“Apa!” pekik Mazida. “Saya nggak percaya. Jangan bohong, ya! Kamu penipu, kan? Atau orang yang mencuri ponsel ayah saya?”
“Saya akan mengubah panggilan menjadi panggilan video kalau kamu tidak percaya,” lanjut suara di seberang.
Mazida meraba kepala yang sudah tidak lagi tertutup hijab. Sudah pasti rambutnya pun berantakan. Matanya menyisir ruangan dan menemukan barang itu tergeletak di lantai.
“Siapa yang telepon, Zi? Penipu? Sini berikan padaku. Biar aku yang tangani.” Bagas yang dua kancing kemeja bagian atasnya sudah terbuka itu mendekat dan mengulurkan tangan.
Mazida menggeleng. Ia pun berlari menuju hijab dan segera memakainya asal. “Ya, saya ingin lihat langsung. Alihkan panggilan menjadi panggilan video.”
Orang di seberang mengubah menjadi panggilan video. Sementara Mazida masih sempat mengancingkan hijabnya di bagian dagu.
Begitu panggilan diterima, Mazida langsung disuguhi wajah Zamroji. Meskipun wajah itu nyaris tidak bisa dikenali, Mazida tahu itu ayahnya dari seragam yang dikenakan. Ada name tag sang ayah di bagian d*da. Beberapa tenaga medis tengah melakukan tindakan. Mazida tidak memperlihatkan wajahnya di layar, tetapi kamera ponselnya difokuskan pada kamera depan.
“Astagfirullah. Ayah!”
“Sekarang percaya, bukan?” Suara tanpa wajah itu kembali terdengar. “Datanglah ke Rumah Sakit Centra Medika sekarang. Ayahmu masih ada di IGD.”
“Baik. Tapi tunggu. Apa Anda yang telah menabrak ayah saya?”
“Bukan. Sepertinya ayahmu menjadi korban tabrak lari.”
“Oke, saya ke sana sekarang.”
Setelah panggilan dimatikan, cepat-cepat Mazida mengambil tas.
“Aku pergi dulu, Mas. Ayah kecelakaan.”
“Aku temani.”
“Nggak merepotkan?”
“Enggak. Ayo.”
Keduanya bersiap dengan tergesa-gesa, lalu keluar kamar hotel.
Bagas menggerutu dalam hati. Malam ini, ia gagal menjalankan misi. Sesuatu yang sudah tegak siap tempur, dipaksa mengerdil untuk mundur. Tidak apa, ia berpikir masih banyak lagi waktu melakukannya.
Sementara di rumah sakit, Altha menatap ponsel Zamroji yang sudah dalam posisi mati.
“Gimana? Istri dadakan lo, cantik nggak?” tanya Arman.
“Entahlah. Gue malas lihat layar ponsel.”
“Lalu, dia mau ke sini?”
“Hm.”
“Siapin diri buat nyambut bini lo. Sana dandan dikit biar kelihatan seger.” Arman tergelak.
“S*alan lo.”
“Jadi, ini gimana? Mau telepon polisi nggak?”
Altha diam.
Setengah jam sebelum Altha menelepon.
Zamroji mengambil ponsel dari sakunya. Ia menggulir sebentar, lalu menunjukkan foto pada Altha dengan tangannya yang gemetar. Bukannya melihat, Altha justru melengos.
“Anak saya tunggal. Ibunya Mazida entah di mana keberadaannya, saya tidak tahu. Saya sudah tidak punya saudara. Jika saya meninggal, saya khawatir dengan putri saya. Saya yakin kamu orang baik, Anak Muda. Jadi saya percayakan dia ke kamu.”
Altha masih belum merespons.
“Jangan terlalu banyak gerak dan bicara dulu, Pak,” ujar dokter yang menangani.
Zamroji menggeleng. “Tolong, Anak Muda. Dok, tolong jadilah saksi. Saya ingin menikahkan anak saya dengan pemuda ini.”
“Pak, mohon maaf saya tidak bisa. Saya sudah punya tunangan. Sementara dua teman saya juga sudah menikah. Maaf, kami tidak bisa melakukan pernikahan aneh yang Bapak inginkan.”
Zamroji tergugu dalam tangis. Bukan karena sakit di sekujur tubuhnya, melainkan khawatir akan putrinya jika ia meninggal.
“Udah, iyain aja, Tha. Ingat, kita sedang bersaing dalam memperebutkan tender besar. Kalau masalah ini bocor, habis kita. Lagi pula, ini hanya pernikahan siri. Lo bisa menceraikan wanita itu kapan saja,” bisik Arman.
“Baiklah kalau kamu menolak. Kalau saya selamat, akan saya tuntut kalian bertiga. Saya akan meminta keadilan. Dok, saya bukan korban tabrak lari, tapi ditabrak–“
“Oke, baiklah. Saya akan menikahi putri Bapak. Dengan catatan kalau Bapak selamat, saya harus terbebas dari jerat pernikahan aneh ini!” potong Altha.
Reputasi Altha tidak bisa dipertaruhkan. Jika orang-orang tahu dialah penabraknya, bisa-bisa nama baiknya hancur. Apalagi sekarang apa-apa bisa viral.
Zamroji mengangguk. “Ayo lakukan sekarang.”
“What?”
“Saya yang akan menikahkan langsung. Biar dokter dan temanmu yang jadi saksi.”
“Bapak tidak kenal sama saya? Bapak tahu nggak siapa saya sebenarnya?” Altha mulai emosi. Ia ingin mengungkap jati dirinya di hadapan Zamroji agar tidak makin melantur.
“Kamu muslim?” Zamroji malah mengalihkan bahasan.
Altha berdecak. Ia tidak menjawab. Diamnya Altha diartikan iya oleh Zamroji.
Altha tidak bisa lagi berkutik. Ia sudah masuk perangkap pria tua yang sudah ditabraknya ini. Batinnya berperang. Ada hati wanita lain yang harus dijaga. Namun, juga ada reputasi dan nama baik perusahaannya yang harus dijaga pula. Kondisi saat ini sungguh membuatnya berada pada posisi sulit.
Altha berdiskusi dengan Arman dan dokter di IGD. Ia akan menikahi putri Zamroji, tetapi tidak mau berita ini menjadi heboh nantinya.
“Man, gue minta lo jadi saksi. Sama Dokter. Tapi tolong, jangan sampai pernikahan tak lazim ini terdengar di luar. Cukup ini menjadi rahasia kita bertiga, berempat sama bapak tadi. Dok, saya mohon. Karena kalau sampai dia selamat, saya akan langsung menceraikan anaknya.”
“Maaf. Tapi ini di luar tugas saya. Saya tidak mau mengambil risiko apa pun. Cari orang lain saja. Jangan saya,” tutur sang dokter.
“Baiklah, saya akan mencari orang lain. Tapi tolong, jaga rahasia ini, Dok. Dokter juga bisa menjadi saksi.”
Dokter itu mengangguk.
Akhirnya, Arman mencari satu orang pria yang bukan pekerja medis untuk menjadi saksi. Semua dilakukan dengan terburu-buru sebab kondisi Zamroji kian menurun.
Sebagai orang yang paham agama, Zamroji tahu tata cara pernikahan seperti khutbah nikah sebelum akad. Semua dilakukan sendiri meskipun sambil menahan rasa sakit. Altha juga diminta mengucapkan dua kalimat syahadat, istigfar, dan selawat.
Zamroji tersenyum kala Altha menuruti semua yang diinginkan. “Nama saya Zamroji, putri saya Mazidatu Zulfa.”
Altha hanya berdecak.
“Saudara Altha, saya nikahkan dan kawinkan Anda dengan putri saya Mazidatu Zulfa dengan mas kawin uang tunai sebesar tiga ratus ribu rupiah dibayar tunai.”
“Saya terima nikah dan kawinnya Mazidatu Zulfa bin Zamroji dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!”
Altha menitikkan air mata. Perasaannya campur aduk.
Doa keberkahan dipanjatkan Zamroji.
Setelah ijab kabul dinyatakan sah, Zamroji menyerahkan ponselnya pada Altha. “Terima kasih. Tolong hubungi Mazida. Kabari dia kalau saya ada di sini.”
Altha menerimanya. Ia lalu menghubungi Mazida yang sekarang sudah menjadi istri sirinya.
Istri. Satu kata yang membuatnya tergelitik.
Setelah dikabari dan menunggu beberapa saat, Mazida datang bersama Bagas dan langsung menuju brankar Zamroji. Altha dan Arman juga masih ada di sana. Hanya saja mengamati dari jarak agak jauh.
“Ayah! Ya Allah!” pekik Mazida seraya mendekati Zamroji yang kesadarannya sudah hilang timbul.
“Gila! Lo dapat rejeki nomplok, Bray. Istri dadakan lo ternyata cantik maksimal. Berhijab pula. Beruntung lo,” bisik Arman.
“Menurut lo, apa gue harus mengenalkan diri sebagai suami dadakannya sekarang?”