Pulang

1041 Kata
“Anggun! Sejak kapan kamu datang?” Altha mendekat. “Sejak tadi. Abang, sih. Sok sibuk. Sampai-sampai bales chat aku aja nggak sempet. Jangankan dibales, dibaca juga enggak.” Anggun berdiri. Ia merentangkan tangan, lalu memeluk tunangannya. “Kangen.” Altha terpejam. Saat bertemu, Anggun selalu melakukan ini. Biasanya, ia akan merasa santai. Namun, entah mengapa hari ini ia merasa agak kikuk. “Maaf, nggak sempat lihat ponsel sejak semalem.” Altha mengurai tubuh sang tunangan darinya. “Aku bawa makanan. Ayo kita makan bareng.” Anggun menggandeng lengan Altha menuju sofa. “Kebetulan, sejak tadi pagi aku belum makan.” Altha mencoba tersenyum. “Haish! Kebiasaan Abang satu ini. Makanya jangan tinggal di apartemen, Sayang. Udah berkali-kali aku sama orang tuamu nyuruh tinggal di rumah, tapi kamu ini keras kepala. Atau nyewa ART aja?” “Nggak perlu.” Altha tinggal di apartemen semata-mata ingin lebih privasi. Malah disarankan menyewa pembantu. “Nggak usah nyewa ART juga sih. Nanti kamu kepincut.” Altha hanya tersenyum samar. “Kamu nggak dinas hari ini?” “Hari ini nggak ada jadwal di rumah sakit. Makanya bisa ke sini.” “Oh.” “Aku kadang ngerasa capek ... banget. Hampir sepuluh tahun yang dipegang pasien. Rasanya pengen cepet-cepet nikah.” Altha menggenggam telapak tangan wanita yang sudah setahun ini menjadi tunangannya. “Sabar. Residen tinggal setahun lagi, kan?” Anggun mengangguk. “Papa tuh nyebelin. Baru boleh nikah kalo udah jadi dokter spesialis. Padahal kan, ambil spesialis sambil nikah sah-sah aja.” “Sangat beralasan papamu melakukan itu. Biar kamu fokus sama pendidikan dulu. Coba bayangkan kalau ambil spesialis saat sudah nikah. Ngurus anak, ngurus suami. Pasti repot.” Anggun menyandarkan kepala di lengan Altha. “Tapi Abang bakal sabar nunggu aku, kan? Setahun lagi, kok. Kalau dijalani, pasti cepet berlalu.” Bisa saja Altha menjawab ‘iya’. Namun, entah mengapa mulutnya terasa kaku. Ia hanya mengelus rambut tunangannya sayang. Altha dan Anggun awalnya dijodohkan. Kedua orang tua mereka bersahabat. Awalnya dua manusia itu menolak. Namun, saat sudah bertemu satu sama lain, mereka akhirnya tertarik dan menerima perjodohan tersebut. Altha yang ramah, disandingkan dengan Anggun yang centil. Cocok. “Ayo makan. Aku sudah kelaparan.” Altha mengurai dirinya dari Anggun. Anggun mengangguk, lalu mengambil sekotak makanan. Satunya diberikan pada Altha. Ia membuka mulut. Altha yang paham, menyuapi dengan makanan miliknya. Saat bersamaan, pintu ruangan Altha diketuk. “Masuk!” Pintu pun terbuka. Ada Arman di sana. Saat itulah, Anggun ganti menyuapi Altha. “Eh, ada Dokter Cantik,” sapa Arman. “Maaf mengganggu.” “Nggak, kok. Silakan masuk.” “Saya mau menyerahkan berkas sama Bos. Bos, saya taruh meja. Silakan dicek dulu sebelum ditandatangani.” Altha mengangguk. Arman langsung keluar lagi setelah menjalankan tugasnya. Di tengah pintu, ia malah menyanyi yang liriknya dibuat-buat. “Abang biru lampune disko. Awak lemu dek, mikir bojo loro.” Sontak, mata Altha melotot ke arah sahabatnya itu. Ia tahu itu sebuah sindiran untuknya. Nafsu makan Altha langsung menguar padahal sebenarnya ia kelaparan. Ucapan Arman sangat memengaruhinya. Secara tidak langsung, ia merasa telah berselingkuh. Pria itu sangat berharap Zamroji selamat agar ia tidak bertanggung jawab lagi pada Mazida. ** Operasi Zamroji berlangsung lama. Selama menunggu, Mazida terus berzikir dan berdoa agar semua diberi kelancaran. Ia berharap operasinya berjalan lancar dan ayahnya selamat. Ia belum siap jika harus kehilangan keluarga satu-satunya tersebut. Setelah beberapa jam dioperasi, Zamroji diletakkan di ruang recovery. Setelahnya, kembali masuk ruang ICU. Pria itu belum sadar. Mazida kadang menemani sang ayah, kadang menunggu di luar. Mazida ingin pulang untuk berganti pakaian, tetapi benar-benar belum bisa sebelum ayahnya dipastikan dokter dalam kondisi stabil. Jam empat sore, rekan-rekan kantor Mazida datang. Bertepatan saat wanita itu baru saja keluar dari ruangan sang ayah. “Zi ....” Rini mendekat, memeluk Mazida erat. “Ikut prihatin, ya.” “Yang sabar, Zi. Semoga ayahmu segera pulih,” ujar yang lain. Mazida mengangguk. Teman-teman yang lain ikut mendekat, menyalaminya. Saat melihat Zamroji, mereka hanya bisa mengintip dari luar. Ada juga yang penasaran, masuk satu per satu bergantian memakai APD. “Mas Bagas nggak ikut?” bisik Mazida pada Rini. “Entahlah. Tadi minta kami duluan. Ya udah.” “Kronologinya gimana, sih, Zi?” tanya rekan yang lain. Rekan Mazida ada yang duduk di kursi, ada yang jongkok. “Kronologinya nggak tahu pasti. Pas gue dapat telepon, ayah sudah ada di sini. Beliau masih sadar. Kata yang nolong, ayah korban tabrak lari. Tapi kata ayah jatuh sendiri. Kecelakaan tunggal.” “Udah lapor polisi?” Mazida menggeleng. “Nggak perlulah. Ayah juga nolak. Bukan di jalan raya jatuhnya. Lagian, ayah sudah ditangani. Itu udah cukup. Nggak kebayang kalo nggak ada yang nolong, entah apa yang terjadi sama ayah.” Mereka bercakap-cakap ringan. Tidak lama, hanya sebentar. Mereka lalu mengundurkan diri setelah dirasa cukup. “Kami pamit dulu. Yang sabar, ya, Zi. Atasan hanya ngasih izin dua hari. Semoga ayahmu segera pulih sebelum kamu kembali kerja.” “Iya, makasih.” “Ini ada beberapa dari anak-anak.” Rekan senior menyelipkan amplop ke telapak tangannya. “Nggak usah, beneran nggak usah. Kalian datang ke sini aja udah sangat membuat gue seneng. Gue merasa kalian peduli sama gue. Bukan gue sombong dengan menolak rezeki, tapi beneran nggak usah.” “Terima aja, Zi.” “Tapi–“ “Tolong hargai kepedulian kami. Nggak banyak, kok. Nggak bikin kami kere, nggak bikin lo kaya.” Mereka tergelak. “Gue jadi merepotkan.” “Nggak. Pakai buat keperluan.” “Makasih kalau begitu.” “Ya udah, kami pamit.” Mazida mengangguk. “Sekali lagi makasih. Hati-hati di jalan.” Mereka lalu pergi, tersisa Rini. “Rin, bisa minta tolong?” “Apa?” “Tolong jagain ayah. Gue mau pulang bentar ambil baju ganti sama baju ayah. Dari kemarin belum ganti baju gue.” “Oke-oke. Kamu pulanglah dulu. Biar Om Zam gue yang jaga.” “Makasih. Titip bentar. Bentar kok.” Mazida cepat-cepat berlari setelah mencangklong tasnya. Saat tiba di lobi yang menikung, ia menabrak seseorang yang berjalan berlawanan arah. “Hati-hati kalau jalan.” Kalau saja orang yang ditabraknya tidak memegangi lengannya dari belakang, tubuh Mazida akan terjun bebas ke lantai. “Maaf-maaf.” “Kamu mau ke mana?” tanya penolong tersebut. “Pulang.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN