1. Hari Pernikahan
Aku deg-degan menanti esok. Apa kamu juga begitu, Sayang?
Send
Yusuf benar-benar tidak bisa memejamkan matanya, karena memikirkan acara pernikahannya esok hari dengan Mutia.
Pemuda berusia dua puluh enam tahun itu menoleh pada jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Biasanya , ia sudah tidur sejak pukul sepuluh, tetapi malam ini matanya tidak merasakan kantuk sama sekali.
Bep! Bep! Matanya berbinar saat suara ponselnya berbunyi tanda sebuah pesan masuk. Ia langsung menekan tulisan baca di layar ponselnya. Calon istri Aku juga belum bisa tidur, Mas, karena tanganku sedang dipakaikan hyena. Sebuah foto yang memperlihatkan sebelah tangan Mutia tengah dihias dengan hyena berwarna putih.
Yusuf tersenyum dan takjub dengan hiasan di kedua punggung tangan putih Mutia. Bagus sekali. Tangan kamu jadi cantik. Aku tak sabar mencium puas tangan itu besok. Send Tidak ada balasan lagi dari Mutia dan Yusuf tidak mempermasalahkan hal itu. Pasti karena tangannya yang belepotan hyena membuat pacarnya susah untuk membalas pesannya.
Yusuf akhirnya memutuskan untuk ke kamar mandi dan berwudhu. Ia merasa perlu melaksanakan salat sunnah dua rakaat sebelum tidur untuk menenangkan hatinya dan bisa segera terlelap malam ini, sehingga besok pagi ia bangun dengan segar.
****
"Bagaimana, Yusuf? Apa sudah siap?" tanya Tara pada putra pertamanya. Cucu lelaki pertama dari pengusaha sukses Aditya Darman. Yusuf mengangguk pasti sambil meremas tangannya yang terasa dingin. Tara tersenyum penuh haru, lalu ikut duduk di samping ranjang pengantin anaknya yang sudah dihias dengan begitu cantiknya. "Setiap calon pengantin, pasti akan merasakan hal ini. Kamu tahu sendiri'kan, bahkan Mama duduk di depan penghulu sebanyak tiga kali," seloroh Tara mencairkan kegugupan anaknya.
Benar sekali, Yusuf tertawa, lalu secepat kilat memeluk mama tercintanya. "Yusuf merasa ada sesuatu di d**a Yusuf yang akan segera meledak, Ma. Ini sangat luar biasa untuk Yusuf." Lelaki muda itu memegang dadanya yang berdetak sangat cepat. "Sebentar lagi, begitu kamu selesai mengucapkan ijab kabul, maka beban di d**a kamu benar-benar akan meledak hebat dan kamu akan memasuki gerbang baru kehidupan. Berjanjilah pada Mama, kamu akan mencintai Mutia dengan sepenuh hati. Menjaganya dengan baik dan jangan pernah mempunyai keberanian untuk melirik wanita lain, paham?" Yusuf tertawa mendengar petuah sang Mama, wanita terhebat dalam hidupnya.
"Wah, ada apa ini? Peluk-pelukan, Papa tidak diajak," seru Zaka yang baru masuk ke dalam kamar sudah dalam keadaan ketampanan maksimal. Walau sudah usia lima puluh lima tahun, tetapi ketampanan Zaka tidak mudah lekang dimakan usia.
"Anak Papa ini gugup. Sedari tadi mulutnya terkunci dan tangannya juga dingin, ha ha ...." Tara menertawakan sikap Yusuf yang begitu gugup. "Papa juga pernah mengalaminya. Ada mules, pengen pipis, sekaligus pengen berteriak kencang karena terlalu gembira. Apakah kamu juga seperti itu?" tanya Zaka pada putranya.
Pemuda itu mengangguk kaku masih dengan mulut terkunci. Tawa menutup rapat mulutnya menahan tawa melihat kekonyolan Yusuf.
"Nanti di depan penghulu jangan mingkem begini, bisa-bisa gagal ijab kabul," seru Tara mengingatkan. Yusuf mengangguk paham, tanpa bisa bersuara.
Pemuda itu merasa dadanya begitu penuh dengan rasa senang dan juga bahagia. "Ya ampun, Mama, Papa, Yusuf, kenapa masih di sini? Opa dan Oma sudah di bawah. Mobil sudah siap, ayo berangkat," ajak Sofia, kakak tertua Yusuf yang sudah lebih dahulu menikah. Tara menggandeng tangan Yusuf di sebelah kanan dan Zaka menggandeng tangan Yusuf di sebelah kiri.
Mata wanita itu berkaca-kaca dan ia hampir tidak bisa menahan air mata yang sebentar lagi akan tumpah. "Mama jangan nangis dong. Walau Yusuf sudah menikah, tetap Mama wanita spesial di hati Yusuf. Papa dan Mama tetap prioritas Yusuf." Tara tersenyum penuh haru, lalu meletakkan kepalanya bersandar di pundak anaknya.
Ketiganya berjalan masuk ke dalam mobil Mer-C yang sudah disulap sangat cantik sebagai mobil penggiring pengantin. Semua keluarga sudah menunggu dengan tak sabar. Pekarangan besar rumah orang tua Yusuf mampu menampung delapan mobil dan juga lebih dari dua puluh motor. Mereka berangkat menuju ballroom hotel untuk menyaksikan cucu kebanggaan Aditya Darman saat menjemput hari bahagianya.
Butuh waktu setengah jam saja untuk sampai di hotel mewah bintang lima itu. Bukan lagi Zaka dan Tara yang kini menggandeng putra mereka, tetapi Oma Erika dan Opa Aditya yang menggandeng cucu kebanggaan mereka. Semua yang hadir begitu senang dan terharu. Banyak orang penting datang untuk memberikan selamat. Termasuk wakil gubernur Jakarta yang dimintai tolong oleh Pak Aditya untuk menjadi saksi pernikahan cucunya.
"Mana Mutia? Apa mereka sudah di jalan?" tanya Tara mulai resah. Waktu akad sudah terlewat lima belas menit dan Mutia; calon istri anaknya belum tiba. "Biar Yusuf telepon, Ma," kata Yusuf sambil mengeluarkan ponselnya dari dalam saku baju beskap warna krem yang sangat pas ia kenakan.
"Tidak diangkat ya?" gumam Yusuf sambil melirik mamanya sekilas. "Sebentar, Ma, Yusuf coba telepon Bunda Arin," kata Yusuf lagi menyebut nama calon mertua perempuannya yang biasa ia panggil 'bunda'.
["Halo, Assalamualaikum, Bunda di mana?"]
["Wa'alaykumussalam. Sebentar lagi sampai."]
["Syukurlah, ya udah hati-hati, Bun."]
Yusuf menghela napas lega. Keringat yang membanjiri keningnya ia keringkan dengan tisu yang ada di atas meja. Yusuf tersenyum sambil mengangguk pada papa, mama, dan juga kedua oma, opanya. Dua menit berlalu dan pihak keluarga Mutia pun hadir.
Semua orang berdiri menyambut calon pengantin wanita yang berjalan masuk dengan langkah pelan, yang tangannya tengah digandeng kedua orang tuanya. Yusuf tak tersenyum penuh haru sekaligus menahan tangis. Wanita yang sangat ia cintai kini sebentar lagi akan resmi menjadi istrinya.
Mutia sangat cantik dengan pakaian pengantin yang ia pilihkan untuk dipakai pada acara akad nikah. Mutia menunduk sepanjang perjalanan menuju meja tempat berlangsungnya akad. Banyak tamu yang berdecak kagum dengan calon pengantin yang sangat cantik.
"Tunggu, ini bukan Mutia," jerit hati Yusuf kebingungan. Lehernya memanjang dengan gerakan tubuh ke sana-kemari untuk mencari sosok calon istri. Keringat sudah membanjiri keningnya kembali. Wajah Yusuf pun menjadi pucat. Bukan hanya Yusuf, kedua orang tuanya juga terheran, mengapa wajah Mutia sangat berbeda setelah dirias oleh pengantin.
"Pak Zaka, Bu Tara, Yusuf, k-kami ... begini ...."
"Ini bukan Mutia, Bun. Mana Mutia?" tanya Yusuf dengan suara bergetar. "Mutia kabur semalam. Kami tidak tahu dia ke mana, ini ... kakaknya Larissa, kami b-berikan sebagai gantinya."
"Apa?"
Bersambung_ Ini sekuel dari n****+ "Aku dan Teman Suamiku" Semoga kalian terhibur dan meramaikan lapaknya. Terima kasih