“Saya kurang tahu, sih. Cuma ayah pernah bilang dapat kartu ini karena dikasih setelah membantu seseorang,” jawab Mazida.
“Ayahmu satpam di mana?”
“Di pabrik.”
“Sebelum di pabrik?”
“Di sebuah perumahan elite. Kenapa sih kepo? Padahal cuma kartu nama doang. Sini coba kulihat.” Mazida tidak pernah melihat dengan detail kartu nama itu karena memang menganggapnya tidak penting. Lalu sekarang ia penasaran karena Altha bersikap mencurigakan.
Altha malah menjauhkannya saat Mazida ingin mengambilnya.
“Itu punya ayah saya loh. Siniin. Sus banget dari tadi Mas Altha ini.”
“Perumahan elite mana?” Altha kembali mencecar.
“Penting banget emang?”
“Ya, penting.”
“Pondok Indah.”
Altha mematung sejenak setelah Mazida mengucapkan dua kata tersebut. Saat lengah itulah, Mazida mengambil paksa kartu nama yang sudah dipegang Altha. Satu yang berhasil didapatkannya.
“Altha Danurendra Haq. PT. CEO Altha Barkah–“ Mazida mengeja kartu nama itu. Belum sempat dibaca semua, Altha kembali merebutnya.
“Haish. Sini balikin!”
Altha menggeleng.
“Tunggu-tunggu! Altha. Jangan-jangan itu kartu nama Mas? Mas Altha seorang CEO?”
“Bukan. Hanya nama saja yang sama. Orangnya beda. Saya bukan CEO, hanya seorang sopir.” Pria itu sengaja berbohong untuk menutupi jati dirinya.
“Lalu kenapa dari tadi kepo terus tentang kartu nama ini?”
“Saya kenal sama pemilik kartu nama ini. Dia bukan orang sembarangan. Makanya saya kepo kenapa sampai ada di ayahmu. Boleh izin memfotonya? Nanti saya kembalikan ke kamu.”
Mazida mengangguk. “Tapi saya mohon jangan disalahgunakan. Soalnya ini barang milik pribadi ayah. Seberapa penting, hanya ayah yang tahu.”
“Ya, kamu tenang saja.”
Altha mengambil ponsel dari saku, lantas memfotonya. Ia akan mencari tahu tahun kapan kartu nama itu dicetak. Ia yakin pernah bertemu dan berinteraksi dengan Zamroji sebelum kecelakaan ini.
“Nih, makasih.” Altha mengembalikan setelah beberapa foto didapat. “Oh, ya, boleh minta nomor telepon kamu?”
“Buat apa?” Mazida memasukkan kembali kartu nama itu ke dompet sang ayah.
“Ya, mungkin untuk saling bertukar kabar tentang kesehatan ayahmu.”
Mazida menatap Altha heran. “Mas, sumpah Mas ini sangat mencurigakan. Setelah menolong ayah, harusnya sudah, nggak harus datang ke sini lagi. Tapi mohon maaf sebelumnya, ini kesannya kenapa Mas Altha sangat peduli sama ayah? Ada apa? Apa ada sesuatu yang kalian sembunyikan dari saya? Misalnya, sebenarnya Mas yang udah nabrak ayah.”
Altha tertawa garing. Kepeduliannya ternyata malah membuat Mazida curiga. Ini tidak bisa dibiarkan.
“Pikiranmu terlalu buruk tentang saya. Saya hanya khawatir sama kalian. Karena saat masih sadar, Pak Zam bilang ke saya kalau kalian hanya hidup berdua, kalian sudah nggak ada saudara. Beliau sangat mengkhawatirkan kamu. Untuk itulah, saya merasa–“
“Kasihan?” potong Mazida.
Altha menatap istri sirinya itu sendu. Jawabannya tadi memang separuh jujur, separuh bohong. Namun, ia benar-benar tulus.
“Bukan kasihan, tapi seperti bentuk panggilan tanggung jawab. Jangan berpikir terlalu jauh dulu. Semua ini saya lakukan karena kita sesama manusia.”
Mazida menunduk. “Tapi sebenernya nggak perlu melakukan semua ini. Sejak dulu, saya dan ayah sudah terbiasa hidup tanpa saudara seperti ini. Ayah sudah mendidik saya menjadi manusia kuat, pekerja keras, dan mandiri. Jadi, jangan merasa terbebani dengan apa yang sudah ayah katakan ke Mas Altha. Orang kesakitan biasanya suka melantur. Mulai sekarang, saya bebaskan Mas dari apa pun yang ayah saya katakan. Jangan dipikirkan, jangan dibuat beban.”
Wanita itu mengangkat wajah, menatap Altha seraya tersenyum. Sebuah senyum lebar yang entah mengapa membuat hati Altha tidak baik-baik saja.
“Oke, baiklah. Berarti ini semacam usiran halus agar saya tidak datang ke sini lagi?”
Mazida tertawa. “Bisa jadi. Saya tidak melarang Mas datang, tapi kalau kedatangan Mas ke sini karena paksaan, lebih baik jangan datang. Ayah saya sudah ditolong, itu sudah membuat saya berterima kasih dan berutang budi.”
Altha mengangguk. Hatinya sedikit tidak terima jika ia diusir seperti ini. Apalagi Mazida berkata sudah membebaskannya dari apa yang Zamroji katakan. Bukankah itu berarti ia terbebas dengan pernikahan siri itu?
Tidak. Tidak semudah itu mengakhiri simpul pernikahan.
“Oh ya, katanya Mas Altha mau bicara hal penting. Apa?”
Altha menggeleng. Ia belum bisa bicara jujur sekarang. Ia harus menyelidiki dulu tentang asal usul kartu nama sebelum menalak Mazida.
Dua kartu nama miliknya. Pasti ada sesuatu di masa lalu sampai-sampai dua yang terkumpul.
“Dan apakah saya tidak bisa menyimpan nomormu?”
Mazida tertawa. “Nggak perlu. Apa yang Mas lakukan untuk ayah, untuk saya, sudah lebih dari cukup. Kalau kita saling menyimpan nomor, saya takut khilaf dan merepotkan untuk minta tolong Mas Altha lagi nantinya.”
Altha tersenyum sambil menggeleng. Baru kali ini ia ditolak. Padahal biasanya para wanitalah yang berlomba-lomba meminta nomornya.
Secara tidak langsung, Altha juga membandingkan sikap Mazida dengan Anggun.
Anggun yang biasa hidup mewah, sikapnya cenderung manja. Sementara Mazida yang dari keluarga biasa, tumbuh menjadi pribadi mandiri.
Ada ikatan halal antara Altha dan Mazida yang belum wanita tersebut ketahui dan belum diselesaikan. Statusnya masih mengambang.
Untuk sekarang, Altha hanya bisa pasrah dengan penolakan Mazida agar kesannya tidak terlihat terlalu mengejar. Pria yang dagunya terbelah itu harus sabar dan bergerak perlahan-lahan.
Lagi pula Mazida sudah punya pacar. Altha pun sama. Namun, Altha akan berusaha dengan cara lain untuk bisa bertemu dan berkata jujur pada Mazida. Suatu hari nanti.
**
Esok harinya di kantor, Altha meminta laporan pembuatan design kartu nama dari tahun ke tahun pada sekretarisnya. Ia lalu mencocokkannya dengan kartu yang sudah difoto. Kartu pertama dicetak lima tahun yang lalu. Lalu kartu satunya keluaran dua tahun yang lalu.
“Satpam Pondok Indah. Di sana tempat tinggal opa. Berarti ada hubungannya dengan opa.” Altha bergumam sambil memijat pangkal hidung.
Suara pintu diketuk. Lalu tidak lama kemudian dibuka.
“Bos, pengumuman pemenang tender proyek pembuatan Stadion baru di Kediri akan diumumkan besok. Saya yakin perusahaan kita yang gol.” Arman mendekat.
“Ini ada lagi rencana proyek pembuatan jembatan baru di atas Sungai Brantas. Bagaimana? Apa kita harus bersaing lagi untuk mendapatkan proyek itu?” lanjutnya. “Kalau iya, nanti biar saya diskusi bagian arsitek agar mulai merancangnya.”
Altha masih diam.
“Bos, denger, kan, saya ngomong!”
Altha berdecak. “Kalau di kantor yang sopan dikit. Saya bos kamu.”
“Iya-iya maaf. Habis dari tiba tadi ditekuk terus wajahnya. Ada apa? Yang semalam lancar, kan?”
“Apanya?”
“Katanya mau menalak istri siri itu?”
“Gagal.”
“Lah! Why?”
“Ada rahasia dan ada hal mencurigakan dari Pak Zamroji.”
“Apa?”
Altha pun menceritakan semuanya.
“Man, lo ingat nggak kejadian tiga tahun lalu? Tentang Pondok Indah di mana opa gue tinggal, kartu nama gue, satpam. Gue sudah mencoba mengingat-ingat sejak semalem. Tapi tetap nggak inget.”
Arman ikut terdiam cukup lama. Lalu matanya berbinar.
“Almarhum kakek lo yang pikun pernah hilang. Lo ingat nggak?”
“Ya. Lalu?”
“Lalu ditemukan di bawah jembatan oleh satpam perumahan. Dia menghubungi om lo, tapi nggak dijawab. Lalu menghubungi nomor lo yang didapat dari kartu nama yang dibawa kakek lo.”
Altha menatap Arman. “Bisa jadi satpam itu Pak Zamroji?”
“Mungkin.”
“Ya, sekarang gue inget. Dulu gue samperin opa, khawatir banget. Saat gue nyari satpam itu buat berterima kasih besoknya, ternyata sudah nggak kerja lagi. Astaga! Gue paham sekarang.”