8. Teringat Masa Lalu

1106 Kata
"Saya bosnya. Saya berhak menjaga karyawan saya." Devan segera berdiri di depan Eca, hingga tubuh Eca tertutupi olehnya. Dengan tegas Devan segera memerintahkan, "Kalau anda bikin keributan di sini, lebih baik anda pergi saja!" Amarah Adit seketika mencuat, melihat ada pria lain yang berusaha melindungi Eca. Didorongnya kembali Devan, hingga tubuh Devan hampir terhuyung mundur. "Anda jangan ikut campur! Ini urusan pribadi saya dengan Eca. Saya suaminya! Anda tidak berhak ikut campur!" Pernyataan Adit sempat membuat Devan sedikit merendah. Ia jadi merasa bersalah, karena sudah berada di tengah pertikaian suami-istri ini. Namun, ia rasakan ujung jasnya seperti ditarik yang membuatnya langsung menoleh ke belakang. "Tolongin saya, Pak. Saya gak mau ketemu dia dulu," bisik Eca pelan, namun Devan dapat mendengarnya dengan jelas. Entah apa yang terpikirkan oleh Eca. Namun keberadaan Devan di sana ternyata menguntungkannya. Ia malah menyembunyikan wajahnya di balik tubuh Devan, tanpa peduli dengan kesan sombong yang terlanjur terlabeli olehnya. "Eca! Ngapain kamu sembunyi di belakang pria ini! Ayo kamu ikut aku sekarang!" Teriak Adit sambil berusaha menarik lengan Eca, namun segera dicegah oleh Devan. "Tolong, Pak. Tolong banget jangan bikin keributan di sini. Saya bisa panggil security kalau anda tidak mau dengar ucapan saya," ucap Devan dengan nada yang mulai merendah, tidak seperti sebelumnya. "Sial!" teriak Adit sambil menendang ban mobil Eca. Dengan amarah yang masih menggebu, ia segera memerintahkan, "Pulang ke rumah nanti malam, kalau kamu gak mau menyesal, Ca!" Adit pergi begitu saja tanpa menunggu ucapan balasan dari Eca. Hatinya terlanjur sakit melihat Eca malah bersembunyi di balik pria lain. Padahal dulu, Adit lah yang akan melindungi Eca dari apapun. Ia sampai memukul kemudi berkali-kali sambil mengumpat begitu dia pergi dari area kantor Eca. Sementara Eca merasa sangat canggung di belakang tubuh Devan. Ia rasakan kekhawatiran serta ketakutan yang kuat, karena sudah meminta bantuan bosnya itu dari kemurkaan Adit. Ia segera menunduk ketika Devan berbalik menghadapinya. "Maafkan saya, Pak. Saya enggak bermaksud seperti itu. Saya-" "Iya, saya tahu," jawab Devan ketus saat Eca belum selesai meminta maaf. Mode cuek Devan ternyata kembali. Pria itu bahkan menghela nafas panjang sambil berkacak pinggang saat menjelaskan, "Jangan kira saya sengaja nolongin kamu, ya. Saya juga gak sengaja lewat sini karena akan meeting di luar kantor." Eca segera menggeleng kuat-kuat. "Enggak Pak. Saya enggak berpikir begitu. Beneran, sumpah." Eca sampai mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya ke udara hingga membentuk huruf v. Mendengar pernyataan Eca, entah kenapa malah membuat pangkal perut Devan terasa geli, hingga ia hampir saja tersenyum. Namun, ia segera memalingkan wajahnya karena tidak mau Eca melihatnya tersenyum. Devan segera alihkan pembicaraan, sebelum Eca mengetahuinya. "Kamu sekarang sudah sehat? Bukannya tadi Putri minta ijin agar kamu pulang lebih dulu? Katanya kamu sakit." Sempat heran dengan Devan yang ternyata sangat mudah mengingat nama karyawannya, namun bagi Eca itu tidak mengurangi apalpun dari label sombong yang sudah terlanjur melekat pada diri Devan. "Benar, Pak. Sekarang memang saya jauh lebih baik. Tapi bolehkah hari ini saya ijin pulang lebih dulu? Gaji saya dipotong pun saya enggak masalah." Melihat tatapan Eca, Devan tahu jika wanita yang berdiri di depannya saat ini sedang memendam masalah. Namun bukan ranahnya jika ia bertanya tentang hal itu. Sebenarnya yang ia khawatirkan adalah, ancaman dari Adit yang terlontar, sebelum suami Eca itu pergi. Namun, tidak mungkin Devan menunjukkan kekhawatirannya. Akhirnya ia mengizinkan Eca untuk pulang lebih awal. "Baik. Silahkan kamu istirahat di rumah. Untuk gaji, nanti biar diurus sama bagian accounting." Persis dugaan Eca. Bos nya itu sangat dingin dan sombong. Memang tidak ada yang bisa diharapkan dari sosok Devan. Eca mengangguk sebelum berpamitan. "Saya jalan dulu ya, Pak. Sekali lagi terima kasih atas bantuan Bapak. Mungkin kalau Bapak gak nolongin saya tadi, suami saya berhasil bawa saya pulang." Eca tersenyum sambil menundukkan kepalanya, sebelum masuk ke dalam mobilnya. Namun Devan sangat menangkap jelas kesedihan yang berusaha ditutupi Eca sejak tadi. Sebenarnya Devan kecewa dengan pernyataan Eca yang menyebutkan jika pria yang berhasil dipukulnya tadi adalah suaminya. Ia sendiri juga tidak paham dengan perasaannya. Eca mendapat perhatiannya sejak pertemuan mereka di Resto kemarin. Bagi Devan, Eca mengingatkannya dengan cinta masa kecilnya dahulu. "Astaga Devan. Dia itu sudah punya suami. Apa yang kamu pikirkan." Devan spontan memukul kepalanya sendiri. "Ngapain lo? Kesambet? Sampek mukul kepala sendiri kayak gitu?" tanya Raffan, sekertaris Devan yang tiba-tiba saja datang menghampiri keberadaan Devan. Raffan sudah berteman dengan Devan sejak kecil. Hal itu juga yang membuat Raffan bersikap biasa di hadapan Devan disaat mereka diluar kantor seperti ini. "Apaan, sih?" Devan meninju pelan lengan Raffan ketika pria itu sudah berdiri di dekatnya. Raffan sadar, jika tatapan Devan masih tertuju pada mobil Eca yang belum sepenuhnya keluar dari area parkir. Lalu, pernyataan jahil menghampirinya. "Ngapain lo? Pantengin calon mangsa?" Pertanyaan itu membuat Devan spontan meninju kembali lengan Raffan. "Ye... lo pikir gue kayak elo apa? Yang mikir setiap cewek itu harus ditidurin?" Raffan terkekeh mendengar ucapan Devan. Tangannya menengadah saat berucap, "Terima kasih Tuhan. Ciptaanmu memang selalu indah." Ucapannya diakhiri dengan kekehan dan gerakan seperti meremas sesuatu di depannya. "Dasar sinting lo." Devan menepok jidat Raffan. "Ada gak sih di keluarga lo yang waras?" Raffan malah terbahak mendengar celoteh Devan. "Enggak ada. Bokap aja bininya banyak. Masak gue gak boleh? Kan dia juga yang kasih contoh." Sebenarnya ada kisah pilu, dibalik kehidupan Raffan sekarang. Devan jadi merasa bersalah, karena sudah mengingatkannya dengan hal itu. Sadar, ia menepuk pelan punggung Raffan dan mengalihkan pembicaraan. "Dah. Cepetan kita berangkat. Entar Pak Antonio keburu dateng duluan." Raffan mengangkat jempol ke udara, tanda memberi kode oke. Akhirnya keduanya berjalan beriringan menuju mobil Devan. Saat keduanya sudah berada di dalam mobil, dan Raffan hendak menyalakan mesin mobil. Ia tersadar ada hal tidak wajar dari atasannya itu. "Bentar. Gue penasaran deh. Lo tadi ngapain jalan turun duluan. Biasanya juga lo pasti langsung tunggu gue di lobi. Ngapain lo tadi ke parkiran segala?" Pertanyaan menyelidik Raffan membuat Devan kesusahan mencari alasan. Tidak mungkin ia bilang jika ia melihat Eca berjalan cepat menuju parkiran dan diikuti oleh laki-laki. Ia takut jika sekretarisnya itu akan menjadikannya bahan olok-olokan kedepannya. "Ah, itu... ya gue pengen jalan aja ke parkiran." Ucapan Devan langsung mendapat cibiran dari Raffan. "Fu*k banget. Gua hafal sama lo, Van. Udah lah jujur aja kalau lo ada cewek incaran di sini, kan?" Raffan mendongak sesaat seperti mengingat sesuatu, lalu kembali menatap Devan dengan sebuah pertanyaan yang membuat Devan tidak nyaman. "Apa dia wanita yang sama saat lo kemarin di Restoran? Lo nyuruh gue buat cari informasi datanya, kan?" Devan menutup telinganya dengan kedua tangannya, seolah tidak mau mendengar interogasi dari Raffan. "Jangan-jangan, itu alasan lo yang mau nurutin permintaan bokap lo buat gantiin dia di sini?" "Berisik banget sih? Udah kayak nenek-nenek aja lo," protes Devan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN