Larissa berdiri di dapur. Ia memperhatikan semua alat masak yang ada di sana dan tidak ada satu pun benda yang ia kenal kecuali panci untuk merebus mi.
"Kenapa rumah sebesar ini tidak ada kompor? Tungku kayu pun tidak ada? Mereka memasak menggunakan apa? Sinar matahari?" gumam Larissa sambil menggaruk rambutnya yang tidak gatal.
"Eh, Nyonya Rissa mau ngapain?" Bik Erna menghampiri Larissa yang masih berdiri mematung di depan wastafel.
"Saya mau perang, Bik. Udah pasti saya mau masak, kalau ada di dapur gini, tapi saya bingung gak ada kompor. Masa rumah sebesar ini gak ada kompor? Katanya orang kaya? Kaya darimana, masak aja pakai tenaga matahari," cecar Larissa panjang lebar hingga membuat Bik Erna terpingkal-pingkal.
"Ini namanya kompor listrik, Nyonya. Sini, saya ajarkan pakainya." Bik Erna mulai mengajarkan Larissa cara menggunakan kompor listrik. Dengan pelan dan sabar Bik Erna mengajarkan Larissa sampai nyonya rumahnya paham.
"Sudah bisa?" tanya Bik Erna sambil tersenyum.
"Tungku kayu bakar aja ada gak, Bik? Saya cari kayu bakarnya juga gak papa. Saya jago loh cari kayu di hutan," kata Larissa dengan polosnya. Lagi-lagi Bik Erna tertawa sekaligus haru. Nyonya rumahnya adalah wanita desa yang sangat sederhana dan polos, sehingga sepertinya belum terlalu paham kehidupan di kota dan di desa.
"Gak ada, Nyonya. Di sini juga gak ada hutan, mau cari kayu bakar di mana?" tanya Bik Erna sambil menggelengkan kepala.
"Kemarin waktu datang dari tempat saya menikah, saya melihat ada rumah yang sedang dibongkar, saya bisa ambil kayu di sana, Bik," kata Larissa lagi masih dengan antusias yang sama.
"Begini saja, Nyonya pergi mencari udara di luar. Olah raga pagi. Biar urusan dapur Bibik yang kerjakan." Bik Erna mendorong tubuh majikannya agar segera pergi dari dapur, tetapi Larissa menahan tubuhnya dan menggeleng.
"Saya mau masak, Bik. Bibik saja yang cari udara di luar, olah raga biar sehat." Larissa kembali berjalan menuju depan kompor, lalu ia kembali bingung mau memasak apa.
"Di rumah sebesar ini gak ada kulkas? Ck, payah banget Mas Yusuf," gumam Larissa.
"Itu di depan Nyonya namanya kulkas." Tunjuk Bik Erna pada kulkas besar dua pintu kanan dan kiri berwarna hitam metalik yang ada di samping Larissa.
"Bik, Bibik udah kerja di sini berapa lama? Sekolah nggak sih? Ini tuh lemari, bukan kulkas!" Bik Erna memijat pelipisnya. Lalu ia membuka pintu kulkas dengan selebar-lebarnya. Bukan hanya satu pintu, tetapi dua pintu sekaligus ia buka dengan lebar.
Mata Larissa membulat sempurna saat melihat ada banyak bahan makanan di sana. Ia menoleh pada Bik Erna dengan tatapan terpesona. Bik Erna mengangguk, lalu mempersilakan majikannya untuk mengambil bahan makanan apapun yang akan diolah untuk menu sarapan.
"Bumbunya ada di sini, di sini, dan di sini. Nyonya boleh pakai semua benda yang ada di dapur, kalau sudah bilangin Bibik ya. Kalau perlu ulekan ada di balik lemari. Bibik jemur cucian dulu ke belakang." Larissa mengangguk paham.
Ia mulai memasak makanan. Ada tumisan tauge dengan udang kupas serta telur dadar. Tak lupa Larissa membuat sambal yang super pedas untuk menikmati pagi pertamanya sebagai istri.
Makanan sudah matang dan sudah ia hidangkan di atas meja. Tara dan Zaka keluar dari kamar mendapati menantunya tengah sibuk menata meja makan. Tara tersenyum senang, lalu menoleh pada suaminya.
"Sepertinya tidak ada yang terjadi semalam, Pa," bisik Tara pada suaminya.
"Iya, Ma, rambut Larissa kering," sambung Zaka.
"Kita lihat sampai besok, Pa, kalau masih kering juga, kita buat strategi agar mereka bisa menikmati malam pertama sebagai suami istri. Ck, pasti Yusuf nih yang payah, sama istri sendiri malu-malu. Beda banget sama papanya," ujar Tara sambil melirik suaminya dengan sengit.
"Tapi Mama suka'kan mandi sampai dua kali. Semalam sama subuh tadi," timpal Zaka sambil menahan tawanya.
"Mama gak punya pilihan lain selain menerima perlakuan suami. Mau menolak juga percuma, baju Mama pasti disobek lagi. Dah, PR Papa sekarang gimana caranya agar Yusuf mau menikmati malam pertamanya dengan Larissa. Oh iya, besok jadwal mereka bulan madu ke Bali, jangan sampai gak jadi loh, Pa. Kita harus kawal."
"Baiklah Ibu Suri, saya akan melaksanakan titah Ibu Suri." Zaka mencium gemas pipi istrinya, lalu berjalan ke ruang makan untuk menghampiri menantunya.
"Wah, Rissa masak apa nih?" sapa Tara dengan senyuman senang.
"Masak sederhana, Ma. Ayo, makan, Ma, Pa, masakan orang kampung, mudah-mudahan Mama dan Papa suka. Saya bangunkan Mas Yusuf dulu ya," kata Larissa dengan penuh semangat.
"Bangunin keduanya juga Papa ikhlas, Sa," celetuk Zaka yang sudah mengambil piring. Tara menahan tawa sambil menggelengkan kepala.
"Iya, Pa, ini saya mau bangunin keduanya."
Huk! Huk!
Zaka tersedak teh yang baru saja menyentuh tenggorokannya. Sontak hal itu membuat Tara menertawakan suaminya. Larissa sudah berjalan menuju kamarnya. Pelan ia membuka pintu dan mendapati suami serta anaknya masih pulas tertidur.
"Menurut Papa, apa Larissa berhasil membangunkan keduanya?" tanya Tara pada suaminya.
"Tentu saja. Papa yakin mereka akan pagi pertama, bukan malam pertama," jawab Zaka mantap.
"Mama bilang tidak, Yusuf tidak senekat Papa. Bagaimana kalau kita taruhan? Jika Yusuf dan Larissa keluar dari kamar dengan rambut basah dan wajah merona, maka Papa boleh membeli mobil yang sudah Papa tawar itu, tetapi jika keduanya keluar dari kamar dalam keadaan rambut kering, Papa harus jadi mengambil kontrakan Pak Haji Ulam. Sepuluh pintu dan semua atas nama Mama."
"Penawaran yang sungguh matreliatistis. Untung Papa bucin, he he he ... setuju!" Tara dan Zaka bersalaman. Kedua pasang mata menoleh cukup tegang ke arah pintu kamar anak mereka.
Larissa berjalan menuju tempat tidur. Lalu duduk di ujung kaki suaminya. Tangannya ia usap-usap pada kedua kaki Yusuf yang begitu kelar disertai bulu-bulu lebat yang keriting disepanjang betis suaminya. Larissa berdesir saat melihat suaminya yang sangat tampan.
Entah darimana keberanian Larissa, wanita itu kini berjalan mendekat pada wajah suaminya. Masih dalam posisi menyamping, Larissa memandangi wajah Yusuf dengan seksama.
Hidung suaminya yang mancung. Kulitnya wajahnya putih bersih dan tidak ada titik hitam di dekat hidung dan dagunya. Alis matanya lebat bak hewan lipan yang bersambung. Lekuk pupil matanya cukup dalam sehingga sekilas Yusuf terlihat seperti wajah pangeran dari Saudi.
"Tampannya suamiku," gumam Larissa dengan senyuman. Pelan ia memajukan wajahnya mendekat pada wajah suaminya. Embusan napas Yusuf membuatnya semakin menyukai lelaki yang kini menjadi suaminya ini.
Cup
Sebuah kecupan tipis pada bibir merah menggoda suaminya disematkan dengan penuh penghayatan. Yusuf sama sekali tidak terbangun. Bibir merah menggoda itu membuat Larissa merasa jantungnya berdetak semakin tidak karuan. Ia memberanikan diri melakukannya sekali lagi. Sebagai wanita yang pernah menikah dan merasakan sentuhan, tentu saja ia ingin kembali merasakan bagaimana rasanya berkeringat di tempat tidur.
Cup
Sekali lagi dan pada saat itu juga seorang Yusuf membuka matanya dengan begitu lebarnya.
Bersambung
Tim Tara mana suaranya?
Tim Zaka mana suaranya?
Apakah mereka jadi melewati pagi pertama dengan berkeringat??