayap

1918 Kata
“By, Mama boleh masuk?” Helen membuka pintu kamar Gabby dan menatap putrinya yang sedang menonton televisi. Gabby menoleh ke arah pintu dan tersenyum lebar melihat ibunya. “Masuk aja Ma, kenapa juga mesti ijin segala.” Helen masuk ke kamar dan ikut duduk di karpet, di samping Gabby. “Kenapa Ma?” “Gimana kuliah kamu? Lancar?” “Lancar dong, dan sampe sekarang semuanya baik-baik aja.” “Kamu udah belajar apaan aja? Udah mulai masuk kitchen?” “Udah, cuma belum ngapa-ngapain. Gabby sama yang lain baru perkenalan aja sama semua barang di sana, terus kegunaannya buat apa. Ya, yang kayak gitu lah.” Gabby merasa ada yang janggal dengan sikap Helen. Dia memutar tubuh hingga dapat memperhatikan Helen dengan seksama. “Ma, kok Gabby ngerasa aneh deh sama Mama.” Gabby mendekatkan wajah ke arah ibunya dan menatap kedua bola mata Helen. “Mama kayak mau ngomong sesuatu, tapi kayak ragu gitu. Ada apaan sih Ma?” Helen menautkan kedua telapak tangan dan meletakkan di atas pahanya. “Ng …, sebenernya tuh Mama mau nanya sekalian minta tolong ke kamu, tapi ….” Helen bingung untuk melanjutkan ucapannya. Dia khawatir kalau Gabby akan menolak idenya ini. “Ih …, Mama kenapa diem aja? Bikin Gabby jadi penasaran kan.” Mau tidak mau, Helen tertawa melihat raut penasaran di wajah putrinya. Melihat Helen tertawa, Gabby beringsut semakin dekat ke arah Helen. “Ma, ayo bilang ada apaan? Mama pengen liat Gabby metong karena penasaran?” “Hush! Ngomongnya kok begitu sih? Nggak baik ah.” Helen menegur putrinya karena sudah berbicara tidak sopan di depannya. “Ya maap, habis kan penasaran.” Gabby mengerucutkan bibir ke arah Helen karena teguran ibunya. “Makanya kasih tau dong ada apaan.” Helen mengambil salah satu tangan Gabby dan menepuknya lembut. “Mama mau minta tolong sama kamu, tapi takut kamu nggak mau.” “Emang ada apaan Ma?” tanya Gabby penasaran. “Tiga hari lagi kan mau ada arisan di sini. Mama mau minta tolong kamu yang bikin cemilannya, mau kan? Kalo boleh, malah sekalian bantuin Mama masak, gimana?” “Kenapa harus Gabby? Kan biasanya Mama bikin sendiri, kalo nggak beli di toko kue kenalan Mama.” Helen tersenyum lembut mendengar protes Gabby. Dia mengelus kepala putrinya. “Kalo emang kamu punya cita-cita pengen punya toko kue sendiri, maka dari sekarang kamu udah mulai harus mulai pasarin kue-kue kamu. Biarin orang coba, kan kalo enak, siapa tau mereka bakal pesen ke kamu. Kalo udah gitu kan enak By. Nanti, saat kamu beneran punya toko, kamu udah punya banyak pembeli tetap.” Gabby termenung dan memikirkan perkataan Helen baik-baik. Apa yang ditawarkan ibunya memang merupakan sebuah kesempatan yang sangat baik. Selain dapat berlatih, dia juga bisa mendapatkan pengalaman untuk membuat kue dalam jumlah cukup banyak. “Kalo emang maunya Mama gitu, Gabby nggak masalah,” ujar Gabby sambil menyeringai lebar. “Tapi ada syaratnya.” Gabby mengedipkan sebelah mata pada Helen. “Apaan? Masa sama orang tua sendiri pake ada syarat segala sih.” “Kan kata Mama, ini semua buat masa depan Gabby.” Helen tergelitik untuk tahu syarat apa yang akan diminta oleh Gabby. “Emang syaratnya apaan?” “Mama kan kalo pesen kue pasti bayar kan? Nah, kali ini, bayarannya kasih ke Gabby, gimana?” Sontak Helen terkekeh mendengar permintaan putrinya. “Ternyata tentang bayaran toh.” Helen mengangguk dan menatap serius pada Gabby. “Kalo masalah itu, emang itu niat Mama dari awal, ngasih kamu bayaran atas jerih payah kamu. Dan Mama harap, uang hasil kerja kamu itu ditabung.” “YEAY!” Gabby bersorak senang sambil mengacungkan kedua kepalan tangannya ke atas mendengar jawaban Helen. “Pasti bakal Gabby tabung Ma,” lanjutnya bersemangat. “Kalo perlu, Gabby bakal buka rekening baru, khusus untuk hasil jualan.” “Buat apaan?” “Buat jadi modal Ma. kalo disimpen di rekening yang sama, Gabby takut uangnya malah kepake.” “Pinter juga kamu.” Helen mencubit gemas pipi Gabby setelah mengetahui rencana putrinya. “Emang Mama mau bikin kue apa aja?” Helen mengambil secarik kertas yang tadi diletakkan di karpet dan memberikan pada putrinya. Gabby menerima kertas dari tangan Helen, kemudian membaca menu kue yang diinginkan ibunya. “Nggak masalah,” sahut Gabby tenang setelah melihat semua daftar kue. “Oke, kalo gitu kamu kapan mau belanja bahan-bahannya?” “Sekarang juga nggak masalah,” sahut Gabby antusias. “Hari ini Gabby nggak ada kuliah, jadi bisa pergi seharian sama Mama.” “Oke,” sahut Helen seraya berdiri. “Kalo gitu, Mama ganti baju dulu. Kamu juga mending ganti baju. Setelah beres, kita langsung berangkat.” *** “By, semua udah siap?” tanya Helen. Gabby yang sedang menata kue di piring saji, menengadah dan menatap Helen yang berjalan ke arahnya. “Udah Ma, tinggal ditata di piring, terus dibawa ke depan. Temen-temen Mama belum dateng kan?” Helen berdiri di pantry dan melihat bagaimana Gabby dengan santai menyusun tiap potongan roll cake mini di atas piring saji oval. Dia tersenyum senang melihat Gabby mengerjakan semua itu dengan kesungguhan hati. Sejak kemarin, putrinya sibuk mengerjakan pesanan kue dan tidak sedikitpun mengeluh. Gabby juga menolak bantuannya dan bersikeras mengerjakan semua sendiri. Melihat semangat Gabby, Helen pun menuruti keinginan putrinya. Yang dia lakukan adalah menemani Gabby dan memperhatikan semua yang dilakukan gadis itu. “Mau Mama bantuin nggak?” Gabby tersenyum mendengar pertanyaan Helen. “Boleh, tolong bantuin bawa keluar aja. Mama yang atur di meja, gapapa?” “Siap.” Helen mengambil piring berisi kudapan yang sudah selesai ditata dan membawanya keluar untuk diletakkan di meja. Setelah selesai menata semua kue, Gabby membawa piring-piring yang tersisa ke depan dan meletakkan di meja. “Akhirnya …, selesai juga.” Gabby memegang tengkuknya yang terasa pegal sambil tersenyum puas. “Anak Mama memang pinter dan hebat.” Helen memeluk Gabby dari belakang dengan perasaan bangga. “Semua kan karena Mama juga.” Gabby merasa terharu mendengar pujian dari ibunya. “Gabby bisa begini, semua kan karena dukungan Mama. Kalo Mama nggak ngasih kesempatan, belum tentu bisa begini kan.” Gabby berbalik dan balas memeluk Helen. “Sekarang tinggal nunggu reaksi dan komentar dari temen-temen Mama. Semoga semua suka.” Helen menguraikan pelukan dan menatap lekat-lekat kedua bola mata Gabby. “Mama yakin mereka semua bakalan suka sama kudapan buatan kamu.” “Semoga Ma,” ujar Gabby. “Tapi Gabby nunggu di kamar aja ya. Nanti, kalo acara arisan Mama udah selesai, kasih tau Gabby.” “Kenapa nggak ikut ngumpul aja?” “Nggak mau,” sahut Gabby cepat. “Masa Gabby ikut ngumpul bareng emak-emak, nggak banget ah. Mending di kamar, nonton, baca buku, atau tidur sekalian.” Gabby mengecup pipi Helen, kemudian berlari ke kamarnya. Helen menggeleng geli melihat kelakuan Gabby. Setelah putrinya menghilang ke dalam kamar, Helen pergi ke ruang makan, memeriksa sekali lagi makanan yang sudah ditata di meja makan. Kemudian, dia duduk di ruang tamu, menunggu kedatangan teman-temannya. Tidak lama kemudian, teman-teman Helen mulai berdatangan. Mereka semua adalah teman-teman kuliah Helen dan terus bersahabat hingga sekarang. “Ayo-ayo, dicicipi dulu cemilannya,” ujar Helen pada teman-temannya yang sedang asyik mengobrol. Tanpa ragu, teman-teman helen mulai mengambil penganan dan mencobanya. “Mm …, ini enak,” ujar salah seorang teman Helen. “Kamu beli di mana Len?” tanya salah satu wanita yang lain. “Iya, ini beneran enak,” timpal yang lain. “Kasih tau kita dong kamu beli di mana.” Helen tersenyum lebar mendengar pujian yang terlontar dari bibir teman-temannya. Ternyata usahanya tidak sia-sia. Mereka menyukai kue buatan Gabby, dan ini bisa menjadi peluang yang baik untuk putrinya. “Kali ini aku nggak beli di toko,” ujar Helen sambil bersiap memulai promosinya. “Terus di mana?’ sela salah satu teman Helen penasaran. “Kudapan hari ini tuh bikinan Gabby,” ujar Helen tanpa dapat menutupi rasa bangga di hatinya. “Ah masa?” ujar salah satu teman Helen tidak percaya. “Yang bener? Gabby beneran yang bikin?” timpal seorang yang lain. “Wah hebat.” “Gabby belajar di mana?” Senyum di wajah Helen semakin lebar melihat ketidakpercayaan di wajah teman-temannya. “Kan emang dari kecil Gabby itu udah seneng bikin kue. Pas habis lulus SMA, dia sempet kursus bikin kue, makanya sekarang dia bisa bikin kue.” “Wah keren,” ujar salah seorang teman Helen. “Kenapa nggak buka toko kue aja?” “Ngomong-ngomong, Gabby kuliah di mana?” “Gabby kuliah di Perhotelan,” ujar Helen menjawab pertanyaan teman-temannya. “Dan memang rencananya, nanti dia pengen punya toko kue sendiri.” “Wah …, beneran keren deh anak kamu Len,” ujar salah satu teman Helen takjub. “Eh, tapi, apa kira-kira kita bisa pesen kue sama Gabby? Kita-kita kan kadang suka bikin acara. Kalo emang bisa, nggak ada salahnya kan pesen ke Gabby.” “Tentu aja bisa,” sahut Helen cepat. “Tapi kalo bisa jangan dadakan ya, soalnya kan Gabby kuliah. Dia pasti harus atur waktunya dulu.” “Oke.” Arisan berjalan dengan sangat lancar. Bukan hanya penganan buatan Gabby yang ludes, masakan yang dibuat helen pun habis tak bersisa. Setelah semua teman-temannya pulang, Helen bergegas ke kamar Gabby untuk memberitahu kabar baik pada putrinya. “By.” Helen mengetuk pintu kamar Gabby seraya memanggil nama putrinya. “Masuk aja Ma!” seru Gabby dari dalam. Helen membuka pintu dan masuk ke dalam. Dia duduk di tepi tempat tidur sambil menatap Gabby yang sedang menelungkup sambil membaca n****+. “Gimana Ma? Apa kata temen-temen Mama?” tanya Gabby seraya beringsut bangun dan duduk menghadap Helen. Helen yang memang senang bercanda, berniat untuk menggoda Gabby. Dia memasang wajah sedih dan muram. “Mm …, Mama bingung mau ngomongnya By.” Melihat wajah Helen, semangat Gabby langsung merosot. Dia yang sempat berharap kalau hasilnya akan baik, menjadi kecewa. “Mereka bilang nggak enak ya Ma?” tanyanya lesu. “Ya …, gimana ngomongnya ya?” ujar Helen pura-pura sedih. Mendengar jawaban Helen, Gabby semakin putus harapan dan tidak berani berharap banyak. “Ma, bilang aja. Gabby siap kok dengernya.” Gabby memegang lengan ibunya dan kembali berujar. “Temen-temen Mama bilang nggak enak ya? Gabby beneran gapapa kok. Kalo emang nggak enak, Gabby bakal belajar lagi, biar nanti bisa lebih enak.” Helen tidak tahan lagi menahan tawa. Dia tergelak sampai mengeluarkan air mata melihat wajah lesu putrinya. Sesaat, Gabby terdiam dan bingung melihat Helen yang tertawa seperti itu. Namun, detik berikutnya, dia menubruk Helen dan memeluk ibunya dengan erat. “Mama jaat! Mama boongin Gabby ya?” Helen belum bisa menghentikan tawa menepuk punggung putrinya. Gabby menguraikan pelukan dan memberengut gusar pada Helen. “Mama gitu ih! Jaat banget gangguin Gabby. Tau nggak sih, jantung Gabby mau copot ini.” Helen yang tidak tega melihat wajah Gabby, menarik tangan putrinya dan memeluk gadis itu dengan erat. “Maaf, tapi liat muka kamu, Mama jadi pengen ngisengin.” Gabby melepaskan diri dari pelukan Helen dan menatap ibunya. “Emang temen-temen Mama bilang apa?” “Semua bilang enak, dan mereka bilang nanti mau pesen kue sama kamu.” Mata Gabby terbelalak mendengar perkataan Helen. “Serius? Mama nggak boong kan?” Helen mengelus sayang pipi Gabby. “Mama beneran bangga sama kamu By.” Mata Helen berkaca-kaca saat menatap putrinya. “Dan Mama harap, ini semua adalah permulaan yang baik untuk kamu. Mama harap, dari kesempatan hari ini, kamu akan mulai mengembangkan sayap kamu. Mama mau kamu mulai terbang dan meraih impian kamu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN