2. Kenyataan Menyakitkan

1359 Kata
Eca tidak punya pilihan, selain mengikuti rapat yang sudah dijadwalkan sebelumnya, meski pikirannya terus dipenuhi dengan prasangka-prasangka buruk tentang suaminya karena kejanggalan yang baru ditemukannya. Meski rapat sudah berjalan selama satu jam, tidak ada satupun pembahasan yang masuk ke dalam otak Eca. Pikirannya terus tertuju pada sang suami, hingga panggilan keras baru menyadarkannya. "Eca! Kenapa kamu gak jawab?" tanya Brama, pemilik perusahaan, sekaligus pemimpin jalannya rapat pagi ini. "Eh, iya Pak, gimana, Pak?" tanya Eca sambil tunjukkan raut kebingungan. Otaknya benar-benar tidak bisa mengingat dengan semua pembahasan rapat saat ini. Dengkusan kasar dari Brama cukup menunjukkan jika orang nomor satu di perusahaan itu sedang kesal. "Bagaimana progres kita? Apa semua sudah siap? Kita akan ada acara besar dua minggu lagi, Eca. Tolong kamu fokus!" Tidak ada pilihan lagi bagi Eca selain mengangguk karena suasana menjadi menakutkan baginya. "Maafkan saya Pak. Saya sedang kurang enak badan, makanya kurang fokus. Saya pastikan minggu ini semuanya sudah beres," ucap Eca beralasan. "Baiklah. Segera laporkan ke saya secepatnya ya!" Eca lagi-lagi mengangguk tanpa bisa membantah. Ia jelas tidak bisa menolak tanggung jawab yang sudah dibebankan kepadanya, sementara dia baru saja dipromosikan menjadi manager divisi pemasaran. "Satu lagi. Lusa, kalian semua akan bertemu anak saya yang akan menggantikan posisi saya. Tolong adakan penyambutan, meskipun kecil-kecilan. Kamu bisa mengaturnya, Eca?" "Bisa, Pak," jawab Eca tanpa mikir panjang. Hal itu mengundang senggolan kaki dari seseorang yang duduk tepat di samping Eca. "Lo yakin bisa kerjain dua-duanya?" bisik seorang wanita bernama Putri, seorang teman yang sudah dikenalnya sejak dulu. Eca mengangguk tanpa menoleh. Ia berlagak perhatikan semua pembicaraan Brama di depan sana, meskipun otaknya sama sekali tak bisa menampungnya. Sekali lagi, tak ada pilihan untuk Eca selain tetap mengikuti jalannya rapat. “Baiklah, rapat saya akhiri sampai di sini. Dan buat kamu, Eca. Saya minta kamu cek sekali lagi tempat yang akan kita jadikan pameran untuk peluncuran produk baru kita ya. Tidak ada lagi waktu bersantai. Kita harus mencapai target penjualan kita bulan ini." "Baik, Pak. Saya dan Putri akan ke sana setelah ini." Putri sempat melotot karena kaget dengan ucapan Eca. Hanya saja dia tidak bisa protes jika managernya sudah memberi perintah. “Baiklah kalau begitu. Saya tunggu kabar baiknya ya,” ucap Brama seraya meninggalkan ruang rapat, diikuti oleh semua staf yang mengikuti rapat pagi ini. Sementara Eca masih berdiam diri dalam posisinya, sambil menekan-nekan pelipisnya. “Lo lagi ada masalah, Ca?” tembak Putri karena menemukan keanehan dari sahabatnya itu. Seingat Putri, Eca selalu aktif ketika rapat sedang berjalan. Entah kenapa, pagi ini Eca cenderung terdiam, bahkan kedapatan melamun dan tidak memperhatikan pembahasan rapat. Eca menghela nafas panjang sebelum menjawab, "Sebenarnya iya. Cuma gue belum bisa pastiin juga." "Gimana, gimana? Yang bener dong ngomongnya?" tanya Putri bingung. "Udahlah, gak usah dibahas dulu. Yang penting sekarang kita berangkat dulu aja buat cek tempatnya." Eca hanya belum siap bercerita kepada Putri tentang dugaan perselingkuhan Adit, sementara dia selalu membanggakan Adit di depan Putri. Eca juga tidak punya pilihan selain tetap menjalankan tugasnya, meskipun ia ingin sekali segera mencari tahu kebenarannya. Ia baru saja mendapat posisi sebagai manager, dan dia tidak mau merusak citranya. Putri mengangguk sebelum menjawab, “Oke, kalau begitu kita berangkat sekarang untuk cek tempatnya.” *** Siang itu, Eca dan Putri baru saja selesai memastikan tempat yang akan dijadikan pameran produk barunya. Karena lokasinya yang berada di dalam sebuah mall, dan bertepatan dengan jam makan siang, Putri dan Eca memutuskan untuk makan pada salah satu restoran cepat saji di sana, sebelum kembali ke kantor. “Ca, gue ke toilet bentar, ya? Udah gak kuat ini.” Belum juga sempat menjawab, Putri sudah lebih dulu menjauhi Eca hingga Eca tidak bisa melarang. "Dasar si Putri kebiasaan, deh," gumam Eca pelan sambil mendengkus kesal. Tak ada pilihan baginya untuk menghindari antrian di saat jam makan siang seperti ini. Hingga Eca berada di depan kasir, sahabatnya itu belum juga kembali. Tanpa pikir panjang, Eca memilih dua menu yang sama untuk dirinya dan juga Putri. Namun, saat Eca hendak membayar jumlah tagihan yang diminta penjaga kasir, ia tidak menemukan dompet yang seingatnya berada di dalam tasnya. Eca terus mengorek-ngorek tasnya, dan belum juga menemukan benda yang dibutuhkannya. “Astaga! Di mana dompetku?” Eca tetap tidak menemukan dompet miliknya meski ia yakin benda itu berada di sana sebelumnya. Ia semakin panik karena antrian semakin panjang, dan beberapa orang di belakangnya tampak kesal karena Eca terlalu lama. "Permisi, Mbak. Antrian sudah panjang. Anda ingin antriannya semakin panjang?" Devan, pria asing tak dikenal Eca yang kebetulan berada tepat di belakang antriannya, langsung menegur tanpa basa-basi. Karena suasana hatinya sudah tidak baik sejak tadi, Eca memilih untuk mengabaikan Devan dan menghubungi Putri yang belum juga muncul sejak kepergiannya. "Mbak! Anda gak dengerin saya?!" protes Devan kembali. Intonasinya bahkan mulai meninggi. "Astaga! Sabar dong, Mas," jawab Eca dengan intonasi yang tak kalah tinggi. Kedua mata mereka saling menatap dengan menebar aura kebencian di antara keduanya. Sekilas Eca perhatikan penampilan si pria, yang sepertinya memang bukan dari kalangan biasa. Persis seperti gambaran CEO yang pernah dilihatnya pada drama Korea langganannya. Tapi sayang, tutur kata si pria yang menurut Eca kasar, membuatnya tidak menaruh rasa hormat sama sekali. "Sabar gimana? Antrian semakin panjang gara-gara Anda!" Eca menarik napas dalam-dalam sebelum menjelaskan, "Saya kehilangan dompet. Ini masih hubungin temen saya. Sabar, dong." Jauh tidak mungkin bagi Eca untuk mengalah dan mengulang antrian, karena akan membuang waktunya. Ia memilih terus menghubungi teman reseknya itu, dan berjanji akan mengumpatinya setelah nanti si resek sudah kembali. "Halah, kelamaan!" Pria yang menurut Eca sangat mengesalkan itu, malah maju satu langkah hingga membuat Eca spontan bergeser ke samping. “Tolong pembayarannya jadikan satu dengan pesanan saya saja. Saya pesan paket yang nomor satu tanpa keju," ucap Devan kepada kasir, sambil menunjuk menu yang dipesannya. "Bentar-bentar," sanggah Eca, karena dia merasa tidak nyaman dengan perlakuan pria asing itu. "Maksud Anda apa?" Tanpa hiraukan pertanyaan Eca, Devan segera mengangsurkan beberapa lembar uang merah muda kepada kasir, yang tentunya melebihi total tagihannya. "Ambil saja kembaliannya. Pesanan saya bisa diantar, kan?" "Baik, Pak. Bisa," jawab penjaga kasir dengan senyum ramahnya. Eca merasa seperti kambing congek, karena dirinya hanya mematung tanpa dihiraukan. Perlakuan tak menyenangkan dari pria asing itu, semakin membuat Eca sebal dengan kamu lelaki, dan menganggap semua laki-laki memang menyebalkan. Devan hampir pergi begitu saja namun, spontan Eca menarik lengannya. "Saya enggak mau punya hutang sama Anda. Saya enggak mau Anda seenaknya bayarin pesanan saya." “Lalu, kamu ingin saya terus menunggu sementara kamu sendiri enggak tahu sampai kapan teman kamu datang? Kalau saya jadi kamu, saya akan terima bantuan daripada merugikan pelanggan lain." Devan pergi begitu saja tanpa hiraukan Eca yang masih berdiri di sana. "Dasar sombong! Mentang-mentang punya banyak uang," batin Eca berbicara. Namun, benar yang dikatakan pria itu. Antrian memang semakin panjang jika dirinya terus mendebatkan masalah ini. Akhirnya Eca pasrah berdiri sambil menungu pesanannya dibuatkan. "Ini, Bu. Silahkan pesanannya." Tak berselang lama, pesanan Eca telah siap. Eca mengambil nampan berisi makanan pesanannya dan mencari bangku kosong untuk didudukinya. Namun, badannya langsung lemas, bahkan nampan yang dipeganginya langsung terjatuh ke lantai, saat matanya menangkap sosok pria yang selalu dibanggakannya dan selalu dikaguminya selama ini, sedang duduk bersama wanita lain di sudut ruangan dengan raut yang ceria. Pecahan piring yang terdengar, langsung mengundang teriakan orang-orang di sekitar Eca, hingga akhirnya Adit menyadari keberadaan Eca di sana. “Adit?" Tak bisa berteriak, ucapan Eca sangat lirih hampir tak terdengar karena syok dengan apa yang dilihatnya. Belum juga selesai dia memikirkan dengan semua hal janggal semenjak tadi pagi, namun sekarang malah ditambah dengan kenyataan yang sangat menampar hatinya. Tubuh Eca benar-benar lemas sehingga ia tidak memiliki keseimbangan lagi. Lalu kegelapan terasa memenuhi penglihatannya hingga Eca jatuh ke lantai tidak sadarkan diri. "Eca?” Adit yang tersadar akan keberadaan sang istri, langsung berlari menghampiri tanpa hiraukan lagi keberadaan wanita yang duduk bersamanya meski tampak wanita itu menyerukan nama Adit beberapa kali. “Eca, bangun, Sayang. Kamu kenapa?” Adit sempat mengguncang tubuh Eca beberapa kali namun tidak ada respon. Akhirnya tanpa pikir panjang ia segera menggendong tubuh ramping sang istri untuk segera dilarikan ke rumah sakit terdekat. Dalam gendongannya, samar-samar Adit mendengar kicauan Eca yang sangat menyayat hatinya. “Kamu jahat, Dit.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN