"Oke. Kita ikutin mobilnya!"
Tanpa aba-aba, Putri segera melajukan kendaraannya mengikuti arah laju mobil Adit yang berada di depannya.
"Put, tunggu," cegah Eca, namun tak mendapat tanggapan dari Putri. Sahabatnya itu terus melajukan kendaraanya tanpa peduli dengan permintaan Eca
"Put." Eca mencoba mencegah Putri lagi. Yang ia rasakan hanya rasa panas di seluruh pelupuk matanya. D*danya juga terasa sesak, karena menahan tangis yang tidak mau dia tumpahkan.
"Kurang ajar banget tuh si Adit! Lihat ya, gue bakal bikin perhitungan sama lo, Dit." Putri malah terlihat geram sendiri. Ia hanya fokus pada mobil Adit di depannya, dan terus mengikutinya.
Sementara Eca terus menggeleng, menolak kenyataan yang saat ini dilihatnya. Sekujur tubuhnya terasa sangat dingin, serta detak jantungnya mulai meninggi tak berarturan. Mendadak, Eca jadi tidak siap melihat siapa wanita yang menjadi selingkuhan Adit, meski ia sangat penasaran.
Banyak sekali hal yang terpikirkan olehnya. Seperti, bagaimana jika wanita itu lebih baik darinya? Entah kenapa, Eca sangat takut tersaingi dengan wanita itu. "Udah, Put," pinta Eca.
"Udah gimana? Gak bisa dibiarin ini, Ca. Kita harus labrak wanita sialan itu. Biar tahu rasa," jawab Putri di sela-sela fokusnya.
"Put... aku belum siap. Aku takut, Put," rengek Eca.
"Belum siap gimana? Yang bener aja, Ca," ucap Putri yang heran dengan pernyataan yang baru saja keluar dari mulut Eca. "Enggak. Ini bukan gaya lo, Ca. Lo itu sangat tegas dan berani. Ngapain sekarang lembek gini?"
Tak ada yang bisa dilakukan Eca selain mengikuti kemauan Putri. Ia terus menunduk sambil menyatukan seluruh jemarinya dalam satu genggaman, karena suhu di sekitarnya terasa sangat dingin. Entah karena AC dalam mobilnya, atau karena rasa takutnya yang membuatnya sangat kedinginan.
"Lah, ngapain mobil Adit masuk ke rumah sakit?"
Ucapan Putri langsung membuat Eca mendongak ke arah mobil Adit. Debaran jantungnya semakin tak karuan, memikirkan hal yang tidak diinginkan.
"Jangan-jangan...." Putri sengaja menggantung kalimatnya. Ia yakin Eca juga berpikir hal yang sama dengannya. Hanya saja, ia tidak sanggup melanjutkan kalimat yang akan menambah luka pada hati Eca.
"Tuh, mereka turun," ucap Putri sambil menunjuk Adit yang mulai turun dari mobil. "Kita ikutin mereka."
Belum juga sempat Putri melajukan mobil Eca, seorang satpam datang menghampiri keberadaan mobilnya.
"Maaf, Bu jangan berhenti di sini. Mobilnya bisa menghalangi siapapun yang akan masuk ke rumah sakit nanti."
Putri dan Eca baru sadar jika mereka berhenti di tengah pintu masuk Rumah Sakit. "Astaga! Maaf Pak, kami sampai tidak sadar," ucap Putri meminta maaf.
"Tidak apa-apa. Kalau boleh tahu, sebenarnya keperluan kalian apa?" tanya satpam itu lagi.
"Ehm, kami mau jenguk teman di sini, Pak." Hanya itu alasan yang terpikirkan oleh Putri. Pikirnya dengan alasan itu, pasti mereka diizinkan untuk masuk.
Namun ternyata perkiraan Putri meleset. "Maaf. Jam besuk sudah berakhir. Sebaiknya kalian kembali lagi ke sini besok."
"Apa?! Beneran, Pak? Tapi kami... baiklah kalau begitu. Kami akan kembali besok." Putri terpaksa memutar balik mobil Eca sambil terus menggerutu.
Tidak ada kata kasar dalam teguran satpam tadi, namun Putri kesal akan satu hal. "Dasar Satpam gendut! Seenaknya aja manggil aku Ibu? Emangnya mukaku terlihat seperi ibu-ibu apa?"
Putri segera meraih spion mobil yang berada di tengah, dan mengarahkannya ke wajahnya. "Besok gue harus beli skincare baru deh kayaknya."
Sadar celotehnya dari tadi tak ditanggapi, Putri baru melirik ke arah Eca, dan mendapati wanita itu sudah tertunduk sambil terus menangis. Ia jadi merasa bersalah karena mengeluh di saat yang tidak tepat.
"Gue kenapa bodoh banget sih, Put?" tanya Eca lirih di sela-sela isakannya. Ia mengusap cairan bening yang luruh di pipinya sebelum melanjutkannya kalimatnya. "Padahal selama ini Adit selalu peehatian sama gue. Sikapnya gak ada yang berubah. Kenapa dia diem-diem nyakitin gue kayak gini? Sekarang ada anak kami di dalam janinku. Aku bisa apa, Put?"
Tak ada yang bisa dilakukan Putri selain berkata, "Sabar, Ca."
Putri memberikan pelukan kepada Eca untuk menyemangatinya.
"Ih, gue jadi cengeng banget gini, sih?" gerutu Eca di tengah isakannya, dan masih dalam pelukan Putri.
Ternyata, kehamilan memang merubah hormon sehingga membuat Eca menjadi sosok yang melow. Setidaknya, itu pikir Putri.
"Udah, gak usah sedih lagi. Sekarang rencana lo ke depannya gimana?" tanya Putri sambil melepaskan pelukannya.
"Gue pengen gugat Adit setelah anak kami lahir." Eca segera menghapus air matanya, dan berusaha tidak larut dalam kesedihannya sendiri.
"Oke, tapi lo udah punya bukti kalau Adit selingkuh?"
Eca hanya menggeleng tanpa bisa menjawab. Ia baru sadar setelah mengingat sesuatu. "Sekarang kita ke rumah gue, Put. Gue mau ambil pelembab bibir wanita itu di rumah gue."
"Hah? Pelembar bibir? Di rumah lo?"
"Udah, gak usah banyak tanya. Mumpung Adit gak di rumah, kita ke sana sekarang."
Perintah Eca langsung mendapat sambutan jempol terangkat dari Putri. "Siap, Bos. Gitu dong, ini baru Eca yang gue kenal."
Tanpa basa-basi, Putri segera melajukan kembali kendaraan Eca yang sempat terhenti, menuju rumah Eca. Ia menjadi semakin bersemangat melihat temannya tidak berlarut dalam kesedihan.
Sesampainya di rumah, Eca segera menekan beberapa tombol kombinasi untuk membuka kunci pintu rumahnya. Untunglah, Adit belum mengubah sandi itu.
"Lo tunggu di sini, Put. Gue naik ke kamar bentar," perintah Eca dan langsung mendapat anggukan dari Putri.
Eca segera berjalan cepat menuju kamarnya, karena takut Adit akan segera kembali.
Sesampainya di kamar, ia langsung tertuju pada koper Adit yang ternyata belum berubah dari tempatnya. Eca jadi menertawakan kejadian waktu itu saat Adit berkilah mencari alasan, ketika jelas-jelas dia menemukan pelembab bibir itu.
"Dasar laki-laki brengs*k," umpatnya dalam hati, sambil mencari keberadaan pelembab bibir itu di dalam koper Adit. Namun, tidak ketemu. Eca sampai berkali-kali memeriksanya, dan hasilnya tetap sama.
Ia beralih pada laci. Berharap bisa menemukan benda kecil itu di sana, namun berakhir dengan nihil.
"Belum ketemu?" Putri ternyata turut mengikuti Eca. Wanita itu berjalan masuk ke dalam kamar Eca dan ikut berjongkok di samping Eca. "Warnanya apa?" tanya Putri kembali.
"Wadahnya berwarna pink," ujar Eca sambil terus mencari.
Putri mengangguk, lalu turut mencari. Namun, hampir sepuluh menit berlalu dan benda yang mereka cari belum juga ketemu. Sampai akhirnya Eca memutuskan mengakhirinya. "Sepertinya Adit sudah simpen benda itu. Kita pergi aja, Put. Nanti keburu Adit pulang."
"Pinter juga tuh si Adit. Oke kalau gitu, kita balik aja."
Eca dan Putri akhirnya kembali dengan tangan kosong. Bukti yang berusaha di dapat, ternyata sudah tidak berada di sana. Melihat Eca yang kembali sedih karena tidak mendapat hal yang diinginkan, Putri mengusulkan sesuatu. "Biar lo gak sedih lagi. Kita pergi ke Bar bentar, gimana?"
"Gak usah ngada-ngada. Kita pulang aja ini udah malem."
Jawaban Eca memang memupus harapan Putri yang tadinya menganggap bisa menghiburnya. Namun dia tidak kehilangan akal untuk membujuknya. "Ye... emang ada Bar bukanya siang? Lo entar tunggu di depan, gue masuk sebentar ke sono, oke?"
Gara-gara terus berbicara, Putri tidak terlalu fokus pada jalanan, sehingga tidak sadar jika mobil di depannya berhenti mendadak karena sesutu. Putri jadi reflek mengerem mobil, namun tidak bisa menghindar sehingga cup mobil depannya menabrak bagian belakang mobil di depannya.
"Astaga!" teriak Putri terkejut.
Eca juga tak kalah terkejutnya. "Tuh kan kualat! Kamu sih ngajak ke tempat yang gak bener."
Tanpa basa-basi, Eca segera turun dari mobil dan mengecek mobil depannya, juga bagian belakang mobil yang ditabrak Putri.
Diikuti turunnya dua orang laki-laki dari mobil yang ditabrak Putri. Eca bersiap meminta maaf dan berencana akan mengganti keguriannya.
Belum juga sempat Eca meminta maaf, ia malah dikejutakan dengan laki-laki yang kini berada di depannya. "Pak Devan?"
Lagi, Eca berada dalam kesialan saat bertemu dengan Devan.
"Kamu lagi?" Devan juga tak kalah terkejutnya.
Putri yang sadar ternyata pemilik mobil itu adalah CEO barunya, ia buru-buru turun dari mobil dan meminta maaf sebanyak-banyaknya.
"Maafin saya, Pak. Saya gak sengaja." Ia terus membungkuk tanpa berani perlihatkan wajahnya.
"Udahlah, Van. Cuma goresan dikit doang," ucap Raffan yang ternyata turut perhatikan goresan pada bagian belakang mobil Devan.
Mendengar suara besar dan berat di depannya, Putri segera mengangkat kepalanya. Mulutnya spontan menganga melihat sosok maskulin di depannya.
"Ya Tuhan... ganteng banget pria ini!"