“Lo aja kali yang menyerahkan diri. Sama Dika. Gue mah cuma numpang. Ogah gue ikut masuk bui sama kalian,” protes Arman. “Lagian, bini lo cakep. Kenapa nggak dicoba dulu saja?”
“Lo pikir baju main dicoba dulu? Diajak tidur, lalu kalo nggak cocok ditinggal? Ini manusia, anak gadis orang. Lama-lama lo ikut sin*ting sama kayak bapak itu. Pulang sana! Keberadaan lo tambah bikin gue pusing!”
Arman terpingkal-pingkal. “Ayo kita pulang dulu. Setelah tidur, kepala lo pasti bisa digunakan berpikir lagi.”
Arman bangkit.
“Lo aja yang pulang. Gue nanti dulu.”
“Ya udah. Gue mau bantuin si Dika membersihkan ‘kekacauan’ kita biar kita tetap aman. Ini malam pertama lo, kan? Selamat malam pertama, Bray!”
“Habis nabrak orang kayak nggak ada bersalahnya lo ya! Dasar psi*kopat!” desis Altha.
“Dika yang nabrak. Jadi, dia tersangka utamanya.”
Altha mendorong p****t Arman dengan kakinya. Arman terpingkal-pingkal seraya berjalan.
“Sebelum pulang belikan gue air minum dulu, Man! Haus gue!” teriak Altha.
Tangan Arman melambai, kode ia tidak mau melakukan apa yang diminta sang sahabat.
“Dasar teman nggak ada akhlak,” gerutu Altha. Pria itu lantas merebahkan kepalanya di sandaran kursi. Matanya masih mengamati interaksi antara Mazida dan Bagas.
Sementara di kursi lain, terjadi ketegangan. Mazida masih terus menyalahkan diri sendiri karena menilai maksiat yang akan dilakukan bersama Bagas berimbas buruk pada sang ayah.
“Aku minta maaf atas apa yang terjadi tadi, Zi. Tapi stop menyalahkan diri sendiri. Aku juga salah.” Bagas berusaha menenangkan.
“Mungkin kalau tadi nggak ada telepon, kita sudah bertindak sangat jauh, Mas. Aku sangat menyesal kenapa sampai nggak bisa menahan diri.”
Bagas menunduk. Ia tahu apa yang akan mereka lakukan tadi salah. Namun, semua itu demi hubungan mereka juga. Cara berjuang mendapat restu adalah dengan cara ha*mil duluan.
“Ya sudah, jangan nangis lagi. Untuk sekarang, kita fokus dulu sama kesembuhan ayahmu.”
Mazida mengangguk.
Saat bersamaan, ponsel Bagas berdering. Ketika dilihat, ada sang mama yang menelepon.
“Aku angkat telepon mama dulu, ya,” pamit Bagas seraya memperlihatkan layar ponsel.
Mazida mengangguk lemah. Ia masih tersedu-sedu.
Saat Bagas sedikit menjauh untuk mengangkat panggilan suara, Mazida terpejam. Sungguh, ia merutuki diri sendiri. Hampir saja hal paling berharga dalam dirinya terenggut. Hampir saja ia melakukan dosa besar. Terlepas tujuan dari adanya dosa itu, tetap saja apa yang akan mereka lakukan tidaklah benar.
“Yah, maaf. Karena kesalahanku, mungkin Ayah yang harus menanggung akibatnya.”
Ponsel Altha juga ikut berdering. Anggun, sang tunangan menelepon. Pria itu sengaja membiarkannya sampai deringnya berhenti. Lalu, beberapa pesan masuk setelahnya.
Altha sengaja tidak membuka pesan tersebut agar sang tunangan berpikir dirinya sudah tidur.
Pria itu memasukkan kembali ponselnya ke saku. Dipijatnya pangkal hidung sambil terpejam.
Malam ini, masalah datang bertubi-tubi. Altha yang baru pulang dari acara kantor sengaja meminta sopir mengambil jalan pintas agar lekas sampai apartemennya. Namun, di jalan sepi justru menabrak seseorang. Lalu berujung harus bertanggung jawab sesuatu sangat besar.
Altha merasa bersalah pada Anggun. Beberapa bulan lagi mereka menikah. Namun, pria berdagu belah itu malah menikahi wanita asing sekarang.
“Mungkin Arman benar, gue harus pulang. Biar besok bisa berpikir untuk langkah selanjutnya,” gumam Altha.
Pria itu bangkit hendak pamit pada Mazida yang duduk sendiri. Dihampirinya wanita ayu itu.
“Saya permisi mau pulang,” pamit Altha.
Mazida menghapus kasar air matanya. Ia tersenyum. “Iya. Terima kasih sudah menolong ayah saya. Dan saya minta maaf karena tadi sempat suudzon dengan menuduh kalian telah menabrak ayah saya.”
“No problem. Ya sudah, saya permisi.”
Saat bersamaan, Bagas juga mendekat. Altha mengangguk sekilas dan tersenyum ketika berpapasan. “Saya balik dulu.”
“Oh, iya. Terima kasih untuk bantuannya pada ayah pacar saya.”
“Sama-sama. Mari.” Altha tersenyum, lalu mengangguk sekilas.
“Zi, mama telepon nyuruh aku pulang. Katanya kepalanya pusing. Aku takut hipertensinya kambuh,” ujar Bagas yang masih bisa didengar Altha.
Altha melambatkan langkah. Ia pura-pura mengecek ponsel.
“Pulanglah, Mas.”
“Kamu nggak apa-apa sendiri di sini?”
“Nggak apa-apa. Perawat banyak, kok. Jadi nggak sendiri.”
“Sebenernya nggak tega ninggal kamu, tapi–“
“Pulanglah. Daripada nanti mamamu tambah marah sama kita.”
“Baiklah. Jaga diri baik-baik, ya? Besok pagi sekali aku akan datang. Besok nggak usah kerja dulu. Biar aku buatkan untuk izinnya.”
Mazida mengangguk.
Altha menoleh ke arah pasangan tersebut. Ia pura-pura meletakkan ponsel di telinga, seolah-olah sedang telepon. Pria itu penasaran ingin tahu, perpisahan seperti apa yang akan terjadi pada istri siri dengan kekasihnya tersebut.
Sebelum pergi, Bagas hanya mengelus lembut kepala Mazida yang terbungkus hijab. Tidak ada ciuman atau adegan pelukan seperti yang dibayangkan.
“Ya, jemput gue di lobby. Gue tunggu di sana,” ucap Altha keras pura-pura saat Bagas berjalan ke arahnya. Ia ikut berjalan.
“Jemput gue pokoknya. Mau pulang oesen ojek mana ada yang masih online? Gue tunggu sekarang.” Altha melanjutkan akting.
Saat Bagas berjalan di sebelahnya, tatapan keduanya bertemu. Altha tersenyum sekilas.
Setelah memastikan Bagas benar-benar sudah pergi, Altha mengakhiri aktingnya dan memasukkan ponsel ke saku. Ia menatap Mazida yang kondisinya dinilai sangat kacau.
“Tha!” Sebuah teriakan terdengar saat Altha akan berjalan mendekati Mazida. Pria itu menoleh. Ada Arman yang membawa sebotol minuman.
“Nih, orderan lo.” Arman memberikan air mineral itu. Altha menerimanya.
“Thanks.”
Altha mengambil dompet ingin mengganti uang Arman, tetapi suara sang sahabat membuatnya urung.
“Nggak usah. Timbang beli air mineral doang nggak bikin pahlawan di dompet gue berguguran banyak.”
Altha hanya tersenyum samar. “Sok kaya lo.”
“Lo beneran nggak mau balik sekarang?”
“Nggak. Lo aja duluan.”
“Ya udah. Tapi ingat, besok kerjaan lo numpuk. Jangan sampai telat ke kantor.”
“Hm.”
“Selamat malam pertama di koridor rumah sakit,” bisik Arman.
Altha meninju pelan d*da Arman. “Ya udah sana pergi.”
“Lo mau berduaan sama bini lo, kan? Tadi aja sok nggak mau, sekarang ngebet. Dasar perjaka tua.”
Arman langsung ngacir sambil tergelak saat Altha mengangkat tangan hendak memukulnya.
Setelah memastikan tidak ada pengganggu lagi, Altha mendekati Mazida.
“Tenangkan dulu dirimu. Nih, minumlah.” Pria itu menyodorkan minuman.
Mazida mendongak, menatap Altha sendu. “Katanya mau pulang?”
“Nggak tega lihat kamu sendirian.”
“Kenapa nggak tega?”