3. Pesan Singkat yang Menyesatkan

1399 Kata
"Kamu jahat, Dit." Adit jelas tahu maksud dari ucapan Eca. Namun dia memilih mengabaikannya dan segera melarikan Eca ke rumah sakit terdekat. Jelas ada kekhawatiran pada diri Adit. Pertemuannya dengan wanita lain yang tak sengaja kepergok Eca, jelas mengancam kehancuran rumah tangganya. "Sabar, Sayang," ucap Adit dengan nada bergetar. Adit merasa sangat bersalah, jika memang betul Eca pingsan gara-gara melihatnya dengan wanita lain. Ia terus mengendarai mobilnya tanpa peduli berbagai pesan masuk pada ponselnya. Diam-diam, Adit menyiapkan alibi agar Eca tidak marah kepadanya nanti jika sudah sadar. Rasa cintanya kepada Eca memang nyata. Namun, sayang dia juga menjalin hubungan dengan wanita lain. Setelah Eca berhasil mendapat perawatan, tak berselang lama, mata Eca mulai terbuka perlahan. Sebenarnya Eca senang, karena Adit adalah orang pertama yang dilihatnya. Namun, di sisi lain hatinya terasa sangat sakit, dan sangat kecewa kepada Adit mengingat semua kejanggalan hari ini. "Syukurlah kamu sudah sadar, Sayang." Adit mengusap dengan lembut puncak kepala Eca namun, segera ditepis oleh Eca. Meski kecewa dengan perlakuan Eca, Adit mencoba mengalah. Digenggamnya jemari Eca dengan erat. "Kamu kenapa bisa pingsan seperti itu? Aku sangat khawatir, Ca." Jika biasanya perhatian serta sentuhan lembut dari Adit adalah hal yang selalu didambakan Eca, berbeda kali ini. Eca merasa perlakuan lembut Adit tidak berarti jika memang dugaannya benar. "Siapa wanita tadi?" tembak Eca tanpa basa-basi. Ingatan itu jelas masih melekat pada dirinya, ketika Adit terpantau bercanda gurau dengan seorang wanita yang tidak dikenalinya. Meskipun wajah si wanita tidak terlihat, namun Eca masih ingat dengan postur tubuh si wanita, serta potongan rambutnya yang panjang. "Wanita yang mana?" Lagi-lagi Adit mencoba berkilah. Bahkan Eca hampir tidak menemukan kepanikan dari raut Adit. Laki-laki itu menatap Eca sambil menertawakan, "Jangan bilang kalau kamu pingsan karena lihat aku duduk sama bu Vera, tadi." "Bu Vera?" tanya Eca memastikan. Lalu Adit kembali meyakinkan. "Iya, Sayang. Itu tadi bu Vera, klien aku. Kita memang lagi meeting di luar kantor." Masalahnya, Eca masih sangat hafal dengan pakaian yang dikenakan wanita itu yang terkesan kasual. Ditambah lagi, ucapan Adit tadi pagi yang mengatakan dia mengambil cuti hari ini. Jelas semua penjelasan Adit terasa janggal bagi Eca. "Jangan bilang kamu nuduh aku selingkuh?" imbuh Adit yang mengucapkannya dengan tenang tanpa tunjukkan kepanikan sama sekali. Bahkan dari gayanya berbicara, ia seolah ganti menyudutkan Eca. "Ada-ada aja kamu, Ca. Jangan nuduh sembarangan kalau enggak ada bukti." Tak mau dirinya disudutkan, Eca berlagak tegas saat kembali menanyakan, "Lalu kamu kemana enam hari ini? kenapa mobil kamu sudah lalui jarak tempuh lebih dari seribu kilometer?" "Apa? seribu kilometer?" tanya Adit terkejut. Entah dia terkejut dengan angka jarak tempuh yang tertera di mobilnya, atau dia terkejut kenapa Eca bisa mengetahui hal itu. "Satu lagi," imbuh Eca tiba-tiba yang membuat Adit langsung terdiam. "Aku nemuin anting di saku jaket kamu. Punya siapa?" Suasana terasa menegang ketika Eca terang-terangan melemparkan tatapan membunuh kepada Adit. Sedangkan laki-laki itu, sempat tertangkap kesusahan meneguk saliva, seperti orang yang berusaha sembunyikan kepanikan. "Oke, aku akan jawab satu persatu." Laki-laki itu menghela napas panjang sebelum kembali berbicara, "Aku turun di bandara, dan mobilku langsung dibawa asistenku. Dia gak ada lapor ke aku kalau mobilnya dibawa ke mana aja, dan aku gak sempat ngecek. Setahuku, ya mobilku ada di area penitipan. Yang kedua masalah anting. Jadi rencananya, aku emang mau kasih anting itu buat kamu. Tapi aku malah gak sengaja jatuhin kotaknya di pesawat. Aku sampai dibantu pramugarinya buat nyari. Pas baru ketemu satu, aku putusin buat berhenti cari karena pesawat mau landing. Aku pikir bisa beliin kamu kapan aja nanti." Yang Eca tangkap, Adit terlampau pandai mencari alasan, sedangkan dirinya sendiri memang belum menemukan bukti yang kuat untuk menyangkal alibi sang suami. Eca jadi menyesal telah memberi kepercayaan sepenuhnya kepada sang suami. "Udahlah, Ca. Gak usah berdebat buat masalah sepele seperti ini. Aku gak mungkin selingkuh, Sayang. Kamu tahu kan gimana bucinnya aku ke kamu?" Lagi, Adit kembali meyakinkan sang istri, bahkan tak segan mengusap puncak kepala Eca. "Lagian, kamu kan sedang mengandung anak kita. Jangan banyak pikiran, ya? Demi calon anak kita, Sayang," ucap Adit kembali yang seolah berusaha mengubah topik pembicaraan. Tak ada jawaban dari Eca. Wanita itu masih betah merengut dan berpikir keras agar suami brengs*knya mau mengakui semuanya. Masih tersenyum, Adit menyentil hidung sang istri saat kembali berkata, "Kamu cemburu kan lihat aku sama klien wanita?" "Apaan sih, Dit." Jika biasanya Eca menyukai cara Adit menggodanya, namun kali ini semua itu terasa memuakkan baginya. "Jangan marah dong, Sayang. Ini kan cuma masalah kerjaan. Biasanya kamu juga enggak masalah, kan? Ini pasti pengaruh hormon kehamilan kamu, Sayang. Makanya kamu sensitif banget." Eca masih enggan menanggapi. Ia membiarkan Adit berbicara sendiri dari tadi tanpa menoleh. Baginya semuanya sudah tidak masuk akal. Dalam hatinya, ia bertekad akan mencari tahu dan akan menemukan bukti jika Adit selingkuh. "Mumpung kita di sini, kita ke bagian obgyn sekalian, ya? Aku sudah hubungi Putri dan minta tolong ke dia buat ijinin kamu. Kamu enggak perlu balik ke kantor, Ca." Adit kembali mengusap puncak kepala Eca tanpa perlawanan darinya. Eca sendiri bingung dengan apa yang dirasakannya sekarang. Jika ingin marah, dia tidak punya bukti kuat. Dilain sisi, dia juga masih sangat mencintai Adit, dan ada rasa tidak mau kehilangan Adit. "Aku daftarin ke obgyn dulu, ya? Kamu tunggu di sini," pinta Adit yang langsung meninggalkan Eca di ranjang pasien. Eca mengangguk tanpa menjawab. Membiarkan kepergian sang suami tanpa mau menolehnya. Dalam kesendirian, Eca terus memikirkan banyak hal yang mungkin bisa membuat Adit mengakui kesalahannya. Lalu, suara dering ponsel dari atas nakas, seolah menjawab semua pertanyaannya. Eca baru tersadar jika ponsel Adit ternyata tertinggal dan baru saja menerima pesan singkat yang sangat mengusiknya. Nama "Vera Klien" adalah pertama kali yang tertangkap mata, ketika dia menggeser layar kunci. Namun isi dari pesan singkat yang dibaca Eca, ternyata lebih mengejutkan. "Kamu tega banget sih, Mas. Ninggalin aku gitu aja mentang-mentang ada istri kamu! Ingat ya! Kemarin pas di Bali, kamu janji beliin aku tas pas kita udah balik ke sini. Sekarang aku tagih janji kamu. Aku gak mau tau, pokoknya nanti malam kamu harus ke apartemen." Pesan singkat yang baru terbaca Eca, benar-benar membuatnya kehilangan akal sehat hingga ia mengumpat sekeras-kerasnya. "Br*ngsek! Adit br*ngsek!" Dunia Eca seolah hancur hingga tak menyisakan kebahagiaan sedikitpun untuknya. Laki-laki yang selalu diandalkannya itu, justru berhasil menorehkan luka dalam pada hati Eca hingga membuat wanita itu tak dapat membendung air matanya. "Bali?" Eca menertawakan kebodohannya yang sempat hampir kembali percaya dengan alasan yang diberikan sang suami. Ia tidak menyangka, jika selama ini dia hanya dibutakan oleh cinta. "Kamu kenapa, Ca?" Kepanikan langsung terpancar dari Adit ketika dia baru saja kembali, dan mendapati istrinya justru menangis sambil memeluk lututnya di atas ranjang. "Ada yang sakit, Sayang?" "Jangan sentuh aku!" Teriakan Eca membuat telapak tangan Adit yang hampir menyentuhnya, langsung menggantung di udara. Tatapan kebencian yang ditebar Eca langsung membuat suasana berubah menjadi medan perang. "Ca, kamu kena-" "Sejak kapan?" potong Eca ketika Adit belum menyelesaikan ucapannya. Wanita itu segera meraih ponsel Adit dan menunjukkan sederet pesan yang menurutnya membuat sang suami tidak akan bisa lagi menghindar. "Jawab jujur! siapa wanita ini, dan ada hubungan apa kalian?" tekan Eca. Jelas Adit tak bisa lagi berkilah, sementara bukti sudah ada di depan mata. Kedua mata Adit membulat sempurna, saat menyadari isi dari pesan masuk di ponselnya yang ditunjukkan Eca. "Eca ... aku ...." Adit tergagap. Dia jelas tidak bisa lagi menghindar. "Tega kamu, Dit!" Cairan bening yang susah payah ditahan Eca, akhirnya kembali luruh tanpa bisa dibendung. "Aku bisa jelasin, Sayang. Tolong dengerin aku, dulu." Sentuhan Adit berhasil ditepis Eca dengan mudah. Wanita yang seingat Adit selalu bersikap lembut di depannya itu, tidak segan-segan mendorong tubuhnya meski tidak berhasil menjauhkannya. "Mau beralasan apa lagi?" Eca mengusap air matanya dengan punggung tangannya, lalu menertawakan sendiri kebodohannya. "Sekarang jawab! Kamu enggak bener-bener ke Kalimantan, kan tempo hari? Kamu pergi ke Bali sama wanita itu, kan?" Dilihat dari gelagat sang suami, Eca semakin yakin jika dugaanya benar, apalagi Adit terkesan menunduk seolah menghindari tatapan Eca secara langsung. "Tega kamu, Dit!" Eca melempar benda apapun di dekatnya untuk di arahkan ke suami, lalu menyarangkan beberapa pukulan yang tidak sebanding dengan rasa sakitnya. Sedangkan Adit hanya terdiam pasrah menerima pukulan-pukulan dari Eca yang terus menyerang depan tubuhnya. Laki-laki yang dihakimi Eca itu terus menunduk tanpa berani perlihatkan wajahnya yang sudah memerah. Ia sendiri tidak menyangka jika akan tertangkap basah dengan mudah seperti ini. "Aku akan gugat kamu ke pengadilan besok!" tekan Eca yang membuat sang suami langsung mendongak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN