"Pagi Bu Eca?"
Sapaan yang terdengar ketika Eca baru saja sampai di kantornya, hampir memasuki gedung, membuatnya berhenti dan langsung menoleh ke sumber suara.
"Fara, kamu sudah sehatan?" Eca balik bertanya pada salah satu junior yang berada satu divisi dengannya itu. Ia memperhatikan keseluruhan tampilan juniornya itu, dan merasa ada yang berbeda. Namun Eca tidak menemukan apa itu.
"Sudah, Bu," jawab Fara sambil tersenyum ramah.
Senyuman Fara ternyata mampu mengalihkan pikiran Eca yang hampir saja menemukan perbedaan dalam diri Fara saat ini. Apalagi gigi gingsul Fara yang terlihat saat tersenyum, membuat fokus Eca beralih. Ia jadi iri sebagai wanita, karena kecantikan alami yang dimiliki Fara.
Lalu wanita muda yang berdiri di depan Eca kembali melanjutkan kalimatnya. "Terima kasih sudah memberi saya izin untuk bisa ambil cuti, Bu. Padahal saya belum ada satu tahun bekerja di sini."
"Kalau ini kan urusan lain, Far. Kamu emang sakit, masa iya saya gak kasih izin?" jawab Eca sambil tersenyum menanggapi ucapan Fara. "Yuk, masuk?"
Ajakan Eca segera diangguki oleh Fara. "Baik, Bu."
"Beneran sekarang sudah sehatan?" tanya Eca lagi, ketika keduanya berjalan beriringan menuju lantai delapan, ruangannya.
Fara kembali mengangguk ketika menjawab, "Udah Bu, beneran."
"Syukurlah," jawab Eca kembali. "Sebentar lagi kita akan ada acara besar, saya harap kamu juga ikut andil, Far."
"Baik, Bu. Saya tidak masalah."
"Oke, nanti kamu ke ruangan saya ya? Kita bicarakan lagi nanti."
"Baik, Bu."
Pembicaraan mereka terpaksa terhenti, karena mereka telah berada pada ruangan besar yang bertuliskan 'Divisi Pemasaran' pada bagian luar pintunya. Lalu di ujung ruangan tersebut terdapat ruangan lagi, yang menjadi ruang Eca salama ini.
Eca segera masuk ke ruangannya, setelah menyapa seluruh juniornya yang telah sampai di sana.
Masih tersisa waktu sekitar tiga puluh menit lagi untuk memulai jam kerjanya. Dan Eca baru teringat sesuatu setelah perutnya berbunyi. "Astaga, aku belum sarapan."
Ia segera mengelus perutnya sambil berkata, "Kamu laper ya, Sayang? Maafin Mama ya? Mama tadi gak sempat sarapan."
Ada kesenangan tersendiri bagi Eca saat ia berkomunikasi dengan janin dalam kandungannya, meski belum ada respon. Ia seperti memilik teman, meski tidak terlihat.
Tanpa mengulur waktu, ia segera beranjak dan menuju pantry untuk mencari kudapan yang disediakan kantor. Setidaknya ia bisa mengganjal perutnya agar tidak terlalu lapar.
Dalam perjalanannya menuju pantry, Eca tidak sengaja berpapasan dengan Devan dan Raffan. Ia segera menundukkan kepala ketika menyapa. "Pagi Pak Devan? Pak Raffan?"
Eca merasa sangat canggung dengan situasi saat ini. Apalagi perbuatan Putri kemarin malam yang menabrak belakang mobil Devan, semakin menambah rasa canggung Eca.
"Pagi," jawab Devan yang seketika berhenti saat melihat Eca menyapanya. Tatapan Devan sempat turun pada heels yang dikenakan Eca, lalu kembali menatap Eca dan brtanya, "Apa di sini diharuskan memakai heels?"
Eca yang awalnya terus menunduk, langsung mendongak. "Tentu saja tidak, Pak. Memangnya ada apa ya Pak?"
"Lalu kenapa kamu...." Devan mendadak menggantung ucapannya, dan berdehem sebelum melanjutkan kalimatnya. "Lupakan. Kamu bisa pergi," imbuhnya.
Meski bingung, namun Eca merasa senang jika hanya sebatas itu pembicaraan mereka. Ia tidak mau terus-terusan berada dalam situasi mencekam ini. "Baik, Pak," ucapnya sambil kembali berjalan.
"Apa mobilmu baik-baik saja?"
Pertanyaan yang kembali terdengar di telinga Eca, membuatnya segera berhenti.
"Mamp*s! ngapain dia bahas kejadian kemarin malam sih?" batin Eca.
Hal yang ditakutkan Eca ternyata terjadi. Sebenarnya ia ingin menghindari pembicaraan ini, namun ia tidak bisa menolak jika Devan terlanjur membahasnya.
"Tidak ada kerusakan pada mesin, Pak. Hanya goresan saja, dan sekarang sudah di bengkel."
Devan mengangguk sambil mengatakan, "Oh...."
"Maaf Pak, bukanya kita sudah sepakat untuk tidak membahasnya lagi kemarin?" Eca ingat betul dengan ucapan Devan kemarin malam yang tidak akan mempermasalahkan lagi kejadian itu. Devan juga sepakat jika semua terjadi karena ketidak sengajaan, dan tidak akan menuntut Eca.
"Sepertinya... saya berubah pikiran."
Jawaban Devan membuat Eca seketika melotot. Apalagi pernyataan selanjutnya yang keluar dari mulut Devan. "Tolong kamu datang ke ruangan saya nanti setelah jam makan siang."
Inilah hal yang sangat ditakutkan Eca. Bos songongnya itu, pasti akan mempermasalahkan semuanya.
"Baik, Pak," jawab Eca tanpa bisa membantah. "Saya permisi dulu, Pak."
"Iya, silahkan," jawab Devan dengan datar.
Rasa lapar Eca seketika menghilang, berganti rasa kesal. Ia berjalan lemas menuju pantry karena memikirkan banyak hal.
"Aduh, tabungan gue cukup gak ya?" gumamnya pelan sambil mengaduk teh yang baru diseduhnya.
"Lo kenapa, Ca? Lemes banget?" tanya Putri yang tiba-tiba sudah berada di samping Eca. Wanita itu mengambil cangkir dari rak di ujung ruangan, dan menyeduh kopi instan. "Lo pikirin apaan?"
"Pak Devan minta ganti rugi, Put," jawab Eca tanpa pikir panjang.
"Hah?" Putri terkejut dan hampir menyemburkan kopi yang baru saja diteguknya. "Bukannya kemarin malam masalahnya udah clear ya?"
Eca semakin mengaduk tehnya dengan kuat. "Makanya itu, aku juga heran. Labil banget sih tuh orang?"
"Siapa yang kamu sebut labil?"
Suara maskulin yang terdengar, langsung membuat Eca dan Putri menoleh mengikuti arah suara. Dan betapa terkejutnya mereka, dengan kehadiran sosok yang dari tadi menjadi bahan perbincangan, tiba-tiba berdiri di sana.
"Pak Devan?!" Eca bahkan hampir terloncat kaget karena kehadiran Devan tiba-tiba.
"Kalian bilang apa tadi soal saya? Coba ulangi?"
Tak ada yang berani menjawab. Bahkan keduanya kompak tertunduk, tanpa berani menaikkan wajahnya.
Decakan keras yang keluar dari mulut Devan, cukup memyimpulkan jika pria berbadan kekar itu sedang kesal. Lalu aba-aba yang terdengar dari Devan membuat detak jantung Eca meninggi seketika.
"Eca, kamu ke ruangan saya sekarang!"
"B-baik, Pak." Entah kenapa, aura Devan terlihat sangat menakutkan bagi Eca. Sangat berbeda dengan aura Pak Brama yang terkesan ramah dan selalu mengayomi. Eca jadi merindukan gaya kepemimpinan Brama, dan mulai tidak menyukai CEO barunya.
Tidak ada pilihan baginya, selain ikut mengekor Devan di belakangnya yang akan menuju ruangan Devan di lantai sembilan.
Dalam hatinya, ia terus mengumpat meski tahu tidak akan mengubah apapun. Entah kenapa, aura Devan terlihat sangat menakutkan, hingga ia tidak berani untuk melawan.
Tiba di ruangan Devan, Eca hanya bisa mempersiapkan diri jika CEO songongnya itu akan meminta uang ganti rugi. Hanya itu yang bisa ia lakuakan saat ini, karena harus bertanggung jawab atas perlakuan yang sudah dilakukan Putri.
"Duduk!" perintah Devan sambil menunjuk sofa panjang di tengah ruangannya. Laki-laki itu berjalan menuju bangku kebesarannya setelah memberi perintah pada Eca.
Alih-alih duduk menuruti Devan, Eca malah memberanikan diri untuk berbicara. "Maaf Pak kalau saya lancang. Tapi saya tidak setuju dengan cara Bapak. Bukannya kemarin kita sudah bicarakan hal ini baik-baik?"
Devan yang sudah berada di belakang mejanya, segera menoleh ke arah Eca dan kembali memerintahkan, "Saya bilang duduk!"
Eca semakin sebal dengan sikap semena-mena CEO nya itu yang menurutnya terlalu arogan.
"Duduk!" Lagi-lagi Devan memerintahkan, meski kali ini intonasinya sudah merendah.
Eca akhirnya duduk menuruti perintah Devan, meski hatinya sangat menolak. Lalu, Devan berjalan mendekati ke arahnya dengan sesuatu di tangannya.
"Kamu kira kamu dipanggil ke sini buat apa?" ucap Devan sambil berjongkok di depan Eca yang membuat Eca sangat terkejut sekaligus risih.
"Pak, kenapa Bapak berjongkok di situ?"
Belum selesai Eca bertanya-tanya dengan apa yang akan dilakukan CEO nya itu, perlakuan Devan selanjutnya lebih mengejutkannya.
"Wanita hamil, dilarang pakai heels tinggi di sini. Saya akan mengubah peraturannya seperti itu mulai sekarang." Tanpa canggung, Devan melepas heels yang dipakai Eca, dan menggantikannya dengan sandal beralas datar yang biasa digunakan di dalam kamar. Devan lega, karena menyimpannya sepasang di dalam ruangannya.
"P-pak Devan...."