“Lah iya. Harus. Kapan lagi bisa dapat bini spek bidadari kayak gitu? Lebih cantik yang ini daripada tunangan lo,” tambah Arman.
Altha membuang napas panjang. Mengenalkan diri langsung sebagai suami rasanya belum mungkin. Mengingat semuanya masih dalam situasi tegang. Lagi pula, apa wanita itu percaya jika ia langsung jujur?
“Kenalkan, saya Altha. Suamimu.” Altha menggeleng ketika membayangkan perkenalan akward itu jika benar-benar dilakukan. Pasti wanita bernama Mazida yang baru saja dihalalkan melalui jalur aneh itu akan syok. Atau mungkin menganggapnya g*la.
Jadi, tidak untuk sekarang ia memperkenalkan status. Ia berharap Zamroji selamat dan ia akan terbebas dari tanggung jawab ini sebelum wanita itu tahu mereka adalah suami istri.
“Samperin dia, Tha. Lo yang maju sendiri atau gue bantu dorong?” Arman kembali mengompori.
Altha menghadiahinya dengan tonjokan pelan pada perut. “Jaga mulut lo. Jangan sampai bilang kalau gue sudah menikahi dia. Rahasiakan dulu semua ini dari dia.”
“Lah, kenapa?”
“Nggak untuk sekarang pokoknya. Nunggu situasi yang pas. Semoga bapak tua itu juga nggak ngasih tahu putrinya dulu.”
“Halah! Sok resmi lo. Nyesel gue nolak nikahi gadis itu. Tahu cantik gini, gue mau tadi.”
“Ya udah, dia bakal gue talak. Lalu lo bersedia nikahi dia?”
Arman cengengesan. “Nggak jadi kalo gitu.”
Kali ini, Altha menginjak kaki sahabatnya tersebut. Sampai Arman misuh tertahan.
“Ayah, siapa yang buat Ayah kayak gini? Katanya Ayah jadi korban tabrak lari?” cecar Mazida sambil tersedu-sedu di samping telinga Zamroji.
“Ayah tahu ciri-ciri pelakunya? Apa sudah dilaporkan ke polisi?” Mazida terus bicara.
Zamroji menggeleng kecil.
“Tolong jangan mengajak bicara pasien terlalu sering dulu, ya? Biar kami hentikan dulu pendarahan di kepalanya.” Dokter memperingatkan.
“Nanti setelah pendarahan diatasi, kita lakukan CT Scan seluruh tubuh untuk mengetahui kondisi dalam,” imbuh dokter itu.
Saat itulah, Arman dan Altha mendekat.
“Siapa kalian?” tanya Mazida.
“Saya yang tadi meneleponmu.” Altha menyerahkan ponsel Zamroji.
“Apa kalian pelakunya? Kalian pasti yang sudah nabrak ayah saya! Akan saya laporkan ke polisi!”
Altha kembali menarik tangannya sebab Mazida tidak mengambil ponsel tersebut.
Arman ikut maju karena merasa terancam. “Kami yang menolongnya, enak saja main lapor!”
“Sayang, tenang.” Bagas mengelus lengan sang kekasih. “Ayahmu butuh ketenangan. Jangan berdebat di sini.”
Tangan Zamroji mengelus lengan sang putri. Mazida langsung menatap kembali pada ayahnya.
“Ayah jatuh sendiri, Ayah yang salah, nggak ada yang nabrak. Jadi, jangan libatkan polisi,” ujar Zamroji lirih.
Arman dan Altha saling pandang. Keduanya tidak menyangka pria yang ditabraknya akan bicara seperti itu untuk menutupi kesalahan mereka.
“Kalau Ayah nggak selamat, jaga diri baik-baik, Nak.” Setetes air mata Zamroji jatuh. Ia menatap putrinya sendu.
“Om tenang saja. Ada saya yang akan menjaga Mazida. Dan Om harus selamat.”
Zamroji memalingkan wajah saat Bagas bicara. Pria paruh baya itu malah menatap Altha syarat permohonan.
“Titip putri saya.”
Banyak tanda tanya dalam benak Altha. Mazida sudah punya kekasih. Namun, kenapa malah menyuruhnya menikahinya? Kenapa tidak menyuruh kekasih anaknya itu saja?
Saat itulah, Zamroji kembali memuntahkan darah segar. Darah tidak hanya keluar dari mulut, tetapi juga dari hidung dan telinga. Pria itu lantas tidak sadarkan diri.
“Pindahkan pasien ke ruang ICU.” Dokter memberi titah.
“Ayah!” pekik Mazida. Kalau saja Bagas tidak menopang tubuhnya, wanita itu akan limbung.
**
Selama Zamroji ditangani, Mazida terus menangis. Bagas setia berada di sampingnya menenangkan. Saat pria itu menyentuh, Mazida terus menghindar.
“Mungkin ini karma karena tadi kita hampir saja khilaf. Ayah yang kena. Astagfirullah.” Mazida terus tersedu-sedu.
Arman dan Altha juga belum beranjak. Mereka duduk mengawasi dari jauh. Untuk sepeda motor dan bekas kecelakaan di TKP, sudah diurus Dika. Dipastikan semua beres tanpa mengundang rasa curiga dari siapa pun kalau sebenarnya merekalah pelakunya.
“Man, lo bisa pulang dulu. Anak bini lo pasti sudah nunggu lo di rumah,” ujar Altha.
“Lo?”
“Gue masih mau di sini dulu. Nggak apa-apa kan lo pulang sendiri?”
“Gue mah nggak apa-apa. Tapi lo kenapa masih pengen di sini? Jangan bilang mau PDKT sama bini baru lo. Percuma! Noh, lihat. Bini lo sudah ada yang punya. Daripada jadi obat nyamuk, mending lo pulang.”
Altha memelototi sahabatnya. “Laki, tapi mulut suka jadi kompor.”
Arman tergelak. “Bukan gitu. Maksud gue toh bapak itu sudah ada keluarganya.”
Altha terdiam.
“Tapi gue sedikit lega, Tha. Bapak itu melarang anaknya melaporkan ke polisi dan malah membuat cerita beda dari versi kita.”
Altha mengangguk.
“Dan satu lagi yang aneh. Anaknya sudah punya pacar. Tapi kenapa malah nyuruh lo yang nikahi?”
“Itu yang paling mengganggu gue dari tadi. Pria tua tadi jadi korban tabrak kita. Dan sekarang gue jadi korban dia. Kayak terniat balas dendam. Gila nggak?”
“Dari penerawangan gue, mungkin bapak itu nggak setuju anaknya sama pacarnya itu. Malah mempercayakannya sama orang asing. Dan orang asing itu lo. Gangguan jiwa mungkin itu bapak.”
Altha menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi. “Pecahin kepala gue aja, Man. Gue nggak bisa gunain kepala gue dengan baik untuk saat ini.”
Arman malah tergelak.
“Atau kita menyerahkan diri ke polisi saja? Lalu gue talak saat ini juga perempuan itu. Gue merasa diperalat sama bapak tua itu.” Altha menatap sahabatnya sendu.