Pussy
Bergegas aku menyelesaikan pembelianku. Tidak ingin lagi berlama-lama berada di dekat dua tetangga toxic tersebut.
Lalu berjalan pulang tanpa menyahuti satu pun perkataan mereka. Aku mau mandi biar badan dan pikiran seger.
Setibanya di rumah, kulihat mobil Bang Alfred sudah terparkir di depan. Pasti dia sudah pulang. Tadi ‘kan aku tidur cukup lama.
Aku mempercepat jalanku dan langsung masuk ke dalam. Namun alangkah terkejutnya aku melihat pemandangan yang ada di depan.
“Papiii! Apa-apaan, ini?” pekikku dengan mata membeliak.
“Apa-apaan gimana?” tanyanya. Bang Alfred memang sudah khatam Bahasa Indonesia.
“Itu!” Aku menunjuk ke arah pojok sofa.
“p***y! Where are you going?” Bang Alfred tampak terkejut. Kebiasaan dia kalau spontan atau ngomong sama p***y---kucingku, suka pake Bahasa inggris.
“Papi, memangnya p***y sudah pernah kursus bahasa inggris? Kamu tuh kalau ngomong sama dia kenapa selalu pake bahasa inggris?” komplenku sambil melempar plastik berisi shampo ke atas sofa dan memburu p***y. Bukunya tampak kotor dan lengket.
“Ya, karena Papi gak bisa Bahasa kucing! Jadinya bicara pakai bahasa Inggris!” jawabnya santai sambil mengedik.
“Astagaaa! Jawaban macam apa lagi ini?” Aku menggeleng-geleng kepala mendengar jawabannya. Ya, siapa juga yang ngerti bahasa kucing. Sudah lagi kesel jadinya aku kembali menimpali.
“Terus Papi pikir, Momy bisa bicara bahasa kucing karena sudah lama tinggal di Indonesia?” sewotku sambil memangku p***y yang bulunya tampak kotor seperti terkena siraman ampas kopi dan cokelat kental.
Dia terkekeh sambil berjalan ke kamar kami di lantai atas. Aku segera memangku p***y, kucing peliharaan kami yang baru saja tiba. Kemarin sebelum Bang Alfred pulang, aku memintanya membawa kucing itu kemari karena aku merasa kesepian berjauhan dari Al sama Citra---anak-anakku.
“Wiwin! Siapin air hangat, ya! Tolong mandiin p***y!” ucapku menoleh ke arah Wiwin yang baru saja muncul dari arah dapur.
“Kucingnya cantik banget, Mbak! Siapa tadi namanya?” tanya Wiwin.
“p***y! Nanti tolong bersihin juga kandangnya! Setelah bulunya kering nanti simpan dulu di belakang terus di kasih makan!” ucapku.
“Tapi ini p***y kenapa kamu siram kopi sih, Win?” Aku mendelik ke arahnya. Tetap tak rela walau nanti Wiwin bilang itu ialah gak sengaja.
“Tadi Tuan Alfred lepasin dia, sepertinya lari ke sebelah, Mbak Cantik! Bukan saya yang nyiram dia,” ucapnya sambil menunduk seolah menyembunyikan sesuatu.
“Ya udah nih mandiin, ya!” Aku memberikan p***y pada Wiwin. Kucing gemoy itu menurut saja.
Sementara itu aku menuju lantai atas menyusul Bang Alfred. Aku hendak mengadukan kalau ingin segera pindah rumah dari sini.
Suamiku sedang terbaring di atas tempat tidur. Posisinya telungkup membelakangiku. Kutepuk bahunya.
“Papi! Rencana penyelidikan di perusahaan berapa lama, sih?” tanyaku sambil menjatuhkan bobotku pada sofa mini yang tersedia di dalam kamar utama ini.
Kebetulan memang kalau sofa sudah ada di sini. Jadi di ruang tengah hanya ada sofa saja dan meja tivi kecil.
“I don’t know! May be around five to six month!” ujarnya tanpa menoleh.
“Papi, ngomongnya pake nahasa Indonesia aja, Momy bukan kucing!” ketusku. Dia merubah posisi tidurnya menjadi menghadap ke arahku.
“Belum tahu lagi, paling sekitar lima sampai enam bulan,” jelasnya kemudian.
“Heh, itu kan tadi udah jawab!” ucapku kesal. Dia malah menggeleng-geleng kepala.
“Momy baru satu minggu di sini sudah berubah! Jadi lebih lucu,” kekehnya.
Aku melotot ke arahnya sambil cemberut. Lalu menyandarkan punggungku pada sandaran sofa.
“Mami sudah gak betah! Orang-orang di sini pada aneh! Bisa-bisa Momy ikutan aneh nantinya!” ujarku sambil menatap serius ke arahnya.
“Aneh gimana? Bukannya pada baik, ya?” tanyanya sok tahu.
“Baik dari mana?” tanyaku sambil merengut.
“Tadi waktu Papi baru tiba, langsung disamperin sama tetangga dan ajak kenalan! Terus dia ada pulang dulu bagi Papi kue kecil segala!” ujarnya santai.
“Eh tetangga sebelah mana? Tanyaku. Seingatku belum ada yang baik dan ramah yang kutemui di sini.
“Sebelah kiri kalau kata Wiwin!” ujar Bang Alfred.
“Masa sih, Mbak Sesa? Dia kan tadi pagi saja sebenci itu pada Momy?” gumamku.
Aku tidak menunggu penjelasan Bang Alfred lagi. Bergegas turun untuk bertanya pada Wiwin.
“Win! Win! Tadi siapa yang datang ke sini? Kata Bang Alfred orangnya baik sama ngasih kue juga?” Aku menatap Wiwin penasaran.
“Emhh, anu, itu! Hmmm … tapi Mbak Cantik jangan bilang-bilang, ya!” ujarnya.
“Iya saya janji! Siapa memang?” tanyaku menatap heran padanya.
“Anu, itu … hmmm … Mbak Sesa!” ujar Wiwin sambil menunduk. Aku mengernyit heran. Sejak kapan Sesa memperhatikan keluargaku.
Tunggu! Sesa bukan memperhatikan keluargaku, tapi memperhatikan suamiku! Jangan-jangan nyinyirannya itu karena sirik tanda tak mampu? Aku mencoba mengingat-ingat seiap kejadian.
“Kuenya mana, Win?” tanyaku. Wiwin menggaruk kepala.
“Hmmm saya simpan di belakang, Mbak Cantik tapi tadi saya makan satu!” ucapnya sambil menggaruk kepala.
“Ok, baiklah kalau begitu! Makasih, ya infonya!” ujarku sambil berjalan hendak menuju ke depan. Namun tiba-tiba teringat p***y. Wiwin datang padaku dengan tangan kosong. Aku menghentikan langkah lalu menoleh dan bertanya padanya.
“Win, p***y mana?” tanyaku.
“Ya Allah, Mbak Cantik! Saya lupa! Tadi lagi dijemur di depan!” Dia bergegas berlari ke luar. Aku mematung menatap punggungnya yang menjauh.
“Awas lho jangan sampai p***y hilang?” pekikku. Wiwin malah menghentikan ayunan langkahnya. Dia menioleh sambil mengerutkan kening.
“Mbak Cantik, kalau setahuku misal kita jemur sesuatu itu biar bisa kering, bukan biar bisa hilang?” tanyanya.
“Astagaaa! Gimana ya jelasinnya ke kamu! Sudahlah pokoknya tungguin si p***y jangan sampai hilang!” tukasku sambil berjalan tergesa meninggalkannya.
Aku bergegas ke dapur mengambil kue yang katanya tadi dari Mbak Sesa. Lalu aku berjalan kembali melewati Wiwin yang tampak sedang kebingungan, sepertinya p***y benar-benar hilang.
Setibanya aku di rumah sebelah. Kupijit bell pada pintu gerbangnya. Menunggu beberapa menit hingga seorang wanita berambut pirang datang ke luar.
“Eh ada Mbak Astri! Ngapain ke rumah saya?” tanyanya sambil menghampiriku.
Aku masih terdiam sampai dia membukakan pintu gerbang. Lalu kuserahkan toples kue yang kata Wiwin itu darinya.
“Ini punya Mbak Sesa! Walaupun suami saya sampean kata-katain bule miskin, tapi kami masih punya duit gak perlu sumbangan dari sampean!” ucapku sambil mengembalikan toples kue itu pada wanita beambut pirang yang masih mematung saja.