Jangan Menangis

1200 Kata
“Karena kamu istri saya. Saya tidak mungkin membiarkan istri saya sendirian.” Altha ingin menjawab demikian, tetapi sadar itu tidak mungkin. Bisa-bisa Mazida tantrum. Altha duduk di sebelah Mazida setelah wanita itu menerima botol air mineral yang masih tersegel tutupnya. “Kenapa?” ulang Mazida. “Saya masih menunggu jemputan. Selagi menunggu, saya di sini dulu menemani kamu,” jawab Altha. Mazida mengangguk, lalu membuka tutup botol dan menenggak isinya. Rasanya lebih segar setelah minum. “Oh, ya, kita tadi belum berkenalan secara resmi. Saya Altha.” Pria itu mengulurkan tangan. Mazida membalas uluran tangn itu. “Saya Mazida. Biasa dipanggil Zi.” Ada sesuatu yang aneh, menyusup perlahan di hati Altha saat bersalaman dengan tangan halus itu. Bukan salaman pertamanya dengan seorang wanita, tetapi salaman pertama pada wanita bergelar istri siri. Pria itu sedikit grogi. Mazida mengurainya lebih dulu. Ia tersenyum. “Terima kasih untuk minumnya.” Meskipun terlihat sepele, itu dianggap sesuatu yang besar untuk Mazida. Bahkan Bagas pun tidak menawarinya minum sejak tadi. “Pria yang tadi itu, pacar kamu?” tanya Altha. Mazida mengangguk lemah. Dua sisi hati Altha bersorak hal berbeda. Satu sisi merasa bahagia karena sepertinya pernikahan dadakannya tidak mungkin bertahan lama karena Mazida pasti menolaknya sebab sudah punya kekasih. Namun, sisi lainnya justru merasa sedih. Sedih entah karena apa. Suatu perasaan tidak rela menjalar di hatinya. “Maaf karena tadi langsung membawa ayahmu ke sini tanpa mengabari polisi. Saya berpikir mungkin nyawanya masih bisa diselamatkan jika cepat-cepat mendapat pertolongan medis. Karena biasanya nunggu polisi lama.” Altha memulai obrolan serius. “Iya, nggak apa-apa. Saya malah terima kasih. Boleh tahu kronologi kejadiannya? Maksud saya, apa Mas tahu sendiri saat ayah saya jatuh?” “Saya tidak tahu. Saya hanya berasumsi kalau ayahmu menjadi korban tabrak lari karena saat saya lewat, ayahmu sudah terkapar. Jalanan sana memang sepi karena jalan arah kuburan. Untuk itulah saya berinisiatif menolong karena kalau dibiarkan, belum tentu ada orang lain yang lewat sana. Ternyata ayahmu jatuh sendiri katanya tadi.” “Sekali lagi terima kasih. Secara tidak langsung, Mas menolong dua manusia sekaligus.” Mazida menatap Altha tulus. Maksudnya, Altha dinilai telah menolong nyawa Zamroji dan menolongnya dari perkara buruk. “Maksudnya dua manusia sekaligus?” Altha tidak paham. Mazida tersenyum, tetapi air matanya kembali menitik. “Ah, bukan apa-apa. Pokoknya saya berhutang budi sama Mas. Mas sebenarnya bisa saja langsung pulang saat saya sudah datang, tapi malah belum pulang juga sampai sekarang. Saya terharu.” Mazida menghapus kasar air matanya, lalu kembali meneguk air. Altha hanya menatap bingung pada wanita di hadapannya. Saat itu ia juga sadar, dilihat dari jauh maupun dekat, Mazida sangatlah cantik. Ponsel Altha berbunyi. Ketika dilihat, Anggun kembali mengirim pesan. Diabaikannya pesan itu. “Itu mungkin yang jemput udah datang,” tutur Mazida. “Bukan. Pacarmu nanti kembali ke sini untuk menemani kamu, kan?” Ah, Altha kembali berakting seolah-olah tidak tahu apa-apa. Mazida menggeleng. “Mamanya mendadak sakit. Jadi, dia harus pulang.” “Berarti kamu sendirian di sini?” “Ya. Besok pagi katanya ayah akan di-CT-Scan. Jadi, saya nggak mungkin pulang.” “Saya temani.” Mazida spontan kembali menatap Altha. “Nggak usah, Mas. Saya bisa sendiri. Saya sudah terlalu banyak merepotkan. Sudah cukup bantuannya, saya jadi nggak enak.” “Nggak apa-apa. Saya sudah biasa begadang.” “Beneran nggak usah. Masnya bisa pulang. Sudah malam banget ini.” Altha bangkit. Bukannya pergi, ia malah duduk di kursi tunggu di seberang Mazida. “Saya temani dari sini. Tidurlah, sudah malam. Atau mau dibelikan makan?” Mazida tergelak. “Mas, jangan terlalu peduli sama saya. Nanti saya baper.” Altha ikut tertawa. Entah mengapa, ia merasa Mazida tipe wanita yang enak diajak bicara dan sepertinya suka bercanda. “Saya jadi merasa berdosa, membuat baper kekasih orang.” Mazida tersenyum. “Bercanda, Zi. Biar kamu nggak terlalu stres. Memikirkan kondisi ayahmu harus, tapi waras juga wajib.” “Iya.” “Oh iya. Ini ponsel ayahmu. Terimalah.” Mazida menerimanya. “Makasih.” Keduanya bercakap-cakap ringan, membahas hal tidak bermutu padahal keduanya baru kenal. Sampai akhirnya Mazida tertidur. Ia tidur di kursi tunggu karena tidak diperbolehkan tidur di ruang ICU. Altha masih terjaga. Ia melepas jaketnya, lalu digunakan untuk menyelimuti Mazida. Pria itu bisa leluasa menatap istri yang statusnya masih rahasia tersebut. Siapa pun yang melihat Mazida, kesan pertamanya adalah ... sangat cantik. Bohong jika ia tidak tertarik. Altha kembali duduk di kursi yang berseberangan dengan Mazida, lalu bergumam. “Apa aku pria brengs*k? Menikahi wanita lain padahal sudah bertunangan. Allah, aku harus bagaimana?” ** Suara azan Subuh menyadarkan Mazida dari tidur. Tubuhnya terasa sakit semua sebab tidur dalam posisi tidak nyaman. Wanita itu menguap, lalu meraba tubuhnya yang terasa ada sesuatu. Sebuah jaket semi jas berwarna hitam. Aroma parfum yang manly dan lembut menusuk hidungnya. “Punya siapa ini?” Mazida duduk. Ia sudah tidak mendapati Altha ada di kursi seberangnya. “Ah, iya. Jaket ini milik Mas Altha.” Mazida memijat tengkuknya yang terasa pegal. Karena dingin, Mazida memakai jaket yang kebesaran di tubuhnya tersebut. Sebelum membersihkan diri, ia mengintip ruang ICU. Zamroji tetap belum sadar. Ia lantas menuju masjid rumah sakit untuk membersihkan diri dan salat. Usai melakukan ibadah wajib, Mazida kembali ke depan ruangan di mana sang ayah dirawat. Ia sebenarnya ingin pulang untuk berganti pakaian atau mengambil barang Zamroji, tetapi masih terlalu pagi. Ia tidak ingin meninggalkan sang ayah. Selagi menunggu terang, Mazida menggulir ponsel. Tidak ada pesan atau panggilan dari Bagas. Ia kecewa. “Apa mamanya mengkhawatirkan sampai-sampai dia nggak sempat mengabari?” gumam Mazida. Wanita itu mengeratkan tangan ke tubuh. Jaket Altha sangat membantunya di saat situasi sangat dingin seperti ini. Ia kembali merebahkan diri di kursi. Setelah hari terang, Mazida menuju kantin untuk sarapan. Setelahnya, ia menemani sang ayah CT-Scan. “Anggota keluarga Bapak Zamroji,” panggil perawat beberapa saat setelahnya. Mazida berdiri. “Ya, saya.” “Mari ikut saya.” Mazida mengangguk, mengikuti perawat ke ruang dokter. “Begini. Sebelumnya saya akan menjelaskan. Dari hasil CT Scan, tulang tengkorak retak dan ada penggumpalan darah di kepala Pak Zamroji. Juga ada beberapa bagian tubuh yang patah tulang. Nanti, akan akan ada operasi besar di bagian kepala dan untuk pemasangan pen. Mbak harus menandatangani persetujuan operasi untuk pasien.” “Harus dioperasi, Dok?” “Iya.” “Lalu apakah ada risiko besar yang terjadi jika tidak dioperasi dan jika operasi dilakukan?” “Karena ini operasi besar, dapat menimbulkan komplikasi seperti sulit berbicara, koma, lupa ingatan, gangguan keseimbangan tubuh, atau bahkan lumpuh, yang dapat berlangsung sementara atau permanen.” Dokter itu menjelaskan dengan sabar semua risikonya. Mazida menunduk dalam. “Lalu jika tidak dioperasi?” “Kondisi pasien akan lebih berbahaya lagi. Gumpalan dan pendarahan di otak akan menyebabkan daerah sekitar otak mati atau membengkak, melumpuhkan syaraf dan ... bisa meninggal.” Tubuh Mazida lemas seketika. “Saya bingung harus bagaimana, Dok.” “Silakan dibawa dulu berkasnya. Pikirkan baik-baik. Saya beri waktu sepuluh menit untuk berpikir dalam mengambil keputusan besar ini.” Mazida keluar membawa berkasnya. Di luar, ia terduduk dan menangis. Ia merasa sendiri, tidak ada keluarga lain yang bisa diajak diskusi. “Jangan menangis. Ayahmu butuh anak yang kuat. Katakan, perlu bantuan apa?” Suara bariton mengejutkannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN