Peduli Amat

1033 Kata
“Tante Yara ….” Shabila berlari menghampiri Yara yang tengah duduk di tepi pantai seorang diri. Yara segera bangun dari duduknya dan memeluk Shabila. “Tante kok nggak bilang kalau mau liburan? Aku juga kan pengen liburan.” Shabila kemudian mengerucutkan bibirnya. Yara terkekeh pelan lalu mengusapi sisian wajah Shabila. “Maaf ya, Sayang. Papa kamunya baru ada waktu buat libur. Biasanya kan, di rumah sakit terus.” “Hehe. Tante tahu aja, kalau Papa rajin banget masuk rumah sakit.” Yara geleng-geleng kepala lalu menarik tangan anak kecil itu membawanya ke dalam vila yang dia sewa. “Ada kamar kosong, kan?” tanya Reiner kepada Yara setelah tiba di dalam vila. “Nggak ada. Hayoo loohh!” Yara kemudian terkekeh pelan. Reiner menghela napas kasar. “Dasar!” “Kenapa nggak bobo bareng aja, sih?” kata Shabila dengan polosnya. Yara lantas mengerutkan dahinya sembari terkekeh pelan. “Nggak boleh dong, Sayang. Shabila mau tidur sama Papa atau sama Tante?” “Sama Papa dan Tante.” “Shabila, Sayang. Tidur sama Papa saja, yaa. Kasurnya nggak muat soalnya.” “Aah, payah! Aku udah sering tidur sama Papa. Di sini mau sama Tante Yara aja deh!” Yara terkekeh lagi kemudian mencubit gemas hidung anak kecil itu. “Oke. Kali ini kamu tidur sama Tante. Biarin papa kamu tidur sendirian.” “Iya, Tante. Biar dimakan paus sekalian.” Yara tertawa mendengarnya. “Memangnya boleh, kalau Papa dimakan paus? Nanti kamu tinggal sama siapa kalau Papa dimakan paus?” “Sama Tante,” ucapnya lalu menerbitkan cengiran. Yara geleng-geleng kepala kemudian melirik Reiner yang mati kutu karena Shabila yang begitu cerewet. ** Waktu sudah menunjuk angka delapan malam. Yara dan Reiner tengah memanggang daging dan juga ikan di depan villa. Sementara Shabila tengah bermain game di ponsel milik sang papa. “Shabila … sama semuanya memang begitu, yaa? Suka ajak bercanda?” tanya Yara sembari membalikan ikan yang tengah dia panggang itu. Reiner menggeleng pelan. “Tidak semuanya. Bahkan kepada bibinya saja, adiknya Jihan tidak sedekat itu. Semenjak kepergian mamanya, Shabila banyak murungnya. Dia sering menangis sendiri. “Kangen sama mamanya. Bahkan sering mengalami tantrum padahal dulu saat dia masih balita tidak pernah mengalami hal itu. Tapi, setelah Jihan pergi, tiba-tiba saja perubahan sikapnya sangat signifikan.” Reiner menghela napasnya dengan panjang lalu mengambil piring untuk menaruh daging yang sudah matang. “Shabila sering sekali memarahi Naina tanpa sebab. Waktu aku kasih tahu kamu saat itu, dia kelihatan semangat sekali ingin kenalan sama kamu. Entah apa yang buat dia seperti itu.” Yara kemudian menatap Reiner lekat. “Karena aku dan Jihan pernah jadi sahabat dekat, Reiner. Kamu lupa itu? Tapi, dia harus ikut kamu setelah kalian menikah. Kita harus berpisah setelah sudah memiliki pasangan masing-masing. “Dan entah kenapa kalian malah hilang kayak ditelan bumi. Nggak ada kabar dan nggak punya kontak yang bisa dihubungi. Aku pikir kalian udah lupa, sama kita-kita. Ternyata waktu ketemu lagi kemarin, kamu masih ingat.” Reiner tersenyum tipis kemudian menatap Yara kembali. “Kami harus pergi ke Jerman saat itu untuk cangkok jantung Jihan. Dua tahun setelah melahirkan Shabila, jantungnya mengalami pembengkakan. Juga, aku sedang melakukan pelatihan di sana. “Kami cukup sibuk dan lupa dengan orang-orang sekitar kami. Hanya fokus pada kesehatan Jihan, fokus pada pendidikanku. Jihan ingin aku melanjutkan cita-citaku. Pergi bareng-bareng ke Jerman dan kembali ke Indonesia.” Reiner tersenyum hampa kemudian mengusap air matanya. Yara lalu mengusapi bahu lelaki itu seraya menatapnya sayu. “Aku sangat tahu bagaimana kamu mencintai Jihan Reiner. Kalian seharusnya jadi best couple. Tapi, Tuhan berkata lain. Sudah ada Shabila yang akan menjadi pelangi kamu. Shabila diciptakan untuk mengisi kekosongan hidup kamu karena kepergian Jihan.” Reiner kemudian mengulas senyum lirih lalu mengangguk. “Ya. Aku minta maaf, Yara. Seharusnya kedatanganku ke sini untuk menghiburmu. Malah bercerita tentang masa laluku.” “Santai. Dua hari yang lalu aku kesepian karena nggak ada yang nemenin. Sekarang jadi punya temen karena ada kamu dan Shabila.” Lima belas menit kemudian mereka duduk di sebuah kursi yang ada di sana. Menikmati makan malam ditemani semilir angin yang sangat sejuk. “Masakan Tante Yara enak banget,” puji Shabila kemudian. “Terima kasih, anak baik.” “Mirip masakan Mama.” Yara terdiam kemudian menoleh pada Reiner yang hanya tersenyum canggung mendengar ucapan anaknya. “Tante Yara kok banyak miripnya sih, sama Mama? Aku juga suka lihat wajah Mama di wajah Tante. Tante ini kembarannya Mama, yaa?” Yara terkekeh kemudian menggelengkan kepalanya. “Bukan, Sayang. Tapi, Tante sama Mama dulu berteman dekat. Makanya banyak kesamaannya.” “Oh gituu. Pantesan.” Shabila manggut-manggut sembari menikmati ikan bakar kesukaannya itu. “Shabila. Makan dulu yang kenyang, yaa.” “Oke, Papa.” Shabila menurut. Ia tidak lagi berbicara. Sebab Reiner pun tidak enak hati bila harus bercerita tentang mendiang istrinya itu. Karena kedatangan dia ke sana untuk menemani Yara yang tengah kesepian. “Maafkan Shabila, yaa. Mungkin dia sedang merindukan mamanya. Makanya suka ngomong ngelantur,” ucap Reiner setelah menyelesaikan makan malamnya. Yara tersenyum tipis. “Nggak masalah. Namanya anak kecil, belum bisa dikontrol ngomongnya. Biarin aja. Lagi pula, dia nggak jelekin aku, nggak jelekin mamanya juga.” “Aku tidak enak hati aja, dengernya.” “Nggak apa-apa, Reiner. Makasih ya, udah mau nyusul jauh-jauh ke sini. Gimana kerjaan kamu?” “Sudah dialihkan ke Dokter Firman. Setelah kepergian Jihan, aku tidak pernah mengambil cuti. Hidupku didedikasikan untuk menyembuhkan orang-orang yang membutuhkan bantuanku.” “Kayak hampa ya, hidupnya? Kehilangan orang yang dicinta itu, dunia seperti berhenti berputar.” Reiner kemudian mengusapi punggung perempuan itu dengan lembut. “Tristan ada nanya ke aku. Kamu ada di mana.” Yara tersenyum lirih. “Bagaimana caranya berpisah dengan dia, Reiner? Aku udah nggak nyaman lagi dan udah nggak mau lanjutkan rumah tangga itu lagi. Aku udah nyerah.” Reiner menghela napas pelan. “Kamu, masih mencintainya?” Yara menggeleng dengan pelan. “Entahlah. Sudah hambar.” “Tapi, Tristan masih mencintaimu. Bahkan dia melarang kita berteman.” Yara tertawa pelan. “Peduli amat apa kata dia. Nggak usah didengerin. Berteman dengan siapa pun itu urusanku. Tapi, kalau kamu menuruti perintah Tristan, nggak masalah. Nggak usah berteman sama aku lagi.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN