Terkejut

1060 Kata
Reiner hanya diam. Seolah tengah tertangkap basah karena Tristan menebaknya dengan benar. “Diam berarti iya.” Tristan kemudian menyunggingkan senyumnya. “Sampai kapan pun kamu tidak akan pernah mendapatkan Yara! Karena sampai kapan pun juga, aku tidak akan pernah menceraikan dia!” Setelahnya, ia pergi menuju bar untuk mendinginkan kepalanya yang hampir pecah karena emosinya yang meluap-luap kala tahu ternyata Yara liburan bersama dengan Reiner. “Elo yang udah milih untuk nikah secara diam-diam. Dan sekarang elo juga yang kayak orang gila,” sengal Malik—pria yang memberi tahu tentang pernikahan Tristan dan Lily. Tristan kemudian menghela napas kasar. “Elo kan, yang udah kasih tahu dia soal itu? Kenapa sih, harus dikasih tahu?” “Dia nanya. Yaa gue jawab. Batin istri itu kuat, Tristan. Mau elo sembunyikan sekuat tenaga pun dia pasti tahu kebenarannya. Ya udah, mending sekalian aja gue kasih tahu.” Tristan berdecak pelan lalu menuangkan beer kembali ke dalam gelasnya. Dan meneguknya dalam satu tegukan. “Gue nggak mau pisah sama Yara. Gue nggak berniat punya dua istri. Itu semua hanya perintah dari Mama dan Papa aja.” “Karena mereka cuma punya elo doang, Tristan. Mereka butuh keturunan dari elo. Yara kenapa sih, nggak bisa punya anak?” Tristan menghela napas kasar. “Rahimnya luka. Tuba falopinya tersumbat. Nggak bisa hamil dengan normal. Kalau hamil, akan membahayakan kondisinya.” Malik menganga mendengarnya. “Cukup berbahaya. Kalau nanti Yara memaksakan diri untuk kasih anak buat elo, apa yang akan terjadi?” “Akan terjadi keguguran, Malik. Dia juga nggak bisa pembuahan karena tuba falopinya tersumbat. Sulit. Elo paham dengan arti kata sulit?” Malik mengangguk lalu menepuk bahu Tristan. “Ya udah, terima nasib aja. Yara pengen cerai, kan? Ya udah, cerai aja. Lagian, apa yang elo harapkan dari Yara? Orang tua elo udah nagih cucu, dianya nggak bisa kasih. “Biar dia cari jalan bahagianya. Jangan dikekang kayak gitu, Tristan. Elo maunya apa sih, huh? Mau nurutin perintah orang tua elo, atau bertahan dengan Yara? Elo kan bisa ceraikan Lily, talak ada di tangan elo. Dan pergi jauh-jauh dari sini supaya orang tua elo nggak nyariin elo lagi.” Tristan menatap Malik dengan lekat. “Elo gampang ngomong kayak gitu karena sampai sekarang pun belum ada satu perempuan yang nyantol di hati elo. Belum pernah menikah, belum merasakan nunggu anak kayak gimana.” Malik menyunggingkan senyumnya. “Ya udahlah. Percuma banget gue kasih tahu elo. Nasihatin orang kemaruk kayak elo. Lily mau, Yara mau. Serakah lo!” Tristan mengibaskan tangannya. “Setelah Lily kasih gue anak, gue akan menceraikan dia.” “Siapa? Yara?” “Lily.” Malik menyunggingkan senyum. “Elo yakin, Yara mau rawat anak hasil pergulatan elo sama Lily? Elo yakin, Yara masih mau bertahan sama elo? Mikir, Tristan. Jangan egois lah. Kasihan Yara. Elo mau nyiksa anak orang apa gimana sih?” Malik mulai kesal kepada temannya itu. Sebab memilih jalan yang belum tentu Yara kehendaki. Tristan menghela napasnya dengan pelan. “Malam ini gue mau coba untuk menyentuh Lily. Lebih cepat lebih baik.” “Bodo, Tristan. Sono, pulang. Elo udah nikahin dia, kenapa masih elo anggurin itu orang? Tapi, gue nggak jamin Yara mau balik lagi sama elo meski kalian udah dikasih anak sama Lily.” Tristan mengibaskan tangannya lalu beranjak dari duduknya. “Talak ada di tangan gue. Yara nggak akan bisa ke mana-mana meskipun seribu kali menggugat gue!” ucapnya lalu tersenyum miring. Melangkahkan kakinya keluar dari bar itu dan masuk ke dalam mobil. Ia ingin segera memiliki anak dengan Lily. Setelah itu, akan menceraikan dia dan kembali bersama dengan Yara. “Di hatiku hanya ada nama kamu, Yara. Enam tahun pacaran, delapan tahun menikah. Empat belas tahun itu kita lalui bersama dengan penuh cinta. Kamu melupakan itu, heum? Lupa pada semuanya setelah kehadiran Reiner.” Tristan menghela napas pelan. “Aku tidak akan pernah memberi kalian akses untuk bersama. Aku tahu kamu menginginkan istriku, kan? Jangan mimpi!” Sampai akhirnya ia tiba di rumah istri keduanya. Betapa senangnya Lily melihat Tristan datang menghampirinya. “Sudah pulang, Mas?” tanyanya dengan lembut. Tristan kembali melangkah tanpa membalas basa-basi Lily. Perempuan itu kemudian menutup pintu rumah dan menghampiri Tristan yang sudah masuk ke dalam kamarnya. Tengah duduk di tepi tempat tidur—masih mengumpulkan niat untuk menyentuh Lily. “Mas. Mau aku buatkan kopi atau teh?” tanya Lily sembari duduk di samping suaminya itu. Tristan menggeleng pelan. “Lily ….” Ia menghela napas kasar. “Iya, Mas?” Lily sudah siap mendengarkan apa yang ingin dikatakan oleh suaminya itu. Tristan kembali menghela napas kasar lalu menggelengkan kepalanya. Menarik wajah perempuan itu dan meraup bibirnya dengan ganas. Tangannya membuka tali dress yang dikenakan oleh Lily. Tidak peduli, siapa yang tengah ia gerayangi. Matanya tertutup, membayangkan Yara-lah yang dia sentuh. ‘Yara … i love you,’ ucapnya dalam hati. Lily tidak akan pernah tahu bila yang dibayangi Tristan adalah Yara. Dengan gerakan yang cukup lihai, Lily merasakan bahagia yang amat dalam di dirinya. Sebab sudah hampir satu bulan menikah dengan lelaki itu, ia baru merasakan bercinta dengannya. ** Waktu telah menunjuk angka dua belas malam. Yara terbangun dari tidurnya setelah bermimpi buruk. Ia kemudian mengusap wajahnya dan menyalakan lampu meja di sampingnya. “Apa-apaan sih, mimpi aneh kayak gitu. Bodo amat deh.” Yara kemudian beranjak dari tempat tidur dan masuk ke dalam kamar mandi. Membasuh wajahnya dan menghela napasnya dengan panjang. “Alasan Tristan menikah lagi karena ingin punya anak. Jelas harus melalui proses bercinta meskipun belum bisa menyentuhnya menggunakan perasaan cinta.” Yara kemudian menyunggingkan senyumnya. “Atau mungkin semua laki-laki nggak pakai perasaan, kalau lagi bercinta?” Ia kemudian mengendikan bahunya. Lalu keluar lagi dari kamar mandi dan mengambil ponselnya. “Heeuh? Reiner telepon? Ngapain dia telepon?” Ia kemudian balik menghubungi lelaki itu yang baru saja menghubunginya lima menit yang lalu. “Kenapa, Reiner? Aku baru bangun nih.” “Enak banget baru bangun. Aku baru selesai operasi.” Yara terkekeh pelan. “Oh gitu. Tidur atuh, Reiner. Ngapain telepon aku?” Reiner menghela napas kasar. “Nggak bisa tidur. Kamu, mau nggak … temenin aku makan malam? Nggak takut gendut, kan?” Yara tertawa mendengar ucapan dari lelaki itu. “Mau makan jam berapa pun badanku nggak akan naik, Reiner. Ya udah, jemput aja ke sini.” “Aku udah di depan pintu apartemen kamu.” “Haah?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN