Kartu Nama

1155 Kata
Sebelum ke rumah sakit, Altha memutuskan untuk singgah sejenak di sebuah taman. Ia tidak turun, hanya berdiam diri di dalam mobil. Pria itu masih menimbang-nimbang keputusannya untuk menalak istri sirinya. Perkataan Arman benar. Apa pun tanggapan Mazida, jujur dari sekarang adalah keputusan terbaik. Altha tidak ingin mengulur waktu. Bisa-bisa semuanya nanti jadi runyam. Apalagi kalau sampai orang tuanya, Anggun, dan calon mertuanya sampai tahu. “Bisa-bisa gue dikubur hidup-hidup sama mereka,” gumam Altha sambil terpejam. Seumur hidup, baru kali ini Altha dihadapkan pada masalah begitu rumit. Jika menyangkut pekerjaan, selama sepuluh tahun memegang perusahaan, semua bisa diatasinya. Sesulit apa pun itu. Namun, hanya masalah wanita otaknya mendadak tumpul. Altha melihat arloji. Sudah jam sebelas malam. Ia akan ke rumah sakit sekarang. “Kalau pacar Mazida ada di sana menemani, gue juga akan sekalian jujur sama dia. Gue serahin sekalian Mazida ke pria itu. Biar kelar semuanya malam ini juga. Baru sehari, udah capek gue.” Mobil dinyalakan. Altha kemudian melesat menuju rumah sakit. Tiba di rumah sakit, Altha langsung menuju tempat biasanya. Mazida tidak ada. Hanya saja, jaketnya semalam masih tersampir pada kursi. Ada juga satu tas di samping jaket itu. Altha ingat, jaket itu tidak beralih dari sana sejak ia datang tadi sore. Altha duduk menunggu. “Mungkin Mazida sama pacarnya masih keluar sebentar.” Sementara Mazida ada di dalam ruang ICU. Wanita itu terus mengajak sang ayah bicara. “Yah, cepatlah sadar, cepat sembuh. Hatiku sakit melihat Ayah kayak gini. Jangan bikin aku khawatir. Bukankah Ayah ingin melihatku menikah? Kemarin pas Ayah kecelakaan, aku diajak Mas Bagas menemui mamanya buat minta restu.” Suara Mazida tercekat. Ia seakan-akan tidak bisa melanjutkan saat mengingat kejadian kemarin. “Ayah harus sembuh. Biar bisa jadi wali nikahku. Selangkah lagi, Yah. Tinggal nunggu Ayah sadar.” Air mata Mazida turun. Ia sungguh tidak bisa jika harus kehilangan Zamroji. Mazida mencium takzim telapak tangan Zamroji. Kepalanya diletakkan di sebelah tangan lemas tersebut. Mazida mengelus tangan itu pelan. Altha yang penasaran dengan keberadaan Mazida, berdiri. Ia mencari dengan mengintip ruang ICU yang tembus pandang dari luar tersebut. Begitu sampai di bed Zamroji, ia berhenti. Mazida ada di sana. Meskipun wanita itu memakai APD dan masker, Altha yakin itu Mazida. “Baiklah. Akan gue tunggu.” Altha kembali duduk. Ia menunggu Mazida sambil bersedekap. Cukup lama pria itu menunggu. Di dalam, Mazida dihampiri perawat yang sedang mengecek kondisi Zamroji. “Mbak, jangan tidur di sini.” Perawat itu membangunkan Mazida yang ketiduran. Kepalanya ada di bed sang ayah. “Oh, maaf-maaf.” Mazida sempat linglung sebentar. “Tolong keluar, ya. Tidak boleh tidur di sini.” Mazida mengangguk. Ia paham jika tidak buisa di samping sang ayah setiap waktu. Hanya saja, ia tetap memantau dari luar. Wanita itu pun berlalu dari sana. Begitu keluar dan sudah melepas APD, Mazida memicing saat melihat Altha duduk sambil menunduk. Mazida mendekat, melihat lebih dekat. Altha terpejam. “Apa dia tidur? Ngapain malam-malam ke sini?” Mazida memakaikan jaket pada Altha. Jaket milik pria itu sendiri. Saat merasakan ada sesuatu di tubuhnya, Altha langsung bangun. “Mas Altha malam-malam kenapa sampai sini? Tidur di rumah kan enak?” Altha mengusap wajah. Ia berdeham. “Nunggu kamu dari tadi sampai ketiduran. Sebentar, saya ke toilet dulu buat cuci muka.” Altha bangkit, Mazida ikut berdiri. “Saya juga mau ke toilet. Tadi juga ketiduran di samping ayah.” “Pantas. Saya tunggu lama sekali.” “Ngapain nunggu saya?” “Ada hal penting yang ingin saya sampaikan ke kamu. Kita cuci muka dulu. Biar lebih segar.” “Hm.” Keduanya menuju toilet, masuk bergantian. “Kamu tunggu dulu di sini. Saya belikan kopi biar kantuknya hilang. Mau makan?” tanya Altha. “Nggak. Sudah kenyang.” “Ya sudah. Saya pergi dulu” Mazida mengangguk. Sementara Altha menuju kantin, Mazida berjalan di koridor lain, mencari udara segar. Ia duduk di kursi tunggu yang ruangannya terbuka. Beberapa saat kemudian, Altha kembali dengan dua gelas plastik. Terlihat asap yang masih mengepul dari gelas itu. Pria tersebut memberikan satu untuk Mazida. “Makasih.” Altha mengangguk samar. Mereka lalu menyesap minuman hitam tersebut hati-hati. “Pacarmu pulang?” Mazida memicing. “Kok bisa tanya gitu? Maksud saya, berarti Mas Altha tahu kalau pacar saya tadi ke sini?” Sekak mat! Altha terkesan seperti pria kepo sekarang. “Ya. Tadi saya ke sini, lalu ada panggilan pekerjaan penting. Makanya nggak jadi menemui kalian dan pergi lagi. Padahal saya mau bicara sama kalian.” Altha sengaja berbohong. “Iya, dia sudah pulang. Mau bicara apa? Kayaknya penting?” Altha mengambil uang dari dompetnya. Uang yang digunakan sebagai mahar Mazida. Ia menyerahkan pada wanita itu. “Saat ayahmu masih sadar kemarin, beliau menitipkan–“ Rasanya berat jika harus jujur kalau ia sudah menikahi Mazida. Lidah Altha terasa kaku seketika. “Menitipkan apa? Uang ini?” “Bukan, menitipkan kamu. Ah, itu, maksud saya–“ Altha mendadak gagap. “Apa, sih?” “Ayahmu menitipkan kamu–“ Mazida diam, menunggu kelanjutan ucapan Altha. Namun, pria itu malah terlihat grogi. “Mas Altha punya utang sama ayah, lalu sekarang membayarnya dengan menitipkan ke saya, begitu?” “Ah, iya. Anggap saja begitu.” Altha menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Baiklah, saya terima. Nanti kalau ayah sadar, saya kasihkan.” Mazida menerima uang itu. Ia lantas membuka tas dan mengambil dompet Zamroji. Dimasukkannya uang itu ke dompet tersebut. Saat melihat dompet Zamroji yang terbuka, Altha memicing. Ia mengenali sesuatu di sana. “Zi, tunggu!” ujarnya saat Mazida akan menutup kembali dompetnya. “Apa?” “Boleh lihat isi dompet ayahmu?” Mazida mengangguk dan membukanya kembali. “Isinya nggak ada yang penting. Cuma ini KTP, surat motor, kartu kesehatan, sama kartu nama.” “Coba lihat kartu nama yang kamu maksud.” Mazida pun mengambilnya, lalu memberikan pada Altha. Altha menimang dan melihat dua kartu nama itu. Dua kartu nama itu, tertulis namanya lengkap dengan alamat dan nomor telepon kantor. Ia tahu betul itu kartu nama miliknya meskipun sudah terlihat usang. Setiap tahun, Altha mencetak kartu nama baru. Kartu nama lama akan dimusnahkan meskipun masih ada sisa. Lalu kenapa sampai ada kartu namanya yang berbeda tahun cetak di dompet Zamroji? Apa mereka pernah bertemu sebelumnya? Sebab Altha tidak sembarangan memberikan kartu namanya untuk orang asing terlebih orang biasa karena tidak ingin disalahgunakan. Ia biasa memberikan pada rekan bisnis. “Mas, bentar. Tadi Mas Altha bilang punya utang ke ayah dan sekarang membayarnya. Apa sebelumnya Mas sudah kenal sama ayah?” Altha masih diam. Ia tadi hanya mengiyakan asumsi Mazida padahal sebenarnya tidak. Ia justru masih penasaran dengan kartu nama itu. “Enggak gitu. Ayahmu titip, buat dikasihkan ke kamu. Gitu tadi maksud saya. Cuma lidahnya terpeleset,” jawab Altha pada akhirnya. “Zi, apa ayahmu pernah cerita soal kartu nama ini?” Mazida memicing, menatap Altha sengit. “Kenapa memangnya?” “Tolong jawab dulu. Kamu tahu kenapa sampai kartu nama ini ada di ayahmu?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN