Jaga Mulut

713 Kata
Jaga Mulut “Mbak tolong jaga mulutnya, ya! Ini rumah saya! Hargai saya sebagai tuan rumah! Kalau suami saya beneran kaya terus kalian bisa apa? Bagaimana kalau suami saya membeli pabrik tempat suami kalian bekerja? Masih berani ngatain suami saya bule kere?!” pekikku dengan mata membulat. “Ck, Ck, Ck! Bener, Mbak Astri kalau sombong itu jangan nanggung! Beli aja pulau jawa sekalian! Padahal suami situ bule buangan, yang di negaranya dicoret terus di sini gak punya izin tinggal alias ilegal! Saya laporin sama polisi baru tahu nanti! Biar ngerasain enaknya di deportasi!” ujarnya sambil menggeleng-geleng kepala dan berkacak pinggang. “Lapor saja dulu, Mbak! Gak usah koar-koar doang! Saya gak takut!” ucapku sambil menyandarkan tubuh pada dinding. Mencoba meredam emosi. Jangan sampai aku terpancing nanti yang ada malah main jambak-jambakan. “Siap-siap saja Mbak Astri! Saya gak takut ditantangin! Saya bisa lapor sekalian kalau Mbak Astri sudah melakukan pencemaran nama baik dengan menyebut suami kami yang orang Indonesia ini tukang korupsi!” ucapnya lagi. “Iya, gih! Lapor!” ucapku lagi sambil mengangguk dan mengulas senyum yang kupaksakan. “Eh, beneran gak takut? Bukannya minta maaf pada kami! Malah nantangin!” Ternyata Mbak Sesa muncul lagi dari belakang. Rupanya tadi dia sengaja mencari teman karena sudah kehabisan amunisi untuk menyerang. Aku tersenyum sambil mengangguk. Ingin rasanya kuteriak pakai toa dan memaki mereka untuk pulang. “Mbak Astri, asal kamu tahu kalau Mbak Leli sama saya ini sama-sama lulusan sarjana! Jadi kamu jangan macem-macem, ya! Apalagi malah mau buat perkumpulan ibu-ibu pengajian di komplek ini! Dari dulu, di sini tuh kalau ada acara apa-apa kamilah pelopornya! Jadi orang baru jangan belagu! Sok Pemes!” cebik Mbak Sesa semakin membuat darahku mendidih. Apalagi itu aku dibilang sok pemes. Ini juga pasti karena si Wiwin yang ember. Aku cuma bilang ke dia waktu itu, gimana ya kalau mau buat acara pengajian mingguan. Belum juga launching dan mengajak siapapun. Wiwin yang kulirik terus sibuk menyapu. Entah sudah berapa kali tempat itu disapunya. Padahal rumahku masih luas dan ada bagian lainnya. Pastinya dia sedang merekam semua ini dan jadi bahan hot gosip lagi di perumahan deretan sebelah. “Baik ibu-ibu sarjana yang terhormat! Sekarang saya mengerti anda-anda semua ialah orang berpendidikan! Karena itu saya tidak perlu ‘kan teriak pada satpam di depan komplek agar ibu-ibu segera pulang! Saya kurang enak badan, mau istirahat hari ini,” ucapku dengan ucapan penuh penekanan. “Duh! Duh! Duh! Jeng Leli kita diusir sama istrinya bule kere! Ya ampuuun, bisa hancur harga diri kita sebagai geng emejing? Kamu pasti juga gak ngerti apa arti kata emejing itu sendiri ‘kan?” “Hey, Wowon awas ya kalau kamu menyebar gosip kami diusir istri bule kere ini!” Kali ini Leli melirik ke arah Wiwin. Matanya membulat mengancam. “Wiwin, Madam!” ucap Wiwin sambil membungkuk hormat. Lalu dia terburu-buru pindah ke ruangan belakang. “Sudahkah kalian bicaranya nyonya-nyonya pejabat? Saya izin istirahat dulu, ya!” ucapku sambil berjalan meniti tangga menuju kamarku di lantai dua. “Kami belum selesai, Mbak Astri! Sampai ketemu besok di tukang sayur! Kita lihat siapa dari kita yang lebih pemes di sini! Jangan sok mentang-mentang punya suami bule!” pekik Mbak Sesa. Aku tidak lagi menghiraukan teriakannya. Langsung berjalan dan berbelok menuju kamarku. Segera kupijit nomor telepon Wiwin dari sini. “Ada apa, Mbak telepon saya?” Wiwin langsung menjawab tanpa menunggu lama. “Tutup pintunya ya kalau mereka sudah pergi!” titahku. “Sudah, Mbak! Pintunya mereka banting sendiri tadi!” ujar Wiwin menjelaskan. “Oh ok kalau gitu! Jangan ganggu saya, ya! Mau istirahat!” perintahku. “Iya, Mbak Cantik!” ucap Wiwin. Aku menutup panggilan. Gawai masih kupegang karena hendak menge-chek pesan dari Bang Alfred. Menunggu kabar tentang anak-anak yang masih belum libur sekolah. Toh mereka juga tinggal bersama ibuku di sana. Lagi pula kami di sini hanya sementara. Setelah kasus penyelidikan para pekerja korupsi di perusahaan Bang Alfred yang dipimpin Aaron---adiknya suamiku di sini selesai. Kami juga akan kembali ke Jakarta. Tring! Sebuah notifikasi pesan masuk. Dari nomor Wiwin. Mataku membelalak ketika yang dia share ternyata suara rekaman perseteruan kami tadi di ruang depan. Pantas saja dia lebih memilih pura-pura menyapu lantai sampai berulang. Rupanya dia hanya ingin mendapat konten untuk akun sosial medianya. [Yuk merapat ke IG @WinWinWin biar bisa tonton video ini secara full! Kalian pasti kepo ‘kan gimana geng karatan tidak berkutik melawan ibu bidadari?!] tulisnya. Namun tidak lama pesan dan video itu dihapusnya. Rupanya dia salah kirim. Tidak lama gawaiku berdering dan panggilan masuk dari nomor Wiwin. Aku segera mengetik pesan padanya. [Terlambat, aku sudah baca!] tulisku. “Hallo Mbak Cantik!” sapanya dengan nada ketakutan. “Win, bisa kamu jelaskan apa maksudnya semua ini?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN