Boleh Menyusulmu?

684 Kata
Dua hari berlalu …. Tristan pergi menemui Reiner di rumah sakit. Kebetulan sekali pria itu ada di sana. “Di mana Yara?” tanyanya kemudian. Reiner tersenyum miring mendengar pertanyaan Tristan. “Kamu, suaminya, kan? Kenapa tanya keberadaan Yara padaku? Terakhir kamu membawanya pergi dari resto. Setelah itu, aku tidak pernah lagi bertemu dengannya.” Reiner geleng-geleng kepala kemudian menghela napasnya dengan pelan. “Aku sedang banyak pasien. Jangan menggangguku dengan pertanyaan yang tidak penting seperti itu.” “Reiner. Yara tidak ada di sini. Nomornya pun tidak aktif. Bagaimana aku bisa tahu dia ada di mana.” “Aku juga tidak tahu dia ada di mana, Tristan. Padamu saja dia tidak memberi tahu. Apalagi padaku. Memangnya aku siapanya dia? Hanya dokter yang menangani dia saat sakit sepuluh hari yang lalu!” Reiner kemudian pergi meninggalkan Tristan begitu saja. Malas sekali ia harus bertatap muka dengan orang yang telah membuatnya jauh dari Yara. Ia juga harus mencari alasan kepada Shabila yang menanyakan Yara. “Reiner. Kamu tahu kan, aku sangat mencintai Yara? Jangan pernah merusak semuanya karena kehadiran kamu,” ucap Tristan dengan ucapan pelannya. Reiner menghentikan langkahnya kemudian menghela napasnya pelan. Lalu menoleh dan menatap datar Tristan. “Siapa yang memulai duluan, Tristan? Kamu, kan? Yara tidak akan menjadi seperti itu kalau bukan kamu dulu yang memulainya. Lagi pula, aku tidak pernah berniat merebut istri orang. “Apalagi Yara adalah istri dari temanku. Yara menjadi seperti itu bukan karena pertemuan kami. Tapi, karena ulah kamu yang telah membuatnya ingin berpisah denganmu. Jangan bicara cinta kalau sebenarnya kamu tidak bisa tegas atas perasaan kamu kepada Yara!” Tristan menelan saliva dengan pelan kemudian menatap sayu wajah Reiner. “Aku akan menceraikan Lily setelah melahirkan seorang anak untukku.” Reiner tersenyum campah. “Whatever, Tristan. Itu urusanmu! Kalau kamu memilih seperti itu, apa hubungannya denganku? Yara tidak akan menyimpan perasaan dengan asal. Dia hanya kesepian, butuh teman untuk mencurahkan kesakitan yang dia alami. “Yara sedang pergi. Harusnya dia pergi denganmu karena kalian sudah punya planning ke suatu tempat. Tapi, karena kamu telah berhasil melukai perasaanny, dia ingin pergi sendiri. Pergi ke mananya aku tidak tahu.” Reiner kemudian pergi setelah memberi tahu di mana Yara sebenarnya. Ia kemudian masuk ke dalam ruangan kepala pimpinan di sana yang kebetulan sekali ada Damian—si pemilik saham terbanyak di sana. “Hi, Dok. Kebetulan sekali ada di sini. Bagaimana kondisi Mario?” tanyanya kemudian. “Yaa, seperti yang kita ketahui, Pak Damian. Beliau tidak akan sembuh total sebelum mendapatkan pendonor.” Damian manggut-manggut dengan pelan. “Jawabannya masih sama. Kasihan Rhea, nunggu pendonornya susah banget.” Reiner kemudian menatap Damian lekat. “Pak Damian kenal, dengan Pak Brandon?” “Brandon? Itu bapaknya Kaisan, anaknya Rhea.” Reiner membulatkan bibirnya hingga membentuk huruf O. “Begitu rupanya.” Reiner kemudian menerbitkan senyumnya. “Ada apa, Dok? Tumben, ke sini?” Reiner menghela napasnya dengan panjang. “Saya ingin mengajukan cuti selama lima hari, Dok.” “Lama sekali. Mau ke mana, Dok? Mendadak sekali.” “Ya. Ada yang mesti saya lakukan di luar sana. Nanti tugas saya dialihkan pada Dokter Firman.” Damian menatap Reiner dengan lekat. “Mau ke mana, Dok? Nikah lagi, yaa?” Reiner terkekeh pelan kemudian menggeleng dengan pelan. “Tidak, Pak. Hanya ingin liburan saja. Menenangkan diri sejenak.” Damian manggut-manggut. “Beri izin. Saya ACC.” “Baiklah. Isi form-nya saja, Dok,” ucap Dokter Haris—kepala rumah sakit di sana. “Terima kasih, Dok. Pak Damian. Kalau begitu, saya pamit. Ada satu pasien yang mesti saya periksa.” Reiner kemudian keluar dari ruangan pimpinan di sana dan melangkah dengan lebar menuju ruangannya. Hendak mengisi form cuti meski hanya lima hari. Ia kemudian menghubungi Yara—berharap perempuan itu mau menerima panggilan darinya. “Kenapa, Reiner?” tanyanya kemudian. “Syukurlah kamu menerima panggilan dariku.” Yara terkekeh. “Memangnya kenapa?” “Nggak. Kamu masih di Maldives?” “Masih. Mungkin lima sampai enam hari lagi pulang. Kenapa, Reiner?” Lelaki itu menelan saliva dengan pelan. “Aku … boleh ke sana?” tanyanya dengan sangat hati-hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN