Korban Kecelakaan

1068 Kata
Uhuk! Zamroji batuk. Cairan merah segar keluar dari mulutnya. Tidak hanya dari mulut, tetapi juga dari hidung dan kepala bagian belakang. Saat kecelakaan, helmnya terlepas dari kepala hingga bagian penting itu terluka parah. Altha kian merinding melihatnya. Ia terpejam sambil membuang wajah. “Lapor polisi aja gimana?” Suara Arman, pria yang semobil dengan Altha mendekat. “Lapor polisi sama saja dengan b*nuh diri. Gue nggak mau berurusan sama mereka. Ribet.” “Lalu?” “Kita bawa ke rumah sakit saja.” “Makin runyam nanti, Bray. Lo nggak bisa mikir kalau sampai pria ini meninggoy? Kita yang kena.” Altha terdiam. Saat bersamaan, pergelangan tangannya terasa dicekal. Altha berjingkat saat melihat tangan penuh darah berada di sana. “Waktu saya tidak banyak, Anak Muda. Tolong nikahi putri saya.” Lirih suara itu terdengar. “Wah, wah! Bapak ini pasti orang g*la! Main nyuruh nikahi anaknya pula! Jangan mau, Tha. Pasti anaknya jelek.” Arman menyela. Zamroji menggeleng. “Sorry, Pak. Saya dan teman saya sudah punya istri,” lanjut Arman. “Sudah-sudah. Ayo kita bawa ke rumah sakit segera. Man, bantu gue angkat ke mobil.” Arman dan Altha bersiap mengangkat. “Dika, buka pintu mobilnya!” teriak Altha. “Siap, Tuan!” Zamroji lantas digotong menuju mobil. Jalanan itu jalanan sepi, bukan jalan raya. Tidak ada rumah di sisi kiri maupun kanan. Selama kejadian, tidak ada seorang pun yang lewat. Mereka bisa dengan leluasa membawa Zamroji ke rumah sakit. “Kalau pria tua ini meninggal, kita dalam bahaya, Tha,” bisik Arman sambil mencondongkan tubuhnya ke kursi depan di mana Altha berada. “Kita bisa memberi kesaksian palsu kalau sampai polisi turun tangan atau jika keluarganya nggak terima. Kita mengaku menemukannya sudah seperti ini dan mungkin korban tabrak lari. Jadi, inisiatif menolong. Gitu aja beres,” sahut Altha tak kalah lirih. “Tolong nikahi putri saya.” Antara sadar dan tidak, Zamroji terus bergumam. Arman merasa ngeri saat melihat samping, di mana kondisi Zamroji yang kian mengenaskan. “Ck! Orang gila ini makin melantur,” gerutu Arman. “Mana ada orang gila berpakaian satpam, b*go! Dia itu orang waras!” pekik Altha. “Dan lo mau nikahi anaknya beneran? Fix, berarti kalau lo mau, lo yang gila.” “Lo yang harus nikahi anaknya.” “Edan! Nggak! Gue sudah punya bini. Dika aja tuh!” Arman menunjuk sang sopir. “Jangan, Tuan. Istri saya sedang hamil, saya nggak mungkin menikah lagi. Tolong jangan meminta saya menikah lagi.” Dika di kursi kemudi menimpali. “Dan satu-satunya yang masih bujang itu lo. Jadi, lo yang harus menikahinya.” Arman menepuk pundak sahabatnya. Altha berdecak. “Tapi gue sudah punya tunangan. Enak saja. S*al! Dia yang salah, dia juga yang menyusahkan.” Perdebatan terus berlanjut sampai akhirnya mereka tiba di rumah sakit. Zamroni langsung ditangani. Saat Altha akan pergi, sekali lagi Zamroji mencekal lengannya. “Tolong. Kabulkan permintaan saya.” Mata Zamroji berkaca-kaca. Lantas, kaca-kaca itu pecah membentuk bulir bening membasahi pipi. “Dok, tolong jadilah saksi. Saya ingin menikahkan putri saya dengan pria ini.” Zamroji menatap dokter yang menanganinya. “Astaga, sungguh nggak tahu diri. Harusnya Bapak bersyukur saya membawa ke sini, tapi apa yang Bapak lakukan? Arman! Telepon polisi! Lebih baik gue dipenjara daripada nikah sama perempuan nggak jelas!” pekik Altha. ** Di tempat lain, wajah Mazida pias saat Bagas menggandengnya di koridor menuju kamar hotel. Berkali-kali ia menepis cekalan sang kekasih, berkali-kali pula Bagas mencekalnya kembali. “Sayang, percayalah kalau aku akan tanggung jawab. Semoga kamu langsung hamil. Setelah itu, pasti mama akan langsung merestui kita,” bisik Bagas. “Tapi, Mas. Aku nggak bisa melakukan ini. Kamu tahu sendiri, kamu ajak ciuman aja aku nggak mau. Apalagi ini.” Bagas menghentikan langkah. Ia menatap Mazida dalam. “Dua tahun kita bersama. Apa itu belum cukup untukmu percaya? Justru sekarang aku yang krisis kepercayaan. Mungkin kamu yang nggak mau aku seriusi.” “Keseriusan bukan berarti harus dibuktikan dengan unboxing sebelum halal! Kamu berniat mau merusakku?” desis Mazida tertahan. “Bukan begitu. Tapi kamu dengar sendiri kan, apa kata mamaku tadi? Aku ingin menikah sekali seumur hidup, jadi aku nggak mau jika harus menceraikan atau memadumu nanti. Untuk itulah, ini cara terbaik.” Mazida melepaskan paksa cekalan tangan Bagas di tangannya. “Cara terbaik kamu bilang? Cara baik itu bukan dengan berz*na. Aku justru mempertanyakan sikap mamamu yang malah menyuruh kita begituan. Maaf, aku nggak mau.” Mazida hendak melangkah, tetapi Bagas berhasil mencekalnya kembali. Wajahnya pria itu terlihat mendung. “Zi, kumohon. Aku nggak mau pisah sama kamu, aku ingin kita menikah. Tapi kayaknya kamu yang setengah hati sama hubungan ini.” “Aku juga serius sama kamu. Tapi aku ingin menjalani semua dengan sehat. Mas, ayo kita nikah, tapi tanpa unboxing dulu kayak gini. Dan kalau aku nggak bisa memberi mamamu cucu, oke, aku mau jika harus bercerai. Simpel, kan?” “Kita bicara di dalam kamar aja biar leluasa. Jangan di sini. Nanti pengunjung hotel lain denger. Ayo.” Bagas kembali menggandeng Mazida, lalu masuk kamar hotel. Mazida hanya menurut. Ia berjanji hanya sekadar mengobrol. Jika Bagas meminta hal aneh, ia akan menolaknya dengan tegas. Begitu tiba di kamar hotel, Bagas malah memepet Mazida ke dinding. Pria itu menatap wanitanya dengan pandangan kagum. “Kamu sangat cantik, Zi. Aku mencintaimu.” “Mas aku–“ “Aku hanya ingin menikah denganmu. Aku nggak mau pisah sama kamu.” Bagas mengelus pipi Mazida lembut. Sampai-sampai wanita terpejam. Mazida seperti tersihir dengan rayuan dan beberapa sentuhan yang diberikan Bagas. Ada rasa aneh yang tiba-tiba menyusup. Bagas kian mendekat, lalu memiringkan wajah. Lantas, ia menyatukan daging kenyal di bawah hidung miliknya dengan milik Mazida. Awalnya hanya sekilas, lalu sebuah cumbuan hangat diberikan. “I-ini tadi ciuman pertamaku,” ujar Mazida sambil memegangi bibir. Bagas tersenyum. “Sama. Itu juga ciuman pertamaku.” Simulasi awal diberikan Bagas dengan hati-hati dan lembut. Sampai-sampai Mazida terbawa suasana. Wanita itu sampai tidak sadar ketika hijabnya sudah ditanggalkan kekasihnya. “Zi, aku menginginkanmu.” Bahkan Mazida tidak mampu mempertahankan logikanya saat tangan Bagas mulai bergerilya, mengabsen tiap inci tubuhnya. Sampai kemudian, ponsel Mazida berdering sangat keras dari dalam tas. Mazida melepaskan diri, lalu mencari tasnya. Bagas meng*mpat kecil. “Mas, bentar. Ayah telepon.” Tanpa menunggu persetujuan Bagas, Mazida mengangkat panggilan suara itu. “Assalamualaikum, Yah.” “Waalaikumussalam. Saya ada di rumah sakit, ingin mengabari kalau pemilik nomor ini menjadi korban kecelakaan.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN