Namanya Mazida
“Jadi ini wanita yang sering kamu ceritakan itu, Gas?” tanya Hanfi pada Bagas, sang putra. Ia menatap dalam pada anak bungsu dan wanita berhijab abu-abu yang duduk di depannya.
“Iya, Ma. Ini Mazida. Aku ke sini membawanya untuk meminta restu. Aku ingin menikahinya.” Bagas menjawab dengan mantap sambil menatap wanita ayu di sampingnya.
Embusan napas panjang terdengar. Hanfi melipat kedua tangan. Pandangannya begitu tajam, siap mengoyak Mazida.
“Mazida, begini. Bisa dibilang saya agak trauma. Dua kakak laki-laki Bagas sudah menikah dan semuanya sampai sekarang belum dikaruniai anak. Bahkan salah satu menantu perempuan saya sakit keras. Saya sebenarnya ingin menjodohkan Bagas dengan wanita pilihan saya–“
“Ma, sudah kubilang aku nggak mau,” potong Bagas.
“Bagas, kalau ada orang tua bicara, jangan menyela! Nggak sopan! Mama sedang bicara dengan pacarmu, bukan denganmu!”
Mazida mulai menghidu aroma penolakan. Sejak datang ke sini, ia memang sudah siap dengan segala kemungkinan. Jadi, ia harus siap mendengar kata yang mungkin menyakitkan.
Bagas berdecak sebal.
“Mama merestui pernikahan kalian. Tapi dengan syarat. Pacarmu ini harus bisa memberikan Mama cucu. Entah bagaimana caranya. Suruh dia tes kesuburan dulu atau apa. Atau kalau perlu buat dia hamil dulu–“
“Mama! Ini sudah nggak bener!” Bagas bangkit.
“Sudah mulai nggak sopan kamu, hah! Mama sedang bicara, tapi dari tadi terus kamu potong!”
Mazida menarik tangan pria yang sudah mengisi relung hatinya selama dua tahun tersebut. Bagas pun kembali duduk.
“Atau penawaran terakhir. Silakan menikah. Tapi jika dalam waktu dua bulan wanita ini nggak bisa hamil, kalian harus bercerai! Atau Bagas harus menikah lagi.”
Tangan Bagas mengepal kuat. Amarahnya ia simpan dalam kepalan itu. Bagaimanapun juga, ia tidak boleh bicara dengan nada tinggi pada sang mama.
“Bagaimana, Mazida?” tanya Hanfi memastikan.
Mazida malah tersenyum. “Anak itu hak mutlak Allah, Tante. Jujur, semua persyaratan yang Tante ucapkan memberatkan saya. Saya berpikir, Tante menikahkan putra-putra Tante hanya demi mendapatkan cucu, bukan semata-mata karena ingin melihat mereka bahagia. Jadi, daripada pernikahan saya terbebani dengan tuntutan berat Tante, lebih baik saya tidak menikah saja dengan Mas Bagas.”
“Zi.” Bagas menatap Mazida sambil menggeleng.
“Ya, saya rasa itu keputusan yang tepat. Saya pun tidak sudi punya menantu tidak punya sopan santun seperti kamu.” Hanfi tersenyum miring.
“Ma, aku pamit ngantar Mazida pulang. Biar aku rembukan dulu sama dia. Nanti kita bicara lagi.” Bagas mengambil telapak tangan kiri Mazida, lalu mengajaknya berdiri.
Sebelum pergi, Mazida masih sempat mencium takzim telapak tangan Hanfi.
**
Angin malam berembus semilir, menimbulkan rasa sejuk yang menembus kulit. Dua sejoli dimabuk asmara yang tengah dirundung masalah itu saling diam di atas indahnya jembatan sejak tadi setelah pulang dari rumah Bagas.
Keluarga Bagas masih memiliki darah keturunan darah biru. Untuk itulah, orang tuanya begitu selektif dalam memilih menantu. Dua kakak Bagas yang gagal memiliki anak. Mereka tidak mau kegagalan berulang pada anak bungsu.
“Kenapa kamu nggak pernah bilang kalau dua kakakmu punya masalah rumit dan akhirnya berimbas pada kita, Mas?” Mazida memulai obrolan.
“Aku justru yang harusnya marah. Kenapa kamu malah bilang kalau mending nggak usah nikah sama aku, hah! Zi, kita masih bisa berjuang! Apa dua tahun nggak ada artinya buat kamu?”
“Bukan begitu. Aku tadi sumpah kesel banget. Pernikahan itu sakral, Mas. Tapi mohon maaf, sepertinya mamamu malah menggampangkan. Merestui tapi dengan syarat berat. Kayak mempermainkan pernikahan. Dan kalau kita beneran nikah, sepertinya aku nggak bisa akur sama mamamu.”
“Aku yakin kita sama-sama subur, jadi untuk apa khawatir? Zi, ayo kita berusaha. Aku yakin mama akan luluh.”
“Usaha seperti apa maksudmu?”
“Ikut aku!”
Bagas mencekal pergelangan tangan Mazida, meminta kekasihnya itu masuk mobil. Tanpa buang waktu, kendaraan roda empat tersebut melaju.
“Kita mau ke mana, Mas?”
“Pokoknya kamu tinggal nurut aja.”
Mobil lantas berbelok ke sebuah hotel mewah, lalu parkir di basement.
“Kita mau check-in?” Mazida memastikan.
Bagas tidak menjawab. Ia turun, lalu membuka pintu mobil sisi kiri Mazida. Pria itu mengulurkan tangan.
“Hanya ini jalan keluar terakhir yang bisa kita lakukan. Kamu harus hamil dulu biar mamaku benar-benar merestui kita. Kita harus berjuang sama-sama, Zi. Kumohon. Ayo kita lakukan.”
**
Brak!
Di tempat lain, bunyi memekakkan terdengar. Sebuah sepeda motor ditubruk mobil dari belakang. Sepeda motor melaju kencang tanpa kendali. Sementara pengemudinya terpelanting ke arah pohon.
“Tuan, sepertinya kita menabrak orang,” ujar sang sopir. Laju mobil dipelankan.
“Ah, s*al! Kenapa kamu begitu ceroboh, hah!” umpat salah satu pria di kursi tengah yang dipanggil dengan sebutan tuan.
“Maaf, Tuan. Dia sen ke kiri, saya mendahului dari kanan Ternyata dia beloknya malah ke kanan.”
“Sepertinya nggak ada yang lihat kita. Ayo kita kabur saja.” Yang lain menimpali.
“Kalau dia meninggal, berarti kita jadi pemb*nuh. Lo mau dihantui setannya dan dihantui rasa bersalah seumur hidup?”
“Bukan kita, tapi sopir lo tuh! Eh, Dika! Kalo nyupir yang bener!”
“Cukup! Ayo kita lihat!”
“Nggak, lo aja sana. Sama Dika! Kalian yang harus tanggung jawab. Gue cuma numpang ini tadi.”
Mereka terus berdebat sebelum akhirnya salah satu merasa bersalah dan perlu bertanggung jawab. Altha. Pria itu turun dan mencari keberadaan seseorang yang baru saja ditabraknya. Ternyata tergeletak di bawah pohon dengan berlumuran d4rah. Namun, masih terlihat bergerak. Altha mendekat.
“Pak, bisa bawa motor nggak! Sen kiri, malah belok kanan! Kalau sudah seperti ini, mobil yang disalahkan!” bentak Altha seraya bertolak pinggang.
Korban kecelakaan itu berusaha mengangkat kepala, tetapi tidak bisa. “Ya, saya akui saya salah. Tapi kalian juga salah karena mengemudi dengan kecepatan tinggi.”
Pria paruh baya itu bernama Zamroji. Ia memegangi dadanya.
“Kamu telah menabrak saya. Untuk menebus kesalahanmu, nikahi putri saya. Jika diberkahi umur panjang, saya akan membebaskanmu dari pernikahan dadakan ini. Tapi jika saya meninggal, tolong jaga putri saya. Namanya Mazida.”