Seperti Lapang Bola

664 Kata
Seperti Lapang Bola “Ya Ampuun, Mbak Astri! Rumahnya kok masih kayak lapang bola saja, sih? Bersih, gak ada perabotan! Katanya orang kaya? Cuma omong doang ternyata!” cebik Mbak Sesa, tetangga baruku. Ya, aku baru pindah sekitar seminggu lalu dan memang belum sempat beli perabotan. “Kenapa sih, Mbak? Memangnya masalah buat, Mbak?” Aku menoleh padanya yang tengah bersandar pada tiang pintu. “Nih, ya, Mbak! Asal Mbak Astri tahu, semua yang tinggal di deretan ini, kami semua orang highclass! Suami kami semua bekerja di perusahaan asing! Jadi gak sembarangan orang yang bisa berbaur dengan kami! Situ kebetulan saja, karena si Selvia yang dulu punya rumah ini bangkrut usahanya! Jadinya pasti rumah ini djual murah sama dia ‘kan?” ujarnya lagi sambil membetulkan rambutnya yang berwarna pirang. Dicat pake merk apa entahlah. Soalnya ujung rambutnya tampak kering. “Ya sudah, sih! Itu urusan Mbak Sesa sama yang lain! Memangnya orang biasa seperti saya gak boleh tinggal di sini?” ucapku masih mencoba bersikap wajar. Bagaimanapun, aku pendatang baru di sini. Mencoba berbaur dengan mereka sudah sepantasnya. Namun ternyata rumah yang kubeli mendadak ini, salah lokasinya. Setiap hari kupingku pedas mendengar ocehan mereka. “Saya sarankan Mbak Astri tuh bilang sama suaminya! Suruh belanja perabotan! Katanya suaminya orang Amerika, beli perabotan saja gak mampu! Mending saya punya suami orang lokal, asli Indonesia! Ibarat kata tuh, saya itu cinta produk dalam negeri! Mbak Leli juga suaminya orang Jakarta, gak angkuh kaya sampean … mentang-mentang suaminya bule! Bule kere paling juga, ya?” ujarnya lagi dengan bibir yang maju setengah senti. “Mau orang luar, mau orang lokal semuanya sama saja, Mbak! Jangan lihat orang dari cangkang saja! Lebih baik orang luar tapi mengerti aturan dan taat hukum pastinya dari pada orang negeri sendiri tapi kerjanya korupsi!” ujarku spontan. “Elah, dikasih saran kok malah ngeyel!” cebiknya lagi. “Permisi, Mbak Astri! Bu Sesa!” Wiwin yang tadi pagi kuminta bantu beres-beres baru datang. Senyumku merekah menyambut kedatangannya. Setidaknya aku bisa beristirahat di kamar dari pada mendengar ocehan Mbak Sesa bikin sakit kepala. “Win, maaf ya merepotkan lagi! Sejak tadi malam tangan saya pegel-pegel! Kalau sehat sih, cuma beres-beres saja sih bisa!” ujarku sambil menyodorkan gagang pel pada Wiwin. “Gak apa-apa, Mbak! Saya seneng kalau bantu-bantu di rumah, Mbak! Suka dikasih tips!” ujarnya sambil menutup mulutnya dan cengengesan. “Elaaah … Win! Win! Paling juga dikasih tips lima ribu! Dasar orang susah!” ujarnya sambil melengos pergi meninggalkan aku dan Wiwin yang saling beradu tatap. “Win, emang kamu cerita-cerita pada mereka dari mana asal suami saya?” Aku menatap gadis berusia delapan belas tahun itu. Wiwin hanya nyengir kuda dan menggaruk-garuk kepala. “Maaf, Mbak! Wiwin kira gak bakal jadi bahan bullyan geng karatan!” ujarnya. “Eh, geng karatan? Maksudnya?” Aku mengernyit tidak mengerti. “Iya, kami selalu menyebut mereka berempat itu geng karatan! Soalnya kalau ngomong bisa sampe hujan! Jadi yang didekatnya bisa berkarat,” celoteh Wiwin sambil tertawa-tawa sendiri. Aku menggeleng kepala. Berbicara dengan Wiwin juga sama-sama sering ngelantur ke mana-mana. Aku baru saja memutar tubuh hendak menuju kamar untuk istirahat. Ketika daun pintuku digedor seseorang. “Eh, Mbak Astri! Lidah tidak bertulang emang, ya? Kalau ngomong seenaknya! Ngapain juga ngomongin suami saya suka korupsi? Memangnya Mbak Astri punya bukti?!” teriak Mbak Leli---tetangga rumah sebelah kiri. “Maaf Mbak Leli, maksudnya apa, ya?” Aku mengernyit sambil mengurungkan langkah yang hendak menuju kamar. “Elaaah, sok polos banget sih, Mbak! Baru saja beberapa menit lalu bicara sama Mbak Sesa kalau suami kami orang Indonesia itu tukang korupsi! Sekarang sudah pura-pura lupa! Saya doakan Mbak Astri beneran amnesia!” ujarnya dengan gaya pongahnya. “Saya gak bilang gitu, Mbak! Tanya Wiwin … dia dengar sendiri kok tadi saya bilang apa?” ucapku masih mencoba menahan amarah. “Nih, ya! Gak usah ngajak-ngajak Wiwin segala! Saya lebih percaya Mbak Sesa kemana-manalah! Dia sendiri yang bilang pada saya, kalau Mbak Astri mengatakan orang Indonesia itu tukang korupsi! Jangan mentang-mentang suaminya bule! Bule juga kalau miskin buat apa, Mbak? Pamer doang biar dibilang wah, gitu?” cebiknya lagi. “Mbak tolong jaga mulutnya, ya! Ini rumah saya! Hargai saya sebagai tuan rumah! Kalau suami saya beneran kaya terus kalian bisa apa? Bagaimana kalau suami saya membeli pabrik tempat suami kalian bekerja? Masih berani ngatain suami saya bule kere?!” pekikku dengan mata membulat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN