Devi Hamil

1808 Kata
Setelah putus dengan Levin, Gabby selalu berwajah murung dan mudah menangis. Dia selalu teringat akan kenangan manis bersama dengan kekasihnya. Alex selalu berada di sisi gadis itu dan selalu menemani serta menghibur Gabby. Higga dua minggu kemudian, Gabby pulang dari kuliah dengan wajah sumringah dan senyum tidak lepas dari bibirnya. “Muka kamu ceria banget Mik?’ tanya Alex. “Hm …, keliatan banget ya?” tanya Gabby manja. “Apa yang bikin kamu bahagia?” “Gue balikkan sama Levin,” sahut Gabby sambil tersenyum lebar. “Serius?!” tanya Alex tidak percaya. “Iya. Levin berjanji sama gue, bahkan bersumpah bahwa itu nggak sengaja, karena Devi yang ngejebak dia.” “Terus kamu percaya?”  “Iyalah. Kan dia udah bersumpah. Levin juga bilang cuma gue satu-satunya gadis yang dia cintai,” ujar Gabby bersemangat. Alex mengembuskan napas dengan kasar. Hatinya diliputi oleh amarah mendengar perkataan Gabby. “Kamu lupa kalo dia hampir mukul kamu, dan udah bersikap kasar?!” “Nggak lupa kok. Tapi Levin udah ngejelasin sama gue kalau saat itu dia lagi emosi banget dan nggak bisa berpikir jernih. Dan Levin juga bilang kalo dia nyesel banget waktu itu,” ujar Gabby membela kekasihnya. “Terserah kamu aja Mik,” sahut Alex dengan kasar. “Kok jadi elo yang marah sih Lex?! Elo nggak seneng ya ngeliat gue bahagia sama Levin?!” tuduh Gabby. “Aku pulang aja Mik, cape ngomong sama orang yang dibutain sama cinta!” Selesai berkata, Alex berjalan meninggalkan Gabby sendirian dan menuju ke rumahnya. Alex merasa tidak terima jika gadis itu kembali dengan Levin. Bukan karena sekedar cemburu, tapi dia tahu bahwa cepat atau lambat, Levin akan menyakiti hati Gabby lagi.  Sejak terakhir dia bertemu dengan Levin, hatinya semakin yakin kalau pria itu tidak sebaik seperti yang selama ini dia tunjukkan.  “Dih, kenapa juga dia yang sewot! Aneh!” gerutu Gabby saat Alex pergi meninggalkan dirinya. *** Hari-hari Gabby kembali penuh warna sejak hubungannya dengan Levin semakin membaik. Levin menjadi lebih perhatian dan selalu mencoba menemani Gabby ke manapun gadis itu pergi.  Gabby yang memang lugu dan baru kali ini merasakan berpacaran tentu saja menjadi sangat bahagia dan tersanjung. Dia bahkan tidak menghiraukan peringatan dari Alex dan menganggap sahabatnya cemburu karena waktu Gabby lebih banyak dihabiskan bersama Levin. Hingga suatu hari setelah dua bulan sejak kejadian itu, Gabby yang sedang beristirahat di kamarnya setelah kembali dari menata toko roti yang akan dia buka. “Kak, di depan ada Kak Devi tuh,” ujar Reni sambil membuka pintu kamar Gabby. “Devi? Mau ngapain dia ke sini?!” sahut Gabby dengan nada tidak suka. “Mana aku tau …,” sahut Reni acuh. “Buruan sana keluar.” Gabby beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju ke ruang tamu di mana Devi sudah menunggunya. “Mau ngapain lagi elo ke sini?!” tanya Gabby datar. “Gue ada perlu sama elo By,” ujar Devi. Gabby memperhatikan wajah sahabatnya yang terlihat lebih tirus dan juga pucat seperti yang sedang sakit. “Ada perlu?! Perasaan gue udah nggak punya urusan sama elo!” sahut Gabby dingin. “Gue tau elo marah sama dan mungkin benci sama gue,” “Bagus kalo nyadar!” sahut Gabby ketus menyela perkataan Devi. “Dengerin gue dulu By, please.” Gabby menjadi tidak tega mendengar suara Devi yang terdengar putus asa. Akhirnya Gabby duduk di sofa sambil menyilangkan kakinya. “Gua kasih waktu lima menit. Jadi cepetan ngomong!” Devi segera  mengeluarkan sebuah amplop putih dari dalam tas dan meletakkannya di meja. Gabby langsung mengerutkan kening ketika membaca sebuah nama Rumah Sakit pada bagian atas amplop. Seketika hatinya menjadi was-was. “Itu amplop apaan?” tanya Gabby. “Baca aja By,” ujar Devi. “Gue nanya itu apaan?!” tanya Gabby semakin  curiga. “Elo liat aja sendiri,” sahut Devi. Gabby mengambil amplop di meja dan membukanya dengan tangan sedikit gemetar.  “Nggak mungkin,” gumam Gabby. “Gue hamil anaknya Levin, dan elo udah liat hasilnya kan.” “Elo yakin ini anak Levin?’ tanya Gabby dengan suara gemetar. “By, gua ngelakuin itu cuma dengan satu pria, dan dia adalah Levin.” “Terus elo mau apa?!” ujar Gabby dengan suara bergetar. “Gue akan minta Levin buat bertanggung jawab,” ujar Devi dengan suara lirih. “Nggak usah elo terusin Dev. Keluar dari rumah gue sekarang!” desis Gabby. Devi beranjak dari sofa dan berjalan menuju ke pintu. Sebelum keluar, dia memandang Gabby sekali lagi. “Maafin gue By,” gumam Devi. Setelah Devi pergi, Gabby menatap nanar hasil lab di tangannya. Air mata yang dari tadi dia tahan, akhirnya mengalir dari kedua matanya, dan lambat laun menjadi isakan yang begitu pilu. Reni yang sejak tadi berdiri di balik tembok dapat memahami kesedihan kakaknya. Dia mengambil ponsel dan langsung mengirim pesan kepada Alex. Reni : kak, dateng ke sini sekarang Reni : kak gabby nangis Alex langsung berlari keluar rumah setelah membaca pesan Reni. Dia melompati pagar kayu dan masuk ke dalam rumah Gabby. Langkah kakinya langsung terhenti ketika dia melihat sahabatnya menangis tersedu-sedu di sofa. Alex berjalan menghampiri Gabby dan berlutut di hadapan gadis itu serta menggenggam lembut tangan sahabatnya. “Mikha, kamu kenapa?” tanya Alex lembut. Dengan tangan gemetar Gabby menyerahkan hasil lab pada Alex. “Liat sendiri,” ujar Gabby lirih. Alex membaca hasil lab dengan tatapan tidak percaya. Tanpa berkata apa-apa, dia menarik Gabby ke dalam pelukannya.  “Shh, jangan nangis lagi. Air mata kamu terlalu berharga buat mereka,” ujar Alex sambil menepuk-nepuk punggung Gabby. “Tapi hati gue sakit Lex,” ujar Gabby tersendat-sendat. “Wajar kalo hati kamu sakit, itu tandanya kamu normal. Tapi jangan berlarut-larut dengan yang kayak ginian. Kamu harus tegar menghadapi mereka.” Alex membiarkan Gabby menangis dan membasahi bajunya, hingga tidak mengetahui kedatangan Helen dan Tanti. “Lho, ada apa ini? Kenapa kamu nangis By?” tanya Helen yang baru masuk ke dalam rumah. “Iya, kenapa kamu nangis? Alex yang bikin kamu sedih?” tanya Bunda Tanti, mama Alex. “Bukan aku Bun,” protes Alex. “Terus siapa? Dan kenapa?” cecar Tanti sambil duduk di samping  Gabby. “Tuh, liat aja sendiri,” sahut Alex sambil menunjuk hasil test yang terletak di meja. Helen bergegas mengambil hasil lab dan membaca isinya. “Ini maksudnya apa?” tanya Helen. “Mana Mbakyu?” ujar Tanti sambil mengulurkan tangan mengambil kertas di tangan Helen. “Astaga!” seru Tanti setelah melihat hasil test. “Devi hamil sama siapa Lex?” “Sama Levin, Bun.” “Ya Tuhan!” pekik Helen. “Kok bisa?!” seru Tanti. “Gimana ceritanya?!” Alex pun menceritakan kejadian dua bulan yang lalu ketika Gabby memergoki Levin dan Devi di kamar kost. “Ya Tuhan.” Hanya kata itu yang mampu diucapkan Helen setelah mendengar cerita Alex. Helen berjalan menghampiri Gabby dan duduk di samping anaknya. “Semua pasti baik-baik saja By,” ujar Helen lembut sambil membawa Gabby ke dalam pelukannya. “Gimana bisa baik-baik aja Ma? Hati Gabby sakit banget,” ujar Gabby dengan suara parau. “Memang sekarang rasanya sangat menyakitkan, dan kamu nggak bisa terima semuanya. Itu wajar, tapi bukan berarti kamu harus berlarut-larut dalam kesedihan ini. Mama percaya Tuhan punya rencana yang lebih baik dari untuk kamu.” “Gabby nggak pengen hidup lagi!” seru Gabby histeris. “Hush! Nggak boleh ngomong gitu. Ada baiknya kamu tau kelakuan Levin dari sekarang. Coba kalau ketauannya setelah kalian menikah, apa nggak lebih sakit lagi?” “Tinggal minta cerai Ma, kan gampang!” bantah Gabby yang belum bisa menerima kenyataan. “Hush! Apa kamu lupa kalau menikah itu hanya sekali seumur hidup?!” “Mama jahat! Mama nggak mau ngerti perasaan Gabby!”  Gabby berlari menuju kamarnya dan menutup pintu dengan keras. Helen yang akan berdiri untuk mengejar Gabby, langsung dicegah oleh Tanti. “Jangan dikejar Mbakyu,” ujar Tanti menenangkan Helen. “Biarkan Gabby bersedih dan menangis sepuasnya saat ini. Kalau dia sudah tenang, kita baru bisa bicara sama dia.” “Jujur lho Tan, hati aku sakit banget ngeliat Gabby hancur seperti saat ini. Aku bener-bener nggak nyangka kalau Levin dan Devi tega berbuat seperti itu sama Gabby,” ujar Helen sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku juga nggak terima Mbak, tapi mau gimana lagi. Mungkin memang Levin itu bukan jodoh yang terbaik untuk Gabby.” Tanti berusaha menghibur Helen. “Terus aku mesti gimana dong Tan? Kalo Gabby seperti ini terus, dia bisa sakit,” keluh Helen. “Serahin sama Alex ya Ma, biar nanti Alex yang bujuk dan kasih pengertian buat Mikha.” “Duh kamu baik banget sih Lex. Mestinya kamu aja yang jadi menantu Mama ya.” Alex hanya diam dan tersenyum  ketika mendengar ucapan Helen.  “Mama titip Gabby ya Lex. Tolong temani dan jaga dia,” ujar Helen. “Mama percaya Gabby akan mampu bangkit dan bertahan karena ada kamu di samping dia.” “Iya Ma.” *** Sejak hari itu Gabby berusaha menghindari Levin. Dia bahkan mengabaikan telepon dan pesan yang dikirim pria itu. Hingga satu minggu kemudian, Levin nekat mencegat Gabby di toko roti milik gadis itu.. “By, kita perlu bicara,” ujar Levin. “Nggak ada lagi yang perlu kita bicarakan Lev.” “Kamu nggak adil sama aku By!” sentak Levin emosi. “Terus kamu pikir ini semua adil buat aku?!” tanya Gabby dengan berapi-api. “Kamu tau kan By, aku cintanya cuma sama kamu. Kenapa kamu tega ninggalin aku?” ujar Levin dengan suara memelas. Gabby memperhatikan penampilan Levin yang terlihat berantakan. “Yang ninggalin itu bukan aku Lev, tapi kamu,” sahut Gabby lirih.  “Kita masih bisa perbaiki semuanya By. Aku akan bertanggung jawab dan menikahi Devi, tapi setelah anaknya lahir, aku janji akan langsung menceraikan dia. Dan setelah itu aku akan kembali sama kamu, dan kita meneruskan mimpi kita,” ujar Levin. “Kamu udah nggak waras Lev! Mana bisa bersikap kayak gitu?! Pernikahan itu hanya boleh sekali seumur hidup, mana bisa kamu menceraikan Devi terus balik sama aku?! Aku nggak mau jadi perusak rumah tangga orang lain!” sahut Gabby kesal. “Tapi aku nggak cinta sama Devi. Aku cintanya cuma sama kamu,” bujuk Levin. “Nggak Lev. Aku udah mutusin akan melupakan kamu. Jadi tolong jangan dekatin akau lagi. Aku doain kamu bahagia sama Devi,” ujar Gabby tulus. “Barusan kamu bilang apa?!” tanya Levin dengan mata menyorot tajam. “Selamanya kamu nggak akan pernah bisa ninggalin aku, karena kamu adalah milik aku!” Gabby melangkah mundur melihat sikap Levin yang seperti sekarang. Tatapan mata pria di hadapannya begitu liar dan itu membuatnya takut.  “Kamu mau apa Lev?” tanya Gabby dengan suara gemetar. “Kalau aku tidak bisa memiliki kamu, maka aku pastikan tidak akan ada yang orang lain yang bisa memiliki kamu!” “Kamu gila Lev.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN