Seorang Wanita

1254 Kata
Jam tiga pagi tadi, Altha bangun dari tidur pendeknya. Ia merasa badannya pegal semua. Pria itu melihat Mazida yang masih terlelap, terlihat kelelahan. Altha duduk setelah memulihkan nyawa. Ia kembali mengamati Mazida. Pria tampan dengan ciri khas dagunya yang terbelah tersebut belum menyerahkan mahar pernikahan pada wanita itu. Entah alasan apa nanti saat memberikannya. Tidak mungkin mengatakan dengan jelas kalau itu mahar. Pria itu mendekat, berjongkok di depan wajah Mazida. Meskipun belum ada rasa cinta, ia merasa harus bertanggung jawab atas semua tindakan yang sudah diambil. Wanita ayu ini akan menjadi tanggung jawabnya selama Zamroji masih belum sadar. “Entah saya harus kasihan sama kamu atau sama diri saya sendiri atas semua yang terjadi.” Altha tersenyum tawar. “Saya pulang dulu. Nanti saya akan ke sini lagi, Istri.” Altha bangkit, lalu tertawa. Ia menggeleng. Rasanya aneh menyebut wanita ini istrinya. Pria itu lalu menelepon Dika untuk menjemput. Tiba di apartemen tepat saat Subuh. Altha langsung mandi setelah mengisi daya ponselnya, lalu salat. Setelahnya, ia tertidur sebab tubuh rasanya benar-benar pegal semua. Pria itu terbangun kala ponselnya terus menjerit. Ia bangun, lalu mengucek mata. “Astaga! Jam sembilan!” Cepat-cepat Altha ke kamar mandi untuk membersihkan diri, lalu memakai pakaian kerja. Ponselnya dari tadi tidak berhenti berdering panggilan suara. Baru setelah berpakaian rapi, ia melihatnya. Panggilan dari Arman yang diangkat. “Bos, habis malam pertama nggak pingsan, kan?” “Si*lan! Jaga mulut lo!” “Hari ini ada rapat penting sebelum berkas dikirim. Bos harus periksa lagi. Kita harus memenangkan tender besar ini. Cepatlah berangkat!” “Rapat jam sepuluh, ini masih jam sembilan. Lo mau bikin gue garing di kantor?” “Iya, tapi senggaknya–“ Tut! Panggilan dimatikan sebelum Arman menyelesaikan ucapan. Arman dan Altha bersahabat sejak kuliah. Keduanya berpisah saat Altha melanjutkan studi S2 ke luar negeri. Saat kembali, keduanya bekerja di kantor yang sama. Tentu saja Altha yang menjadi pemilik perusahaannya. Altha lekas berangkat setelah memakai arloji dan mencangklong tas. Jasnya hanya disampirkan ke pundak. Pria itu lekas turun dan menuju basemen mengambil mobil. Lantas, segera melesat membelah jalanan. Tujuan pertama Altha adalah mencari sarapan. Ia sengaja membungkusnya, lalu cepat-cepat melanjutkan berkendara. Rumah sakit adalah tujuan selanjutnya. Entah mengapa, sejak semalam ia merasa iba pada Mazida. Agar penampilannya tidak terlalu mencolok, Altha sengaja membuat penampilannya sedikit berantakan. Dasi dilepas, kemeja tidak dimasukkan. Pria itu lalu turun dan mencari istri sirinya. “Gue aneh nggak sih? Kenapa gue jadi begitu memikirkan wanita itu?” Altha berhenti. “Ah, ini karena rasa bersalah dan tanggung jawab. Ya, hanya sebatas itu.” Pria itu menggeleng, lalu kembali melanjutkan langkah. Kakinya berhenti saat melihat Mazida duduk sambil menunduk. Bahunya berguncang. Ada kertas di tangan wanita itu. Pelan, Altha mendekat dan membaca sekilas apa isi dari kertas tersebut. Surat persetujuan tindakan medis. Ia menoleh pada Mazida yang sepertinya belum menyadari kehadirannya. Isak tangis kecil terdengar. “Jangan menangis. Ayahmu butuh anak yang kuat. Katakan, perlu bantuan apa?” tanya Altha. Mazida spontan mendongak. Saat melihat ada Altha, cepat-cepat ia menghapus air matanya. “Ah, maaf.” Altha duduk. “Maaf untuk apa?” “Nggak tahu. Tapi saya merasa malu. Mas datang saat kondisi saya sangat kacau. Saya merasa menjadi orang paling mengenaskan.” “Nggak apa-apa. Menangis itu bukan dosa. Ada masalah sama kesehatan Pak Zam?” “Ayah harus dioperasi. Tapi efek samping dari operasi kepala itu sangat besar bahkan mengancam kesehatan lainnya. Tapi kalo nggak dioperasi, ayah akan meninggal. Saya bingung. Haruskah saya menyetujui tindakan besar ini?” “Zi, jangan berpikir terlalu jauh ke depan. Cukup pikirkan dulu yang saat ini darurat. Dokter meminta ayahmu dioperasi, setujui. Anggap ini ikhtiar. Masalah dampaknya nanti akan seperti apa, kamu masih punya waktu berdoa dan berusaha lagi nanti. Sekarang kamu hanya perlu menyetujui, setelahnya tinggal berbaik sangka pada Allah, pasrahkan semuanya pada-Nya. Dia tahu yang terbaik.” Mazida menatap pria di sampingnya sendu. “Jadi, menyetujui operasi adalah jalan terbaik untuk saat ini?” Altha mengangguk. “Saya rasa begitu.” “Kalau operasinya gagal dan ayah nggak selamat? Apa saya berdosa karena secara tidak langsung yang menyebabkannya meninggal?” “Nyawa bukan di tanganmu, Zi. Tapi di tangan Allah. Cukup percaya pada-Nya. Biarkan Dia yang mengatur semua.” Altha tersenyum samar, lalu mengangguk. “Tanda tangani. Biar ayahmu segera mendapatkan tindakan.” Mazida masih bergeming. “Sebentar, kamu ragu melakukannya apa karena masalah biaya? Saya bisa–“ “Enggak. Bukan karena itu. Kami punya Askes.” “Ya sudah. Lakukan sekarang.” Mazida mengangguk, lalu menandatangani berkas itu dengan tangan gemetar. “Kamu di sini saja. Biar saya yang kasih ke perawat jaga.” Altha mengambil berkas itu dari tangan Mazida, lalu masuk ke ruangan. Sementara Mazida terpejam, menegakkan badan. “Sus, tolong lakukan yang terbaik untuk pasien atas nama Zamroji. Kalau Askesnya tidak mengcover, biar saya yang menanggung kekurangannya. Ini kartu nama saya. Kalau ada sesuatu masalah biaya, hubungi saya. Jangan anaknya. Dan tolong jangan sampai anaknya tahu,” pinta Altha pada perawat. Saat mengambil kartu nama, pandangan Altha terpusat pada uang yang terlipat dalam dompet. Uang itu adalah mahar pernikahannya semalam yang belum diberikan pada Mazida. Sekali lagi ia akan memberikannya saat situasinya sudah tepat. “Baik, Kak. Akan kami proses segera operasinya.” “Terima kasih.” Altha lalu kembali menemui Mazida. Pria itu tersenyum samar saat jaketnya dipakai Mazida dan terlihat kebesaran. “Ini tadi saya membeli makanan pas di jalan. Makanlah, kamu juga butuh asupan energi.” Altha memberikan satu untuk Mazida, satu untuknya. “Terima kasih. Tapi sebenernya nggak perlu repot.” Mazida menerimanya sungkan. “Nggak repot. Kamu nggak pulang dulu ambil baju ganti?” “Nanti saja kalau ayah sudah selesai dioperasi.” Altha mengangguk-angguk. Ponselnya kembali berbunyi. Ia yakin itu dari Arman. Saat dicek, ternyata benar. “Zi, saya mau kerja dulu. Nggak apa-apa ditinggal?” “Nggak apa-apa. Saya malah yang terima kasih. Mas Altha baik banget sama saya.” “Ya sudah, saya tinggal. Ingat, jaga kesehatan.” Mazida mengangguk. Altha berdiri, kemudian segera berlalu. “Mas! Makanannya ketinggalan!” teriak Mazida saat ada bungkusan makanan lain. Namun, Altha tidak mendengarnya sebab sudah berlari untuk mengejar waktu. “Kenapa orang ini baik banget sama gue? Mas Bagas aja malah nggak ada kabar sejak semalam.” Mazida lalu mengirim pesan pada Rini, sahabatnya. Ia meminta Rini membuatkan surat izin kerja jika belum dibuatkan Bagas. Sekalian mengabari kalau ayahnya kecelakaan tunggal. ** PT. Altha Barkah Karya adalah perusahaan properti dan kontraktor milik Altha. Perusahaan ini adalah anak cabang dari PT. Naskita Karya sebagai induknya. Sepuluh tahun sudah, Altha mendedikasikan hidupnya untuk perusahaan pribadinya itu. Sejak berusia 25 tahun, Altha berusaha keras membuktikan pada keluarganya kalau ia ingin mandiri. Perusahaan yang dirintisnya dari nol itu sekarang sudah berkembang pesat. Saat teman-temannya pacaran atau sudah menikah, Altha justru sibuk meniti karier. Ia sampai mengesampingkan masalah asmaranya demi mengejar kesuksesan. Hingga sampai berusia 35 tahun, ia harus dijodohkan oleh orang tuanya dengan seorang dokter. Anggun namanya. Akan tetapi, takdir justru bercanda. Altha malah dipaksa menikahi Mazida, wanita yang sama sekali belum dikenal sebelumnya. “Perusahaan induk meminta kita harus memenangkan proyek jalan tol trans Kalimantan. Jadi, kita harus gol lagi kali ini,” ujar Arman saat Altha baru tiba. “Ya. Kita pasti bisa. Semua sudah siap rapat?” Arman mengangguk. “Mari kita mulai sekarang.” Rapat penting dan mencekam itu menghabiskan waktu cukup lama. Saat selesai, Altha langsung kembali menuju ruangannya. “Sayang, kenapa chat-ku semalam nggak kamu balas?” Suara manja wanita terdengar. Wanita itu duduk di kursi kebesaran Altha.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN