Gue Cemburu?

1232 Kata
Nasrudin Haq adalah kakek Altha dari pihak mamanya. Pria itu pendiri utama PT. Naskita Karya, induk perusahaan properti dan konstruksi terbesar dalam negeri. Kesuksesan perusahaan Altha salah satunya karena nama besar perusahaan sang kakek. Dulu hanya berfokus pada properti dan konstruksi. Sekarang bisnisnya sudah menggurita dan mencakup berbagai bidang. Anak keturunannya mendirikan perusahaan sendiri, tetapi tetap dalam atap Naskita Karya. Perusahaan itu dikenal sebagai perusahaan yang amanah. Semua proyeknya bisa dibilang berhasil dan sukses. Untuk itulah, dulu anak-anak Nasrudin berlomba memegang tongkat estafet di induk perusahaan tersebut. Termasuk omnya Altha, dengan menghalalkan segala cara. Meskipun pikun, Nasrudin tidak sepenuhnya lupa segalanya. Sebagai pria pebisnis, ia selalu punya cara untuk keluar dari situasi terburuk sekalipun. Pria itu selalu menyelipkan kartu nama entah milik Altha atau dari anak cucunya yang lain ke saku. Nasrudin sudah meninggal dua tahun yang lalu setelah perawatannya diambil alih oleh paman Altha yang sekarang memegang perusahaan induk. Omnya gagal menjadi bos Naskita karena dinilai lalai dalam menjaga sang ayah. “Ya, gue ingat sekarang. Waktu itu, gue langsung bawa opa ke rumah sakit. Gue waktu itu sangat kalut sampai-sampai nggak terlalu fokus pada penolongnya,” ujar Altha. “Dan mungkin saja, satpam itu sengaja diberhentikan oleh om lo karena nggak mau ambil risiko,” sahut Arman. “Mungkin. Lalu kartu nama itu masih disimpan rapi di dompetnya. Lalu kartu nama yang satunya?” “Coba lo inget-inget lagi. Ingatan lo kuat, gue yakin lo akan dapat jawabannya. Sekarang kesampingkan dulu masalah kartu nama itu. Ini kantor, jadi mari fokus kerja dulu. Fokus nyari duit. Cek, lalu tandatangani berkas ini. Gue tunggu.” Altha berdecak. “Gue yang bos, tapi lo yang sok ngatur.” “Bos juga manusia, bisa khilaf. Jadi, tugas tangan kanan yang mengingatkannya. Saya kohon lakukan cepat ya, Bos.” Arman pergi setelahnya. Sementara Altha belum bisa fokus bekerja. Hidup yang selama ini dinilai terlalu datar, tiba-tiba datang beberapa teka-teki dan masalah. “Berati Pak Zamroji sebenernya sudah tahu gue. Cuma gue yang nggak ngeh. Dan mungkin itu alasan dia meminta gue menikahi anaknya. Lalu kartu nama kedua, di mana gue memberikannya? Berpikir, Altha. Gunakan otak lo.” Tanpa Altha ketahui, dua tahun yang lalu Nasrudin pernah berucap pada Zamroji. “Yang kamu telepon tadi cucu dari anak perempuan saya. Dia cucu yang paling dekat dengan saya, paling baik pula kelakuannya. Dia tampan, pekerja keras. Masih muda, tapi bersungguh-sungguh menjalankan usahanya. Saya yakin dia yang paling sukses di masa depan di antara keturunan saya yang lain.” Sejak saat itu, Zamroji sering melihat profil Altha di internet. Untuk itulah, ia langsung mengenali Altha sat insiden kecelakaan tersebut. ** Sudah tiga hari pasca operasi, Zamroji belum juga sadar. Mazida hanya diberi jatah cuti selama tiga hari itu. Mau tidak mau, di hari keempat ia harus pergi bekerja meninggalkan ayahnya. Mazida bekerja di PT. Diamond karya sebagai design interior. Sudah tiga tahun sejak lulus kuliah, ia mendedikasikan keterampilannya di sana. Wanita berusia 25 tahun tersebut berprestasi sejak di bangku kuliah maupun di dunia kerja. Didukung dengan wajah cantik, penampilan selalu menarik, dan berkelakuan baik, banyak yang menyukainya. Pagi-pagi sekali, Mazida pulang. Ia menitipkan sang ayah pada perawat dan meninggalkan nomor ponselnya. Agar jika ada sesuatu, bisa langsung mengabarinya. Bagas menjemput Mazida di kontrakan. Pria itu tersenyum saat melihat sang kekasih sudah siap dengan pakaian kerja dan sedang mengunci pintu rumah. “Morning, Sayang,” sapa Bagas sambil menurunkan kaca mobil. Mazida tersenyum. Ia lalu menghampiri pria tersebut. “Salam kek. Jangan malah morning-morning.” Bagas hanya tergelak. “Masuklah, kita segera berangkat biar nggak kejebak macet.” “Oke.” Mazida pun masuk. Lalu mobil itu melaju membelah jalanan. “Respons mamamu setelah aku ke sana kemarin gimana? Maaf aku baru tanya sekarang karena pikiran masih bercabang dengan kesehatan ayah.” “Mama masih tetap sama. Kita boleh nikah bersyarat.” “Lalu kita harus gimana? Haruskah menerima syarat itu?” “Kamu jangan terlalu memikirkan itu dulu. Fokus kesembuhan ayahmu. Setelah sehat, baru kita pikirkan hubungan kita. Jangan terlalu banyak beban pikiran, Sayang. Nanti kamu ikutan sakit. Aku nggak mau itu.” Mazida tersenyum, lalu mengangguk. Inilah yang disukai dari Bagas. Pria ini sangat pengertian. “Kamu sudah sarapan?” “Belum. Kalau Mas?” “Belum juga. Nanti kita cari di sekitar kantor saja. Mumpung masih pagi, masih ada waktu.” “Mas, makasih atas semua pengertiannya. Aku beruntung, ada kamu yang selalu ada di sisiku.” Bagas tersenyum, menatap Mazida sebentar. Dielusnya kepala sang kekasih yang terbungkus pasmina cokelat s**u tersebut. Keduanya mengisi perjalanan dengan bercakap-cakap ringan. Tiba di kantor, mereka mencari sarapan, lalu bekerja saat jam kantor dimulai. Perusahaan di mana Mazida bekerja berfokus pada pembangunan bangunan entah itu rumah, gedung, perumahan, dan sebagainya. Jasa yang ditawarkan lengkap mulai perencanaan anggaran, arsitek, design interior maupun eksterior. Bosnya wanita, baik. Untuk itulah, Mazida betah bekerja di sana. Tidak ada larangan pula karyawannya menjalin hubungan. Jadi, jika Mazida dan Bagas menikah, tidak akan ada masalah. Jam istirahat, Mazida tidak ke kantin bersama rekan yang lain. Tiga hari ditinggal, banyak pekerjaannya yang menumpuk dan harus diselesaikan. “Kamu mau dibawakan apa?” tanya Bagas. “Nggak usah.” Pandangan Mazida masih fokus pada layar. “Nasi Padang aja, ya. Nanti aku bawakan. Semangat kerjanya!” Mazida hanya tertawa menanggapinya. Saat kubikel yang lain kosong, Mazida masih berkutat dengan pekerjaan. Saat bersamaan, Altha datang berkunjung ke kantor sepupunya. Pria itu tidak menyangka dan malah melihat Mazida di sana. “Apa itu Mazida?” Altha memandang objek lain, lalu kembali menatap Mazida. “Iya. Itu dia.” Altha terkekeh. “Dunia kenapa terasa sempit sekali? Kenapa dia ada di sini? Sejak kapan dia jadi karyawan Kak Salsa?” Saat itu pula, Mazida menoleh ke arahnya. Cepat-cepat Altha menutupi wajah dan kembali berjalan ke ruangan Salsa, bos Mazida. “Semoga dia nggak lihat gue. Tapi sejak kapan dia kerja di sini? Gue sering ke sini, tapi kenapa nggak lihat? Apa mungkin kurang memperhatikan?” Tiba di depan ruangan Salsa sang sepupu, Altha menemui sekretaris. “Permisi. Saya mau bertemu Salsa. Sudah buat janji sebelumnya.” “Iya, Pak Altha. Sudah ditunggu sama Bu Salsa.” Sekretaris itu berdiri, lalu berjalan menuju pintu ruangan sang bos dan membukanya. “Altha! Silakan masuk. Tumben-tumben ini datang ke sini. Biasanya juga lewat surel atau telepon langsung. Lo apa kabar?” “Gue baik. Kak Salsa gimana? Gue mencium bau. Bau duit.” Salsa tergelak. “Muji-muji pasti ada maunya. Eh, gimana? Kapan nikah? Jangan dipacari lama-lama. Cepat dinikahi. Kapan lagi dapat dokter cantik kayak Anggun.” Giliran Altha yang tertawa. “Gampang itu. Gue ke sini ada urgent.” “Apa?” “Ada sedikit kesulitan. Perusahaan swasta yang sering bekerja sama dengan perusahaan gue menginginkan kami meng-handle proyek pembangunan vila dan hotel di Kalimantan. Tepatnya IKN. Tapi kami sudah terlalu banyak job besar dari pemerintah. Sudah kami tolak, tapi mereka tetap memaksa. Gimana kalau Kak Salsa ambil? Gue harus menjelaskan secara langsung, makanya langsung ke sini ini tadi.” Mereka berdiskusi cukup lama masalah pekerjaan. Sampai disepakati Salsa bersedia menerima job tersebut. Setelah dirasa cukup, Altha undur diri. Begitu keluar ruangan melewati kubikel Mazida, wanita itu tidak ada di tempat semula. Secara refleks, mata Altha mencarinya. Karena tidak ditemukan, Altha kembali ke parkiran dengan lesu. Saat melewati taman kecil, Altha melihat Mazida sedang bersama Bagas. Entah mengapa, pria itu merasa tidak suka. Altha tertawa kecil. “Apa ini? Apa gue cemburu?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN