"Dua nyawa berada di tangan kamu. Jadi biarin aku pergi, kalau kamu memang ingin bertemu anak kamu."
Mendengar ancaman yang keluar dari mulut Eca, membuat tubuh Adit serasa melemas. Badannya langsung terjatuh ke lantai, hingga lututnya membentur dinginnya lantai.
Ia hanya bisa berlutut pasrah, ketika melihat Eca terus memasukkan barang-barangnya ke dalam koper besar. "Sampai kapan kamu pergi, Ca?"
Pertanyaan Adit, sama sekali tak mendapat respon dari Eca. Wanita itu terus memasukkan pakaiannya ke dalam koper, sambil menahan rasa panas yang memenuhi pelupuk matanya. Eca berusaha keras menutupi kesedihannya. Dia tidak mau tunjukkan jika dirinya lemah.
"Eca, tolong jangan pergi Sayang. Aku enggak bisa bayangin kalau kamu gak ada disisiku pas aku bangun."
Ucapan Adit berhasil membuat langkah Eca berhenti, ketika dia hampir saja mencapai daun pintu. Bukan karena luluh, namun ucapan Adit semakin membuat amarah Eca semakin membara. "Tidur aja sana sama wanita itu."
Tanpa peduli dengan Adit, Eca segera pergi keluar dari kamar dan meninggalkan Adit yang masih terdiam di tempatnya. Berbekal koper dengan barang yang dibawa sebisanya, Eca segera naik ke dalam mobil miliknya.
Adit ternyata mengejar Eca. Pria itu langsung menggedor-gedor kaca jendela mobil Eca, dan berharap sang istri akan mengurungkan niatnya yang hendak pergi dari rumah.
"Ca? Jangan pergi dong. Aku bisa aja ninggalin wanita itu. Tapi tolong jangan pergi. Aku cuma cinta sama kamu!" Teriak Adit yang masih terus menggedor-gedor kaca jendela mobil Eca, namun tak dihiraukan Eca sama sekali.
Eca jadi mengerti tujuan Tuhan yang seolah sengaja menukar mobil mereka tadi pagi, selain tunjukkan perselingkuhan sang suami. Kini dia bisa pergi dari rumah tanpa bingung, karena mobil yang dikendarai adalah miliknya sendiri.
"Makan tuh cinta!" umpat Eca ketika dirinya berhasil keluar dari pelataran parkir rumahnya dan melewati jalanan beraspal.
Meski terkesan kasar, sebenarnya itu hanya alasan untuk tutupi hatinya yang sangat rapuh. Buktinya, sepanjang perjalanan menuju rumah orang tuanya, air mata Eca terus keluar tanpa bisa dibendung.
"Kenapa gue jadi cengeng gini sih," gerutu Eca di tengah isakannya. Ia sampai menepikan mobilnya, karena tidak kuat menahan rasa sesak yang terus memenuhi dad*nya.
Eca memang berusaha tegar di hadapan Adit. Tapi nyatanya, dikala dia sendiri seperti ini, semua sudah tidak bisa ditahannya.
"Kenapa kamu tega, Dit? Kenapa kamu khianati cinta kita?" Semua kenangan indah bersama Adit, tiba-tiba terlintas dalam benak Eca, sehingga membuat wanita itu kembali menangis sejadi-jadinya.
Ia menumpahkan seluruh ganjalan di dad*nya, dan baru berhenti menangis saat menyadari jika kesedihannya akan mempengaruhi janinnya. Tangannya spontan mengelus perutnya. "Maafin Mama ya Sayang. Mama janji gak bakalan sedih lagi. Kamu baik-baik di dalam sana, ya?"
Eca baru bisa tenang, dan kembali melajukan kendaraannya. Namun, setibanya Eca di depan gerbang rumah orang tuanya, Eca mendadak hentikan mobilnya. Ia jadi ragu dengan keputusannya yang akan pulang ke rumah orang tuanya. Ia takut akan menyakiti hati mamanya, jika tahu Adit mengkhianatinya.
Akhirnya, Eca memutuskan untuk melajukan kembali kendaraannya dan mencari hotel yang paling dekat dengan kantornya, yang bisa dijadikan tempat istirahatnya sementara. Pikirnya, setidaknya dia bisa sedikit mengulur waktu untuk tidak bercerita kepada mamanya.
***
Pagi ini seluruh karyawan menjadi sangat sibuk karena putra dari pemilik perusahaan akan tiba sebentar lagi. Meskipun acara penyambutan hanya sederhana, tetap saja mambuat Eca harus bekerja ekstra dan mengenyampingkan perasaanya. Dia harus bekerja profesional karena dia yang menjadi penanggung jawabnya.
"Semua sudah siap, Ca?" tanya Brama yang baru saja datang dan memperhatikan keseluruhan tampilan ruangan yang baru ditata.
"Sudah, Pak," jawab Eca dengan percaya diri, karena dia merasa telah menyelesaikan tugasnya dengan baik.
Namun, ada hal yang mengganjal mengingat kejadian kemarin yang membuatnya tidak bisa kembali ke kantor. "Pak, maaf kemarin saya tidak bisa kembali ke kantor. Saya-"
"Iya, saya tahu kok," potong Brama sebelum Eca menyelesaikan ucapannya. "Putri sudah jelasin semuanya ke saya kemarin."
Eca sempat menoleh sebentar ke arah Putri yang berada di sudut ruangan. Bibirnya sempat mengulas senyum, saat menyadari teman reseknya itu terkadang tahu apa yang harus dilakukan tanpa diminta.
"Hari ini kamu sudah sehat, kan?" tanya Brama lagi.
Eca mengangguk ketika menjawab, "Sudah Pak."
"Kamu memang karyawan terbaik saya, Ca," ucap Brama lagi sembari menepuk-nepuk pundak Eca. "Meskipun kamu hamil muda, kamu tetap energik, dan bisa ngehandle pekerjaan dengan baik. Ini yang saya suka dari cara kerja kamu."
Sejenak, Eca terkejut dengan ucapan Brama yang ternyata sudah mengetahui jika dirinya hamil. Namun dia tidak bisa menyangkal karena memang benar keadaannya seperti itu. "Terima kasih atas pujiannnya, Pak. Saya memang sangat menyukai pekerjaan saya saat ini."
"Apa Adit yang kasih tahu ke Putri? Gue harus tanyain langsung ke Adit entar," batin Eca.
Lalu Eca segera menggelengkan kepalanya, dan mengenyahkan keinginannya untuk berkomunikasi lagi dengan Adit. Itu sama saja memberi Adit kesempatan, dan dia tidak mau berurusan dengan Adit untuk saat ini. Semua pesan singkat yang dikirim Adit saja, tidak dihiraukannya sama sekali.
"Ca, karena kamu karyawan terbaik saya, saya ingin kamu saja yang memberi bunga penyambutan pada Devan nanti, ya?" pinta Brama yang langsung menyadarkan Eca dari lamunannya.
"Iya, Pak, Baik. Jadi nama anak Bapak itu, Pak Devan?" tanya Eca memastikan, sekaligus berusaha mengenyahkan seluruh pikirannya tentang Adit. Tentu tak mudah bagi Eca untuk melupakan semuanya.
Brama mengangguk. "Sepertinya Devan seumuran sama kamu deh, Ca. Saya berharapnya sih, kamu nyaman dan cocok bisa bekerja dengan Devan. Ya... meskipun dia itu terkadang suka seenaknya sendiri. Jadi, saya minta tolong sama kamu ya, Ca. Semisal nanti si Devan ada melencengnya sedikit, kamu jangan segan-segan buat ingetin dia."
"Baik, Pak. Pak Brama enggak perlu khawatir masalah itu." jawab Eca cepat.
Percakapan antara Brama dan Eca pun terjeda, karena asisten pribadi Brama yang mendekati keberadaan Brama dan membisikkan sesuatu kepada Brama. Lalu senyum Brama langsung mengembang seperti mendapat kabar bahagia. Dia segera memerintahkan, "Kita harus bersiap sekarang, Devan sudah sampai di lantai bawah."
Ucapan Brama segera diangguki oleh Eca. Dia bergegas memerintahkan kepada staf yang terlibat untuk berdiri sejajar, dan bersiap menyambut putra dari orang nomor satu di perusahaannya itu.
Sementara Eca, dia berdiri paling depan di sebelah Brama dengan sebuah rangkaian bunga di tangannya. Dia juga bersiap menyambut Devan.
Tak berselang lama, orang yang paling dinantikan itu akhirnya tiba. Semua staf sangat antusias memberi penghormatan kepada CEO mereka yang baru.
Namun, mata Eca seketika membulat sempurna, ketika melihat CEO barunya yang hendak memasuki ruangan, adalah seseorang yang pernah dijumpainya.
"Kamu, kan...." Spontan, Eca menunjuk pria yang berhenti di depannya sembari melongo. Dia mengingat-ingat kembali kejadian menyebalkan kemarin, dan mencocokkan kembali wajah pria di depannya dengan pria menyebalkan yang berdebat dengannya kemarin.
"Loh! Kamu wanita yang kemarin kan?"
Devan masih merekam dengan jelas kejadian menyebalkan kemarin, ketika dia hendak makan siang. Jika biasanya sekertarisnya yang akan mengantri untuk Devan, namun berbeda untuk kemarin. Devan sendiri yang harus rela mengantri, karena si sekertarisnya sedang mengurus masalah lain. Akhirnya, pertemuan menyebalkan pun terjadi.
"Kalian sudah saling kenal? Bagus kalau begitu, tidak perlu repot-repot berkenalan," ucap Brama di saat Eca dan Devan saling mengingat-ingat kejadian kemarin.
"Enggak kenal, Pak."
"Engak kenal, Pa."
Devan dan Eca bahkan hampir bersamaan ketika menyangkal ucapan Brama. Lalu Devan dan Eca saling tebarkan aura kebencian ketika kedua mata mereka saling menatap.
Hal ini membuat Brama bingung, sekaligus bersyukur karena jelas gelagat keduanya tunjukkan jika mereka sudah pernah bertemu sebelumnya. Setidaknya bagi Brama, Devan bisa menjalankan urusan pekerjaannya dengan mudah bersama Eca kedepannya.
"Yakin kalian enggak saling kenal?" tanya Brama lagi memastikan.
"Enggak," jawab Devan cepat. Ia berlagak merapikan jasnya seolah tunjukkan betapa berwibawanya dia.
Hal itu membuat Eca berdecih, meski pelan. Bagi Eca, Devan sudah dilabeli dengan sifat sombong semenjak pertemuan mereka kemarin.
Sayangnya, Eca harus bersikap profesional di depan Brama. Dia memaksakan senyum ketika menjelaskan kepada Brama. "Kemarin, saya dan Pak Devan tidak sengaja bertemu, Pak. Bahkan Pak Devan sangat baik hati sekali, karena beliau mentraktir saya."
"Benarkah?" tanya Brama dengan senyum riang. Dia merasa bangga jika Devan punya sifat dermawan seperti itu.
"Kamu memang mewarisi sifat Papa," imbuh Brama sambil menepuk-nepuk pundak Devan.
"Nah, hampir lupa. Kalian harus berkenalan secara resmi. Kalian harus selalu bekerja sama ke depannya."
Perintah dari Brama, jelas tidak bisa Eca tolak. Akhirnya, dengan terpaksa ia menjulurkan tangan sambil memaksakan senyum ketika berkata, "Perkenalkan, saya Eca, Pak."
"Aduh! Kenapa si pria menyebalkan itu, anaknya Pak Brama, sih? m*mpus, gue!" umpat Eca dalam hati.