9. Hampir Ketahuan

1250 Kata
Adit terus mondar-mandir, di dekat pintu sambil terus mencoba menghubungi Eca. "Ayo, Ca. Angkat dong," ucapnya resah sambil menekan-nekan pelipisnya. Namun, semua panggilannya, selalu berakhir dengan suara operator di sana. "Kenapa kamu seperti ini, Ca?" ucapnya lemas sambil menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Ia hampir putus asa, karena Eca sama sekali tak menanggapi panggilannya. Pandangan Adit tertuju pada sebuah foto besar di dinding depannya. Dimana senyum Eca terlihat sangat alami di sana. Ia jadi mengingat kembali masa bahagianya saat dulu menghalalkan Eca. "Aku sangat merindukanmu, Sayang. Kenapa kamu belum juga pulang?" Ia jadi menyesal, telah membentak dan mengancam Eca sebelum kepergiannya tadi. Ia sadar sikapnya akan memperburuk keadaan. Akhirnya, ia hanya pasrah tanpa bisa melakukan sesuatu. Lalu, tak berselang lama, dering ponsel di atas meja, langsung merebut perhatiannya. Adit segera meraih ponselnya, dan berharap jika Eca yang telah menghubunginya saat ini. Namun, senyumnya langsung memudar saat tahu jika si penelepon bukanlah Eca. Melainkan wanita yang sudah tiga bulan terkahir, menjadi istri sirinya. "Halo?" jawab Adit lemas. "Kok lemes gitu, Mas? Mas lagi sakit?" Setidaknya, suara feminin di seberang sana bisa sedikit memberi Adit kesenangan. Meskipun Adit berharap Eca lah orang pertama yang menanyai keadaannya, ternyata mendapat perhatian dari wanita lain juga cukup menyenangkan. "Enggak, Ra. Mas lagi capek aja. Gak bisa tidur tenang dari kemarin," jawab Adit masih lemas. "Gara-gara mikirin istri Mas Adit?" sindir wanita itu dengan nada mengolok. "Gak usah dipikirin kali, Mas. Gimana aku yang selama ini selalu sabar nunggu kamu tanpa bisa protes? Mas gak mikirin aku?" Baru saja pikiran Adit merasa tenang karena mendapat perhatian dari istri keduanya itu, namun celoteh panjangnya langsung memupuskan semuanya. Beban hidupnya serasa bertambah setelah mendengar ocehan dari istri keduanya itu. Akhirnya Adit hanya bisa menghela nafas panjang, sambil mendengar semua keluhan dan protes istri keduanya. "Mas? Mas dengerin aku, kan?" "Iya, Mas dengerin kamu, kok. Ya udah, Mas istirahat dulu ya. Besok Mas mampir ke apartemen kamu." "Aduh Mas, perutku!" ucap wanita itu tiba-tiba disaat Adit hampir saja menutup teleponnya. "Perut kamu kenapa, Ra?" tanya Adit khawatir, yang langsung urung menutup teleponnya. "Kamu baik-baik aja sekarang? Tunggu di sana ya! Aku ke apartemen sekarang." Tanpa menunggu balasan, Adit segera menutup teleponnya dan segera bergegas menuju apartemen tempat istri sirinya tinggal selama ini. Ia akui, jika menyayangi istri sirinya. Namun ia juga sangat mencintai Eca dan tidak mau kehilangannya. Ia sadar jika ia adalah laki-laki brengs*k yang serakah. Namun, ia tidak bisa kendalikan nafs*nya dan akhirnya membuatnya terjebak dengan cinta segitiga yang telah dibuatnya sendiri. Ia tidak mau kehilangan dua wanita yang sekarang menjadi istrinya itu. Dalam perjalanan menuju apartemen istri sirinya, saat kendaraan Adit melewati kantor Eca, Adit tak sengaja melihat Putri yang baru saja keluar dari gedung kantor dan masuk ke dalam taksi. Sebuah kebetulan yang memberinya keberuntungan. Instingnya langsung mengatakan jika ia harus mengikuti taksi yang dinaiki Putri, karena ia yakin jika Putri akan menemui Eca malam ini. Pikir Adit, Eca pasti sudah menceritakan semuanya ke Putri, dan Putri tentu tidak akan diam saja membiarkan Eca. Lalu tanpa pikir panjang, ia segera membuntuti taksi yang dinaiki Putri, tanpa peduli dengan tujuan awalnya. Adit hanya berharap bisa bertemu Eca malam ini. Dan benar dugaannya. Taksi yang dinaiki Putri, kini berhenti pada sebuah hotel yang tidak jauh dari lokasi kantornya. Tanpa pikir panjang, Adit segera turun dari mobil dan mengikuti Putri yang sudah lebih dulu masuk ke dalam hotel. Dengan pintar, Adit berhasil mengikuti Putri hingga Putri berada persis di depan kamar Eca. Ia bersembunyi tanpa ketahuan Putri. "Astaga Eca! Lo berantakan banget." Putri yang kaget melihat penampilan Eca yang berantakan ketika membukakan pintu kamarnya, segera menggeretnya masuk ke dalam kamar. "Eca," batin Adit saat turut melihat Eca. Keadaan Eca yang tidak baik, mengundang kekhawatiran, hingga ia hampir berjalan menuju kamar Eca. Namun suara panggilan masuk dari ponselnya, membuatnya urung untuk melakukannya. "Iya, Ra," jawab Adit sambil setengah berbisik. "Perutku sakit banget, Mas. Aku udah gak kuat." Ucapan dari istri sirinya itu, membuat Adit langsung panik. "Tunggu ya. Aku masih perjalanan. Kamu tunggu sebentar." Mendengar istri keduanya yang juga membutuhkan dirinya, Adit akhirnya memilih untuk pergi dari hotel itu, dan hanya mengingat nomor kamar Eca sebelum pergi dari sana. Sementara di dalam kamar, Putri masih belum berhasil menenangkan Eca. Entah apa yang membuat Eca menjadi seperti sekarang. Seingat Putri, tadi siang keadaan Eca belum separah sekarang. Eca hanya mengangguk atau menggeleng ketika Putri mencoba mengajaknya berbicara. Ia semakin takut, dan segera menempelkan punggung tangannya, pada dahi Eca. "Ca? Lo gak kesambet, kan?" Eca segera menepis tangan Putri dengan lemas. "Udah deh, Put. Gue lagi pengen sendirian." Jawaban Eca langsung mendapat gelengan kepala dari Putri. "Enggak, enggak. Enggak boleh," jawab Putri tegas. "Yang ada lo entar kesambet, orang diem mulu dari tadi." Eca kembali terdiam tanpa menanggapi. Suanapun kembali hening sesaat, lalu Putri mencoba mencairkan. "Mau ikut gue gak?" Ajakan Putri sempat membuat Eca menoleh meski terlihat sangat malam. "Ke mana?" "Ke tempat yang seru, yuk," ajak Putri kembali. Kali ini Putri sampai menggeret tangan Eca, berusaha membuat wanita itu berdiri dan mengikuti gerakannya. "Kemana sih, Put? Enggak, ah. Gue lagi pengen sendiri." Eca menolak, dan menepis tangan Putri. "Badan gue lemes banget." "Makanya buruan ikut gue. Lo gak kasihan sama calon ponakan gue. Lo pasti belum sempat makan kan, dari tadi?" Eca kembali mengangguk lemas. Melihat Eca yang terlihat tidak punya tenaga, tanpa menunggu persetujuan, Putri segera menggeret Eca untuk keluar kamar, dan mengajaknya untuk pergi ke tempat yang bisa membuat perut Eca terisi. Tidak ada pilihan juga bagi Eca. Ia hanya menurut tanpa bisa berontak. Yang ia rasakan hanyalah lemas. Sesampainya pada mini market, Putri meminta Eca untuk menunggunya sebentar di mobil. "Lo tunggu bentar di sini. Gue beli sesuatu yang bisa kita makan dulu, oke?" Putri segera turun dari mobil, dan berbelanja beberapa camilan, roti, dan makanan yang berasa asam. Pikirnya, wanita hamil biasanya cenderung memerlukan makanan berbau asam untuk menetraliris indra pengecapnya. "Nih, makan dulu!" perintah Putri sambil menyodorkan kresek besar ke Eca, saat baru saja masuk ke dalam mobil. "Makan dulu dikit, baru kita jalan lagi." "Jalan ke mana?" tanya Eca sambil memilah makanan yang ada di dalam kantong kresek pemberian Putri. Ia akhirnya mau mengisi perutnya, karena langsung lapar melihat keju yang dibeli Putri. "Nah, gitu dong. Makan dulu, meski sedikit," ucap Putri sambil memasang sabuk pengaman dan hampir menyalakan mesin kendaraan Eca yang dikemudinya. "Gue udah coba telepon nomor yang kirim foto itu lo tadi. Tapi enggak aktif," ucap Putri kembali yang mencoba mengisi keheningan di saat ia baru saja menjalankan kendaraan milik Eca menuju jalanan beraspal. Eca menghela nafas panjang, lalu menjawab di sela-sela kunyahannya. "Iya, gue tau kok. Gue juga udah coba hubungi dia tadi." "Hah? Serius? Kuat juga mental kamu, Ca?" "Itu terpaksa, Put. Karena tadi aku curiga pas ketemu mantan asisten Adit yang ke kantor." "Mantan asisten Adit?" tanya Putri heran, namun ia tetap fokus pada jalanan. "Iya, yang tadi nemuin kamu buat kirim berkas," jawab Eca menjelaskan. Kini tenaganya sudah sedikit terisi karena dia sudah menghabiskan sepotong roti ditambah keju. "Oh... wanita itu." Putri sedikit mengingat-ingat bentuk keseluruhan wanita yang telah ditemuinya tadi siang. "Jadi, dia itu mantan asisten Adit?" Eca kembali mengangguk tanpa menjawab. Ia masih fokus untuk mengisi perutnya. Lalu, di saat mobilnya terhenti karena lampu merah, mata Eca langsung melotot karena mobil Adit yang ternyata telah berhenti di depannya. "Itu kan mobil Adit?!" pekik Eca. Ia jelas sangat hafal dengan mobil suaminya. "Oh, ya?" Putri tak kalah terkejutnya. Bahkan samar-samar terlihat, ada wanita berambut panjang yang duduk di sebelah kemudi Adit. "Oke. Kita ikutin mobilnya."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN