Menalak Dia

1187 Kata
Mazida nge-lag. Ia pun berusaha melepaskan tangan orang itu dari lengannya. “Aku antar pulang.” Bagas tersenyum. “Lalu ayahmu gimana?” “Ada Rini. Aku minta tolong dia buat jaga ayah.” “Ya udah, ayo kuantar.” Mazida mengangguk. “Tadi aku sengaja nggak bareng yang lain. Nih.” Bagas menunjukkan sesuatu dalam kantong plastik. Sepertinya berisi makanan. “Mampir dulu beli makanan kesukaanmu.” “Makasih.” “Ya udah ayo. Pulang ambil pakaian?” “Hm. Dari kemarin belum ganti. Lihat.” Mazida merentangkan tangan. “Udah bauk.” Bagas tergelak. Ia lalu menggandeng kekasihnya dengan tangan kanan. Sementara tangan kiri masih menenteng makanan. Tiba di parkiran, keduanya masuk mobil sambil terus melempar senyum seraya bercakap-cakap ringan. Tanpa mereka sadari, dari dalam mobil lain ada sepasang mata yang mengamati. Setelah mobil yang ditumpangi Bagas dan Mazida berlalu, pemilik mata itu mengumpat kecil. “Sial4n! Dibela-belain ke sini buat ngantar makanan habis capek kerja di kantor, khawatir kali aja kelaparan. Eh, ternyata malah asyik pacaran.” Altha memukul pelan setir, kemudian menatap makanan yang duduk manis di kursi sampingnya. “Ada apa dengan gue?” gumamnya kemudian sambil terpejam. Altha tidak bisa mengabaikan Mazida. Bagaimanapun juga, ia sudah menyebut asma Allah untuk menghalalkan wanita itu. Ada tanggung jawab sangat besar di balik kalimat kabul tersebut dan ia memikul beban besar. Lalu Anggun. Wanita itu sudah lebih dulu hadir di hidupnya. Meskipun lewat jalur perjodohan, hatinya sudah nyaman dengan dokter yang sebentar lagi menyandang gelar spesialis kandungan itu. Altha tidak bisa mengabaikan Anggun begitu saja demi Mazida. Kemudian Mazida sebenarnya sudah punya kekasih. Bisa saja Altha mengakhiri pernikahan ajaib itu sebab sudah pasti Mazida lebih memilih kekasihnya. Semua pasti beres. Namun sekali lagi. Altha tidak bisa mengabaikan begitu saja wasiat Zamroji. Selagi Zamroji belum siuman, Altha yang bertanggung jawab pada Mazida. “Kenapa harus gue yang terjebak di situasi rumit ini?” Harapan Altha satu-satunya adalah kesembuhan Zamroji. Pria paruh baya itu kunci pembuka dari semua beban beratnya. Setelah merenung lama di dalam mobil, Altha akhirnya turun. Ia menuju perawat di ruang ICU. Pria itu melewati Rini. Namun, dua-duanya tidak saling kenal. “Permisi. Saya mau menanyakan keadaan pasien atas nama Zamroji,” ujar Altha begitu tiba. Satu perawat mempersilakan duduk. Perawat itu lantas melihat laporan medis Zamroji pada layar monitor. “Tadi pagi kami sudah melakukan operasi untuk pasien. Tapi sampai saat ini belum sadar dan tetap kami pantau perkembangannya.” “Artinya?” “Pasien dalam keadaan koma. Ini sering terjadi. Tunggu maksimal 5-7 hari ke depan untuk melihat hasilnya.” “Kalau lebih dari itu belum sadar juga?” “Kemungkinan akan koma dalam waktu lama.” “Apa tidak ada tindakan lain untuk membangunkannya?” Perawat itu menggeleng. “Sebelum operasi, kami sudah menjelaskan semuanya pada keluarga pasien tentang dampak dan efek samping setelah operasi besar ini. Dan keluarga pun menyetujuinya. Tim medis pun sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menolong pasien. Jadi, mohon maaf. Ini di luar kuasa kami kalau sampai kejadian seperti ini terjadi.” Altha mengambil napas panjang, lalu mengeluarkan pelan. Keputusan yang Mazida ambil, pria itu ikut andil. Secara tidak langsung ia ikut bertanggung jawab dengan kondisi Zamroji kini. “Baiklah kalau begitu. Sekali lagi kalau ada penanganan yang tidak di-cover Askes, masukkan dalam tagihan saya.” “Baik, Kak.” Dari ruang perawat, Altha kembali ke parkiran. Beruntung rumah sakit ini bukan rumah sakit di mana Angggun menjalani residen. Jika sampai tunangannya itu tahu ia sering ke sini, pasti curiga. Pria itu masuk mobil, kemudian segera berlalu. Sementara di rumahnya, Mazida sempat membersihkan diri sebelum menata barang yang akan dibawa. Bagas menunggu di ruang tamu. Rumah ini bukan milik Mazida. Ia dan sang ayah masih mengontrak di sini. Rumah pribadinya yang di desa malah dikontrakkan pada orang lain. Kemeja hitam, kulot, dan pasmina menjadi outfit Mazida sore ini. Ia sengaja memakai baju yang simpel agar tidak ribet ketika bersuci dan salat. “Cantiknya pacarku,” puji Bagas saat Mazida keluar. Wanita itu hanya mencebik. Bagas tertawa. “Suer!” Bagas mendekat, memepet Mazida pada dinding. “Mau ngapain?” Mazida mulai waswas. Bagas mendekatkan wajah. Saat bibirnya akan mendarat, tas Mazida menjadi penghalang. Pria tersebut berdecak kesal. “Udah sering aku bilang, aku nggak suka begituan. Tolong ngerti.” Bagas berusaha tersenyum meskipun sebenarnya kecewa. “Oke. Ya udah, ayo kembali ke rumah sakit.” Selama dekat sebagai pasangan kekasih, Mazida sangat menjaga diri. Bisa dihitung dengan jari mereka berciuman. Seperti saat hampir khilaf kemarin. Itu yang pertama dan paling parah karena pengaruh hawa n4fsu dan bujukan manis Bagas. “Oh ya, gimana kalau kita sekalian makan di sini saja,” ajak Bagas. “Nanti Rini marah kalau kita lama, Mas.” “Telepon dia, biar aku yang atasi.” “Tapi–“ “Udah, lakukan.” Mazida mengangguk, lalu melakukan titah sang kekasih. Saat panggilan dijawab, ponsel diberikan ke Bagas setelah pengeras suara dinyalakan. “Rin, ini gue Bagas. Sorry balik agak telat, ya. Masih makan dulu soalnya. Lagian sudah Magrib, pamali berkendara saat senja.” “Halah alesan! Bilang aja mau berduaan!” ujar suara di seberang. “Ayolah, bentar doang.” “Wani piro?” “Dasar matre. Gini aja. Kalau sampai jam tujuh kami belum ke sana, seratus ribu.” “Oke, deal!” Mazida hanya menggeleng mendengar interaksi mereka. Mazida dan Bagas memang rekan sekantor. Bagas seorang arsitek, sedangkan Mazida design interior. Mereka bekerja di perusahaan properti besar dan terkenal di nusantara. Bagas mengambil makanannya di mobil. Mereka lalu menyantapnya bersama. ** “Menurut lo, gue harus gimana?” tanya Altha pada Arman. Dua manusia itu bisa dikatakan seperti amplop dan perekatnya. Atau hidung dengan ingusnya. Tidak bisa dipisahkan. “Mending cepet lo jujur sama siapa nama bini lo?” “Mazida.” “Wih, langsung hafal namanya!” Arman memukul pundak Altha sambil tergelak. “Bukan waktunya bercanda. Gue butuh solusi, Man.” “Ya iya itu tadi solusinya. Lo jujur aja sama dia kalau kalian sudah dinikahkan siri secara paksa. Gue yakin dia bakalan tantrum dan nolak lo saat lo jujur. Pasti dia mau-mau aja lo talak. Atau bahkan minta lo nalak dia. Secara dia pun sudah punya pacar.” “Apa pernikahan sesimpel ini? Tiba-tiba menikah, lalu pisah? Semudah ini?” “Bray, pernikahan dadakan lo ini nggak masuk akal. Entah sah atau nggak gue aja ragu. Sementara pernikahan betul-betul itu harus penuh perhitungan dan pemikiran matang, bukan kayak gini. Jadi, bukankah lebih baik diakhiri?” “Gitu?” “Ya. Terlepas pria tua itu selamat atau enggak, lo pokoknya harus jujur secepatnya. Biar sama-sama mudah nyari jalan keluar. Gue yakin Mazida itu nggak akan mau sama pernikahan ini.” “Oke, gue ikuti saran lo. Sumpah kepala gue serasa mau pecah. Gue merasa jadi pria b*engsek yang memiliki dua wanita untuk saat ini.” “Itu bukan b******k, tapi anggap aja lo lagi beruntung.” “Beruntung pala lo peyang!” Altha bangkit, lalu mengambil kunci mobil dari atas meja. “Mau ke mana lo?” “Ke rumah sakit. Gue ikuti saran lo. Gue mau jujur dan ngasih maharnya ke dia. Lalu menalak dia.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN