4. Kehadiran si Kecil yang Tidak Tepat

1391 Kata
"Aku akan gugat kamu ke pengadilan besok!" tekan Eca yang membuat sang suami langsung mendongak. "Eca, please, Sayang. Aku gak mau kita cerai. Aku sangat cinta sama kamu," mohon Adit dengan raut memelas. "Cinta, kamu bilang?" Eca menggeleng-gelengkan kepalanya karena heran dengan sikap suaminya yang ternyata masih bisa merayu di saat seperti ini. "Emang enggak waras kamu!" Eca segera beranjak dari ranjang, tanpa pertimbangkan keseimbangan tubuhnya yang akhirnya membuatnya terjatuh. "Sayang, please! Dengerin aku," mohon Adit sembari mencoba mendekati Eca namun kembali mendapat penolakan. "Pergi! Aku bisa bangun sendiri." Eca tak peduli lagi dengan raut memohon yang ditampilkan sang suami. Jauh lebih baik terjatuh seperti ini daripada mendengar penjelasan Adit yang semakin membuatnya muak. Namun, rasa nyeri serasa menghantam atas kepala Eca saat dia berhasil berdiri. Lalu rasa mual yang mendadak menghampirinya, membuatnya tak punya pilihan lain selain menuju ke kamar mandi untuk memuntahkan seluruh isi dalam perutnya. "Eca?" Panggil laki-laki itu ketika mengejar Eca yang berjalan ke kamar mandi. Ia ingin membantunya, namun takut akan mendapat penolakan lagi dari Eca. Akhirnya ia hanya bisa berdiri resah di depan pintu kamar mandi, saat mendengar Eca terus memuntahkan semua isi dalam perutnya. Saat Eca telah keluar dari kamar mandi, Adit segera menyambutnya dengan raut khawatir. "Kamu enggak apa-apa, Sayang?" "Berhenti manggil aku dengan sebutan sayang. Aku sangat muak, Dit!" Eca berjalan melewati Adit tanpa peduli dengan keberadaannya yang masih berdiri di sana. Bagi Eca semua perhatian Adit sudah tidak berarti. Eca sendiri tidak paham, kenapa suami yang selalu memperlakukannya seperti ratu itu, malah diam-diam bermain api di belakangnya. Hatinya sangat sakit, karena dikecewakan oleh orang terdekatnya. "Eca, dengerin penjelasan aku dulu." Adit menarik lengan Eca hingga membuat wanita itu berbalik. Dia berlutut di depan Eca tanpa peduli apapun. "Percayalah, Ca. Hanya kamu satu-satunya wanita yang aku cintai. Aku tidak akan merespon, jika wanita itu tidak menggodaku lebih dulu. Aku mohon jangan gugat aku." Bukan ini yang Eca mau, meskipun akhirnya sang suami mengakui perbuatannya. Eca ingin mendengar permintaan maaf yang tulus dari Adit. Tapi nyatanya, Adit sama sekali tak melakukannya, bahkan terkesan menyalahkan wanita yang menjadi selingkuhannya. Menekan pelipis berkali-kali pun, tetap tidak mengurangi beban yang ditanggung Eca. Wanita yang masih berstatus istri Adit itu segera memerintahkan, "Berdiri!" Tak ada penekanan, ataupun intonasi yang tinggi dari ucapan Eca. Namun ketenangan yang ditunjukkan Eca, justru membuat nyali Adit semakin menciut. Pria itu berdiri perlahan, namun masih enggan mengangkat wajahnya dan memilih memperhatikan apapun di bawah kakinya daripada berhadapan dengan raut garang Eca. "Kamu seneng, kan? kalau pada akhirnya aku hamil?" Adit spontan mengangguk tanpa pikir panjang. Ia sebenarnya ingin bersorak sekencang-kencangnya, namun sadar jika situasinya tidak tepat. Akhirnya Adit baru berani menampakkan wajahnya dan berbicara dengan percaya diri. "Sepertinya Tuhan tidak merestui perpisahan yang kamu inginkan, Ca. Buktinya Tuhan malah menitipkan janin dalam kandungamu, disaat kita ada masalah. Dunia tidak merestui perpisahan kita, Ca." Eca hanya menggeleng heran dan menertawakan ucapan Adit. Ia sebenarnya ingin marah, tapi tenaganya terlalu berharga. Ditambah lagi, ia takut jika kemarahannya akan mempengaruhi pertumbuhan janin janin di dalam kandungannya. Ia memilih berjalan keluar dari ruang perawatannya, dan menuju ke ruang bagian obgyn tanpa peduli dengan Adit yang berusaha berjalan mensejajarinya. Tiba di ruangan obgyn, Eca merasa canggung dengan semua interaksi yang terjadi. Terlebih ketika dokter yang memeriksanya, terus mengeser kepala tranduser pada permukaan perutnya untuk memperlihatkan keberadaan janin di dalam sana. Ia rasakan sensasi dingin sekaligus menggelikan yang membuatnya tidak nyaman. Namun, keberadaan janin pada layar hitam putih di depannya, mampu alihkan seluruh rasa tidak nyamannya. "Kenapa kamu hadir di saat yang tidak tepat?" Batin Eca berbicara. Meskipun kehadiran calon anaknya adalah hal yang ditunggu selama ini, namun Eca menyayangkan karena janin itu justru hadir di saat sang suami mengkhianatinya. Eca khawatir dengan masa depan anaknya kelak. "Ini kantung kehamilannya ya, Bu. Janinnya memang belum terlihat jelas, karena usia kandungan Bu Alesha yang masih dini." Ucapan dari dokter yang memeriksa Eca, membuat Eca tersadar dari lamunannya. Banyak sekali hal yang dipikirkannya, termasuk nasib anaknya kelak. Berbeda dengan Adit yang terus tersenyum sejak tadi. Pria itu terlihat sangat bahagia dengan kehadiran calon anaknya. "Usianya sudah berapa, Dok?" Tak seperti Eca yang cenderung terdiam ketika dokter menjelaskan panjang lebar, Adit jauh lebih aktif bertanya, termasuk hal-hal apa saja yang tidak boleh dilakukan wanita hamil. "Dihitung dari HPHT, usianya sudah jalan tiga minggu ya, Pak," ucap dokter itu sambil melepas sarung tangannya, lalu beralih pada kursi di ujung ruangannya. "Ini saya resepkan beberapa vitamin, ya. Ibu Alesha bisa mengikuti jadwal pemeriksaan kandungan sesuai tanggal yang tertera," imbuh dokter itu sembari menuliskan resep pada secarik kertas di mejanya. Eca sendiri tak bisa menolak sentuhan Adit yang terlanjur membantunya bangun dari baringannya, dan menggiringnya duduk pada bangku di depan dokter. Lebih tidak mungkin lagi, jika Eca tunjukkan pertengkaran dengan sang suami di depan dokter yang baru saja memeriksanya. "Terima kasih, Dok," ucap Eca saat menerima lembaran kecil berisi resep yang perlu ditebusnya nanti. Setelah Eca dan Adit keluar dari ruang pemeriksaan, Eca memilih berdiam tanpa membahas apapun, meski kini dirinya sudah berada di dalam mobil yang dikendarai Adit. Bahkan sepanjang perjalanan menuju ke rumah pun, Eca masih enggan membuka mulut, meski beberapa kali Adit mencoba mengisi keheningan. "Gak mau mampir beli sesuatu dulu, Sayang?" tanya Adit, ketika mobil yang dikendarainya hampir memasuki wilayah komplek perumahan tempat tinggal mereka. Tanpa repot-repot menjawab, Eca hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban pertanyaan dari Adit. Ia memilih memeriksa pesan masuk di ponselnya, daripada memberi kesempatan kepada Adit untuk mengakrabkan diri dengannya. Mendengarnya memanggil dengan 'Sayang' saja, sudah menaikkan amarah yang sempat teredam. Nama sang sahabat langsung terpampang, ketika Eca berhasil membuka layar. Ucapan permintaan maaf, langsung memenuhi layar ponsel Eca, ketika dirinya membuka pesan singkat dari Putri. Lalu, kiriman gambar di akhir pesan, berhasil mengalihkan sejenak amarah Eca, karena sahabatnya itu terpaksa meminjam celana longgar milik salah satu office girl di restoran itu, karena rok yang dikenakan sebelumnya basah terkena air. Membayangkan outfit nyeleneh yang dikenakan Putri, ternyata berhasil membuat bibir Eca tersenyum tipis. Dalam hati, Eca bersorak 'Yes', karena merasa Putri pantas mendapatkannya karena sudah kualat kepadanya. "Siapa suruh ninggalin aku gitu aja pas lagi antri-antrinya." "Beneran, kamu gak mau beli sesuatu, Ca? Kamu tadi belum sempat makan, kan? Mau aku beliin sesuatu dulu?" Pertanyaan dari Adit baru menyadarkan Eca jika mereka sudah sampai pada pelataran parkir rumah mereka. Lalu terbesit satu hal dalam pikiran Eca, ketika dia melihat penampakan depan rumah yang menjadi tempat paling nyamannya bersama sang suami selama ini. "Dit, aku gak bisa." Eca terus menggeleng, seolah tidak mau membayangkan apapun yang mampir pada pikirannya. "Aku gak bisa serumah sama kamu lagi. Aku mau pulang ke rumah mama." "Ca, please. Jangan bahas itu lagi. Ini buat kebaikan calon anak kita, Sayang." "Calon anak kita?" Eca menertawakan pernyataan Adit yang diangapnya konyol. "Bukannya buat kebaikan kamu, ya?" "Sayang, jangan gitu dong. Kamu gak mikirin gimana anak kita nanti kalau dia tumbuh tanpa seorang ayah? kamu gak mikirin stigma negatif masyarat yang bakalan diterima anak kita?" "Stop, Dit!" Ucapan yang berupa ancaman yang keluar dari bibir Eca, membuat Adit bungkam seketika. "Kamu sadar gak, kalau kamu belum mengakui kesalahanmu?" Dengan tidak merasa bersalahnya, Adit malah memukul roda kemudi di depannya, dan mengumpat sekeras-kerasnya hingga Eca terloncat kaget. "F*ck!" "Udah berapa kali sih, Ca aku musti bilang? Aku gak suka sama wanita itu! Dia duluan yang godain aku. Wanita di hati aku ya cuma kamu!" Eca semakin menertawakan pernyataan Adit yang dirasanya sangat konyol. Tanpa mau membuang waktunya, Eca memilih turun lebih dulu dari mobil, dan pergi ke kamarnya untuk mengemasi seluruh pakaiannya. "Ca! Mau kamu apa, sih?" Adit yang ternyata turut mengekorinya. Pria itu merasa sudah sangat bersabar dari tadi, dan Eca terus mengabaikannya. Merasa disepelekan, Adit terpaksa membalik tubuh Eca hingga keduanya saling berhadapan. Tatapan kebencian yang ditunjukkan Eca, semakin memancing amarah Adit naik ke ubun-ubun. "Kamu gak hargain aku sebagai suami?" "Kamu yang gak hargain aku sebagai istri, Dit!" Teriakan Eca tak kalah nyaringnya dari Adit. Eca semakin beranikan diri menatap kedua mata Adit ketika menantang, "Biarin aku tinggal di rumah mama aku, kalau kamu ingin ketemu sama anak kamu. Aku gak segan-segan loncat dari lantai atas, kalau kamu ngelarang aku pergi!" Ancaman Eca ternyata berhasil. Kedua tangan Adit yang tadinya mencengkram lengan Eca, kini melonggar disertai raut penyesalan yang ditunjukkannya. Dalam ketidakberdayaan Adit, Eca kembali menekankan, "Dua nyawa berada di tangan kamu. Jadi biarin aku pergi, kalau kamu memang ingin bertemu anak kamu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN