Belanja ke Warung

849 Kata
Belanja ke Warung [Terlambat, saya sudah baca!] tulisku. Tidak lama, ponselku berdering. Wiwin memanggil. Mau apa dia? “Hallo Mbak Cantik!” sapanya dengan nada ketakutan. “Win, bisa kamu jelaskan apa maksudnya semua ini?” tanyaku ketus. Sepertinya aku memang benar-benar telah salah memilih lokasi. Semua orang di sini yang baru kukenal ternyata memiliki keunikan sendiri. Aku sampai memijit pelipis menghadapinya. “M-maaf, Mbak Cantik! Tapi beneran kok, Mbak Cantik seperti bidadari! I—itu aku hanya mau nunjukkin pada kaum tertindas sebangsaku kalau sekarang di cluster ini sudah ada bidadari yang bisa melawan para nenek sihir, gitu!” ucapnya dengan sesekali terbata. Aku menarik napas panjang. Tidak tega juga untuk memarahinya. Terlabih mendengar suara Wiwin yang ketakutan. “Hapus!” Hanya itu kalimat yang kuucapkan lalu panggilan kuputus. Ya, Tuhan! Mimpi apa sih aku bisa dapat rumah dengan lokasi separah ini. Lain kali yang harus diperhatikan kalau mau beli rumah itu selain lokasi, harga maka satu lagi yaitu tetangga. Aku segera mijit tombol video call untuk menghubungi lelaki hidung mancung yang sudah menjadi ayah dari anak-anakku. Bule Amerika yang saat itu sedang berwista ke daerahku Bandung ternyata malah menjadikan aku istrinya. Begitulah jodoh yang dibilang rahasia Allah. “Hay, Mam!” Putra pertamaku Al-Khalifi menyapa. Wajahnya kebule-bulean persis ayahnya. Namun dari logat bicara aku ajarkan sunda. Jadinya wajah bule tapi bicaranya fasih Bahasa sunda dan Bahasa Indonesia. “Hay, Mas Al!” Aku melambaikan tangan. “Hay, Momy!” Citra---putri keduaku yang baru berusia enam tahun juga ikut nongol bersama kakaknya yang usianya terpaut dua tahun darinya. “Hay, Cantik!” Aku melambaikan tangan ke arahnya. “Kalian sudah makan?” tanyaku. Mereka menunjukkan masing-masing benda junk food itu di tangannya. “What’s pizza lagi?” Aku menepuk jidat. Kebiasaan kalau di rumah suka pesen fast food. Pasti ulah Bang Alfred yang selalu mengiyakan apa kemauan mereka. “Iya lah mumpung Momy gak ada, iya gak, Dek?” Si CIkal melirik ke arah Citra sambil menaikkan satu alisnya. Putri bungsuku itu tertawa-tawa sambil menutup mulutnya. “Jadi kalian seneng, ya kalau Momy gak di rumah? Gitu bisa bebas makan apa saja?” Aku sudah memulai ceramah. “Udah deh, Mom! Sesekali doang!” Kudengar suara suamiku tanpa menampakkan wajahnya. Dia selalu begitu, yang penting anak-anak bahagia katanya. Jadinya apapun selalu dituruti. “Papi, kalau keseringan makan makanan fast food itu gak baik buat mereka, Pi!” tukasku. “Iya sekarang doang kan ‘Kak? Dek?” Suami meminta dukungan dari kedua anaknya. Pastilah mereka langsung kompak mengiyakan. “Kalian jangan lupa makan, kalau nenek masak sayur tuh kalian harus makan! Jangan minta fast food terus gak bagus buat kesehatan! Terus ingat kalau waktunya belajar harus kirim video rekaman belajar kalian! Waktunya salat juga, momy minta kakak Sama Adek ganitan videokan juga, ya! Kalau gak nurut, uang jajan kalian nanti momy potong!” ujarku seperti biasa. “Iya dari tadi juga Kakak bikin video tik tok terus, Mom!” celetuk Citra. Namun keburu layar kamera dipenuhi wajah Alhalifi semua. “Alif!” Aku menegurnya. “Citra sih bawell!” cebiknya. “Udah, udah jangan pada nakal, ya di rumah! Bi Imah sama Bi Amih datang ada di rumah ‘kan? Momy mau bicara!” Aku memintanya memberikan gawai pada kedua assisten rumah tanggaku. “Iya, bentar!” ujar Alkhalifi terus dia alihkan ke mode panggilan. Aku mewanti-wanti pada Bi Imah dan Bi Amih agar tetap memperhatikan jam makan, jam shalat dan jam belajar kedua anakku. Meskipun ada ibuku di rumah tetapi kasihan kalau dia harus menjadi satpam kedua bocah yang luar biasa aktifnya itu. Andai mereka tidak sekolah, sudah kuajak juga tinggal di sini. Setelah selesai berbicara pada mereka. Aku memejamkan mata. Lelah rasanya beres-beres barang meski yang dibeli belum seberapa. *** Aku tertidur sekitar satu jam kurang lebih. Setelah mengumpulkan kesadaran, aku bergegas menyalakan menuju kamar mandi. Kunyalakan water heater biar pegal-pegalku sedikit terobati. Namun ternyata shampoo habis. Mau tidak mau aku harus berangkat ke warung sendiri. Kalau menyuruh Wiwin bisa-bisa aku batal mandi. Kalau sudah ngerumpi, anak itu suka lupa waktu. “Win, udah selesai beres-beresnya?” tanyaku ketika tiba di lantai bawah. Tampak Wiwin lagi duduk sambil nyemil di depan tivi. “Sudah, Mbak Cantik! Tadinya sudah mau pulang tapi lagi nanggung ini sinetronnya belum selesai! Di rumah mati lampu!” ujarnya sambil mengangguk malu-malu segan. “Kok bisa di rumah kamu mati lampu sendiri, Win?” Aku mengernyit tidak mengerti. “Iya, Mbak Cantik! Belum isi pulsa listrik soalnya!” ujarnya sambil menggaruk kepala. “Listrik itu kan kebutuhan sehari-hari, masa sampe gak diisi sih, Win!” ucapku. “Iya jempol Wiwin gara-garanya, Mbak Cantik!” ucapnya sambil memukul jemari kanannya dengan gemas. Aku mengernyit semakin tidak mengerti. “Kenapa emangnya jempol kamu, Win?” Aku turut memperhatikan jempolnya dengan seksama. Biasa saja tidak kenapa-kenapa. “Jadi Wiwin tuh dikasih uang sama mama suruh isi token listrik, kan belinya di toko online tuh Mbak Cantik yang kita klik klik sendiri! Eh, kenapa pas selesai beli, Wiwin malah isiin quota! Kan jempolnya yang salah!” ujarnya dengan berapi-api. Ya Salaaam! Ada juga orang kek gini, ya? Dah lah! Aku tidak hendak lagi memperpanjang obrolan dengannya. Yang ada selain pegel aku bisa jadi sakit kepala juga. Gegas kumelangkah ke luar untuk membeli shampoo di warung yang berada terhalang beberapa rumah dari sini. Ada Bu Leli dan Bu Sima yang habis berbelanja juga. Keduanya hanya mendelik sesekali ke arahku. Bu Sima itu tetangga di samping rumahnya Bu Leli. “Mbak, masa istrinya bule belanjanya ke warung?” nyinyir Mbak Sima sambil melirik ke arahku. “Ya, Tuhaaan! Terus kalau istri bule harus pergi ke amerika gitu cuma buat beli shampoo doang, Mbak? Helllooo!” umpatku dalam hati. Tidak lagi kugubris ucapannya yang tidak penting itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN