Tuduhan Tristan

1002 Kata
Hari terakhir di Maldives …. Tampak Shabila tengah asyik bermain di pesisir pantai dengan riangnya. Ia yang sudah merindukan liburan itu akhirnya bisa menikmati waktu liburan dengan riang gembira. “Kamu mau tinggal di apartemen atau kembali ke rumah suamimu?” tanya Reiner kepada Yara yang tengah memasukan bajunya ke dalam koper. Yara mengendikan bahunya. “Entahlah. Aku bingung, Reiner. Seperti sudah tidak punya arah dan tujuan. Aku belum bisa menerima kehadiran Lily. Rasanya aneh saja kalau aku tinggal bersama dengan maduku.” Reiner menyunggingkan senyum tipis. “Aku ngerti perasaan kamu, Yara. Sebaiknya kamu tinggal di apartemen saja kalau memang Lily masih ada di rumah kalian.” Yara mengangguk kemudian mengulas senyumnya. “Iya. Kalian boleh main kapan pun ke sana. Kalau Shabila lagi kangen sama aku. Shabila anak yang baik dan periang. Mungkin karena aku memang menyukai anak kecil, merasa nyaman aja main sama Shabila.” Reiner kembali mengulas senyumnya. “Aku ingin berteman denganmu dan tidak peduli dengan larangan suami kamu itu.” Yara menghela napas kasar. “Aku sudah tidak menganggapnya suamiku lagi. Karena dia sudah memiliki dua istri. Aku merasa kalau aku sudah tidak dianggap istrinya saat setelah tahu dia telah menikah lagi tanpa sepengetahuan aku.” Reiner kemudian bangun dari duduknya dan menghampiri Yara. Duduk di samping perempuan itu dan menatapnya dengan tatapan lekatnya. “Yara. Kamu nggak mau bicarakan ini baik-baik dengan Tristan? Dia masih mencintai kamu, tidak ingin menceraikan kamu dan dia merasa hanya kamu istrinya.” Yara menggeleng dengan pelan. “Aku sendiri bingung apa yang harus aku lakukan, Reiner. Bicara baik-baik dengannya pun sepertinya nggak akan dapat solusi. Aku sudah putuskan untuk menjaga jarak dengan dia.” Reiner menaikan kedua alisnya. “Menjaga jarak? Pisah ranjang?” Yara mengangguk. “Ya. Aku ingin bebas. Aku ingin membuat Tristan jenuh, marah dan akhirnya memilih untuk berpisah. Kalau aku tetap ada di sampingnya, yang ada dia akan sulit melepasku. Aku tidak mau memisahkan anak dan ibunya kelak jika Lily melahirkan seorang anak untuknya. “Biarkan mereka bahagia. Meskipun aku harus merelakan orang yang aku cinta bahagia dengan orang lain. Biarkan Tristan mencintai Lily dan aku bebas memilih jalan mana yang ingin aku tempuh. Rasanya percuma kalau aku bertahan dengannya. “Hanya akan melukai hati aku, sakitnya Lily karena diceraikan setelah dia melahirkan. Sakitnya double dong. Udah sakit melahirkan, ditambah sakit dicerai. Aku hanya memposisikan diri aku sebagai Lily aja sih. Sakit banget pasti. Baru lahiran kok dicerai.” Reiner kemudian mengusapi lengan perempuan itu dengan lembut. “Apa pun keputusanmu, aku hanya bisa mendukungmu. Asalkan jangan sedih lagi. Tetap semangat. Lanjutkan hidup kamu. Jangan menganggap kalau kamu adalah wanita paling menderita di dunia ini.” Yara terkekeh pelan. “Iya, Dok. Dari kemarin HP kamu bunyi terus tuh.” “Dari Naina. Dia nanya kami ada di mana. Mungkin kangen sama Shabila.” Yara manggut-manggut. “Naina sudah menikah?” tanyanya ingin tahu. Reiner menggeleng pelan. “Belum. Pacar pun nggak punya. Padahal usianya sudah sudah masuk dua puluh enam. Tapi, kayaknya nggak niat untuk menikah.” Yara tersenyum miring. “Ada ya, orang yang nggak mau menikah.” “Ada saja. Banyak malah. Aku susul Shabila dulu, yaa. Tiket pesawatnya sudah aku pesan. Kita tinggal berangkat saja nanti jam dua siang.” Yara menganggukkan kepalanya. Ia kemudian masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri terlebih dahulu sebelum pulang ke Indonesia. ** Tiba di Indonesia …. “Terima kasih ya, Reiner. Sudah nemenin aku selama lima hari kemarin.” Yara berterima kasih setelah mereka harus berpisah di bandara. Sebab ia membawa mobilnya sendiri kala itu. “Sama-sama. Lima jam lagi aku harus ke rumah sakit. Ada pasien yang harus melakukan operasi dua minggu lagi. Aku harus memeriksa kondisinya.” Yara mengangguk lalu tersenyum tipis. “Semoga operasinya lancar.” Ia lalu masuk ke dalam mobil dan melajukannya dengan kecepatan sedang. Tiba di apartemen …. Yara memilih istirahat lebih dulu di apartemen miliknya tanpa memberi tahu siapa pun bila dirinya sudah kembali. “Matikan ponsel, pasang alarm di weker, kunci pintu apartemen dan istirahat dengan tenang.” Yara kemudian menerbitkan senyumnya. Matanya terbayang-bayang pada Reiner yang sudah menemaninya selama lima hari di sana. Ia sangat bahagia dan merasa bila hidupnya sedang baik-baik saja. Yara kemudian mengembuskan napasnya. “Mana mungkin aku jatuh cinta pada temanku sendiri. Niat awal kami hanya berteman. Reiner yang lagi kesepian, aku pun sama.” Yara menggeleng-gelengkan kepalanya kemudian menutup matanya. Tidak ingin berpikir yang aneh-aneh tentang Reiner. Sebab tidak ingin membuatnya malu sendiri bila harus mencintai lelaki itu. Sebab Reiner sudah mengatakan bila dirinya tidak berniat untuk menikah lagi. Shabila pun tidak pernah meminta mama baru untuk menggantikan mendiang mamanya. Sementara di rumah sakit …. Reiner sudah mulai masuk setelah lima jam tiba di Indonesia. Ia lalu menghampiri Mario yang masih dirawat di sana. “Ciee, yang habis liburan,” ucapnya dengan pelan. Reiner hanya menyunggingkan senyum. “Agar melakukan proses operasi nanti bisa fokus, Pak Mario.” Pria itu tersenyum miring. “Kelihatan banget sumringahnya, Dok. Habis liburan sama calon mama Shabila?” Reiner terkekeh pelan. Ia tampak salah tingkah lalu geleng-geleng kepala. “Gimana ya, Pak. Saya bingung jelasinnya.” Mario menaikan kedua alisnya. “Bingung gimana, Pak?” tanyanya ingin tahu. Reiner menghela napas kasar. “Dia masih memiliki suami. Tapi, sudah ingin bercerai karena dia terima dimadu.” “Woaw! Hebat banget itu lakinya. Kalau menurutku sih sah-sah saja kalau kalian mau pedekate. Toh, si perempuannya udah nggak mau lagi kan, sama suaminya?” Reiner mengangguk dengan pelan. “Biarlah. Jangan bahas itu. Saya ingin fokus mengobati Anda.” Mario hanya tersenyum. Ia paham betul dengan kondisi Reiner. Sebab dirinya pun pernah ada di posisi seperti itu. Selesai memeriksa kondisi Mario, Reiner keluar dari kamar rawat lelaki itu. Lagi-lagi Tristan datang menemuinya. Senyum yang sedari tadi ia ukir kembali disembunyikan. “Ada apa lagi?” tanyanya dengan pelan. Tristan menghela napas kasar. “Kamu tahu kalau Yara sedang pergi ke luar negeri. Lima hari kemarin, kamu mengambil cuti. Untuk menyusul Yara di sana, kan?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN