"Eh, Mas, kenapa?" Larissa kebingungan saat melihat suaminya mendelik kaget.
"Apa yang kamu lakukan? Kamu menciumiku ya? Berani sekali!" cecar Yusuf seakan tidak terima. Larissa semakin bingung dengan suaminya, apa orang kaya selalu seperti ini jika baru bangun tidur?
"Cium? Siapa? Saya? Cium Mae Yusuf? Emangnya mau? Sini!"
"Ish! Apaan sih? Udah, ah, saya mau sarapan!" Yusuf segera turun dari tempat tidur, lalu berjalan keluar kamar dengan wajah kesal. Larissa mengangkat bahu tanda tak paham.
Aneh sekali, seperti nyata tadi bibirku dicium Larissa, tapi wanita itu malah keheranan. Apa aku bermimpi? Segitu hampanya aku sehingga mimpi dicium Larissa? Yusuf mengacak rambutnya dan berjalan cepat menuju meja makan.
"Hore, Mama jadi juragan kontrakan!" seru Tara senang sambil berjoget riang dari tempat duduknya. Bahu suaminya melemah, apalah daya semua sudah sesuai kesepakatan. Ia kalah taruhan dari istrinya.
"Kontrakan? Siapa? Memangnya Mama mau bayarin kontrakan siapa lagi?" tanya Yusuf terheran.
"Ada deh!" Tara tersenyum senang. Tidak mungkin ia mengatakan pada anaknya kalau ia menang taruhan soap rambut basah.
"Biar saya ambilkan, Mas." Tiba-tiba saja, lengan Yusuf ditahan oleh Larissa. Dengan menggendong Hikaru dengan gendongan kain, Larissa dengan cekatan mengambilkan nasi untuk suaminya. Tara dan Zaka tersenyum penuh haru, sedangkan Yusuf tanpa ekspresi menerima saja layanan dari istrinya.
"Biar Mama gendong Hikaru dulu, kamu temani makan suamimu," kata Tara pada menantunya.
"Tidak apa-apa, Ma, saya bisa kok. Sekalian menyuapi Hikaru." Tolak Larissa dengan sungkan.
"Duh, Bibik tumben banget masakannya sederhana sekali. Rasanya juga sedikit beda," komentar Yusuf saat satu suapan tengah ia kunyah di dalam mulutnya.
"Enak gak?" tanya Tara.
"Banget, Ma, Larissa kamu harus belajar sama Bibik cara masak yang benar. Seperti ini rasanya pas dan sesuai dengan lidah saya. Paham?"
"Siap, Mas." Larissa hanya tersenyum sambil mengambil nasi ke dalam mangkuk untuk Hikaru. Ia tidak ingin jumawa dengan mengatakan bahwa ialah yang memasak sarapan pagi ini. Mendengar komentar baik suaminya saja sudah membuatnya sangat senang.
"Memang yang masak Larissa, bukan Bibik." Kali ini Zaka bersuara membela menantunya. Yusuf meletakkan sendok, lalu menatap wajah papanya dengan serius. Lalu pandangannya beralih pada Tara yang tengah mengangguk.
"Benar kamu yang masak?" Yusuf bertanya pada istrinya.
"Iya, Mas. Mohon maaf, saya bisanya masak seperti ini, seadanya. Saya tidak bisa mengolah daging, karena tidak pernah makan daging selain hari raya Idul Adha, tapi kalau Mas suka daging, nanti saya belajar memasak dengan bibik," jawab Larissa dengan begitu manisnya. Tara semakin terharu dan yakin bahwa Tuhan memang mengirimkan wanita yang tepat untuk anak lelakinya.
"Sangat berbeda dengan seseorang yang saat mengiris bawang saja sampai terluka minta ke dokter bedah." Tara mengulum senyumnya bila mengingat Mutia saat di rumahnya membantu memasak nasi goreng.
Pada waktu itu tanpa sengaja, tangan mulus calon menantunya terluka saat mengiris bawang. Setitik darah keluar dari kulit putih jari telunjuknya dan saat itu pula Mutia merengek pada Yusuf dan dirinya untuk segera berobat ke dokter bedah. Alasannya, gadis itu tidak mau sampai kulit tangannya nanti terinfeksi oleh besi pisau.
"Ma, lihat itu anaknya, malah gak jadi makan. Jangan singgung lagi Mutia di depan Yusuf. Kasihan anak kita," rengek Zaka dengan gumaman tipis sambil melirik putranya yang terdiam.
"Kenapa, Mas? Ayo, makan lagi! Katanya masakan saya enak. Apa mau saya suapi?"
"Hentikan bersikap manis Larissa! Kamu tidak akan pernah seperti Mutia!" Yusuf bangun dari duduknya, meninggalkan ruang makan untuk berjalan ke arah rak kunci. Pemuda itu menyambar kunci mobil dan keluar dari rumah.
Tara melihat Larissa dengan iba. Mungkin menantunya itu masih kebingungan dengan sikap Yusuf yang mudah berubah dan semua ini karena kesalahannya yang menggunakan kilatan kisah Mutia untuk dibandingkan dengan Larissa.
"Maafkan Yusuf ya, Rissa. Dia hanya belum benar-benar siap kehilangan cintanya," kata Tara pada menantunya.
"Tidak apa-apa, Ma. Tidak ada yang bisa dengan mudah orang lain dalam hidupnya, apalagi menjadi pasangan hidup. Saya jika berada di posisi Mas Yusuf mungkin lebih kesal dan marah lagi. Mama santai saja, nanti juga Mas Yusuf balik lagi." Larissa tersenyum sangat manis sambil terus menyuapi Hikaru dengan telaten.
Matahari mulai naik ke atas kepala. Yusuf masih malas untuk pulang. Sebuah kafe ia pilih untuk menenangkan pikirannya. Sebuah kopi hitam pekat ia minum dan berharap kafein dari kopi tersebut dalam mengendurkan saraf otaknya yang kusut.
Tangannya dengan lincah berselancar di media sosial i********: atau pun f*******:. Status satu per satu teman dekat Mutia ia perhatikan untuk mencari jejak ke mana sebenarnya kekasihnya itu? Kenapa tiba-tiba menghilang? Sungguh hatinya masih sangat marah, kecewa, dan tidak terima.
Halo Dean, ini Yusuf. Apa kamu tidak dikirimi pesan oleh Mutia? Kamu tahu yang terjadi pada kami'kan?
Sebuah pesan ia kirim via akun i********: pada salah satu teman dekat Mutia. Besar harapannya, Dean dapat memberikan sedikit petunjuk tentang keberadaan kekasihnya. Salahnya tidak memegang nomor ponsel Dean. Semua itu sebuah pantangan baginya untuk menyimpan nomor kontak teman pacarnya karena ia tidak mau ada setan hadir di tengah-tengah dan menggodanya. Ia begitu menjaga perasaan Mutia, tetapi wanita itu malah mengecewakannya dengan telak.
Ting!
Maaf, Yusuf. Aku tidak tahu ke mana Mutia. Sabar ya. Aku turut prihatin dengan kamu dan Mutia.
Yusuf kembali memasukkan ponsel ke dalam sakunya. Tak ada harapan baginya untuk mengetahui di mana keberadaan Mutia.
Pukul dua siang, Yusuf memutuskan untuk pulang saja. Bagaimanapun takdirnya saat ini adalah beristrikan Larissa. Mau tidak mau, ikhlas tidak ikhlas, ia harus menerima takdir. Saat dalam perjalanan pulang, Yusuf berhenti di sebuah toko kue untuk membeli satu box donat. Ia membayangkan wajah ceria Hikaru yang tampan pasti akan sangat lucu jika belepotan coklat.
"Cinta itu datang karena terbiasa. Sama halnya dengan kebencian. Jika kamu terus memupuk rasa benci dan kesal, maka rasa itulah yang akan muncul. Pulang dan terima takdirmu bersama Larissa. Kamu harus percaya sama Papa. Gauli istrimu layaknya seorang suami, Papa yakin, hati kamu perlahan akan menerima Larissa Dan juga Hikaru."
Sebuah pesan dari Zaka dibawa Yusuf saat ia berhenti di lampu merah. Perkataan papanya benar. Ia memang harus terbiasa dengan Larissa, agar hatinya bisa segera sembuh dan mungkin saja suatu saat akan menerima dan mencintai istrinya.
Mobil sudah masuk ke garasi rumah. Tepat di samping mobil mini Cooper milik papanya. Larissa yang melihat suaminya datang, menyambut hangat dengan senyuman. Ia yang saat itu tengah duduk di teras rumah, langsung berdiri untuk menyambut suaminya bersama Hikaru.
"Ayah ... ayah." Larissa mengajarkan Hikaru untuk memanggil Yusuf dengan sebutan ayah. Pemuda itu keluar dari pintu kemudi dan tersenyum canggung pada Larissa.
"Mas darimana saja? Mas sudah makan belum?" tanya Larissa masih dengan senyuman hangat.
"Ini, aku baru saja membeli donat untuk kamu dan Hikaru. Makanlah, aku mau mandi dulu." Yusuf tersenyum tipis, lalu memberikan bungkusan donat pada istrinya.
"Terima kasih, Ayah," ucap Larissa senang. Ia mengekori langkah Yusuf, lalu meletakkan bungkusan itu di atas meja. Segera ia menyusul Yusuf ke kamar, siapatahu suaminya membutuhkan bantuannya.
"Mas, apa Hikaru boleh mandi bersama Mas? Ini sudah pukul setengah tiga sore. Biasanya Hikaru mandi di jam ini," kata Larissa pada suaminya.
"Aku tidak bisa memandikan anak kecil. Bergantian saja ya. Setelah aku mandi, kamu baru mandikan Hikaru," jawab Yusuf yang sudah mengambil handuk dari jemuran handuk di depan kamar mandinya.
"Saya yang mandikan Hikaru. Mas mandi sendiri saja. Saya janji gak lihat Mas tanpa baju. Udah gak penasaran lagi karena pasti bentukannya standar saja seperti Hikaru."
"Apa?"
Yusuf mendelik kaget sambil menelan salivanya, sedangkan Larissa hanya tertawa melihat wajah syok suaminya.
Bep! Bep!
Yusuf mengurungkan niatnya untuk langsung masuk ke dalam kamar mandi. Dering ponsel yang begitu nyaring membuatnya berharap ada seseorang yang memberitahunya di mana keberadaan Mutia.
Nomor tidak dikenal.
["Halo, siapa ini?"]
["Halo, apa ini Yusuf, pacarnya Mutia?"]
["Iya, betul, saya pacarnya Mutia. Ini siapa ya?"]
["Begini, saya punya informasi di mana keberadaan pacar Anda, Mas."]
["Apa kamu yakin? Di mana Mutia? Cepat katakan!"]
Bersambung