Ambisi dan Dendam Istri Terbuang

1147 Kata
Renata sudah kembali ke dalam pelukan satu-satunya keluarga yang tersisa dan dia tidak perlu cemas lagi tentang segala hal. Keputusannya untuk meninggalkan rumah lima tahun lalu demi Gemilang, tidak perlu disesalinya saat ini. Bagi Renata, semua itu sudah memberikannya satu pelajaran dan pengalaman dalam hidup ini. Tidak ada pria yang bisa bertahan pada satu wanita di saat dia sudah memiliki segalanya. “Non Reta makan dulu, ya. Ini udah Bibi buatkan bubur ayam kesukaan Non Reta,” ucap Sumih – salah seorang kepala pelayan berusia lima puluh tahunan itu kepada Renata. “Makasih, Bi. Nanti aku makan buburnya, saat ini aku belum selera makan,” balas Renata dengan nada yang terdengar sangat lemas. “Tapi, Non tetap harus makan walaupun nggak selera. Sekarang, bukan tentang Non Reta aja lagi yang harus dipikirkan. Kalau Non Reta sayang sama anak dalam kandungan Non itu, Non Reta harus bisa mengendurkan sedikit ego yang biasanya menjulang tinggi itu,” terang Sumih dengan bijaksana. Renata yang biasa dipanggil Reta oleh keluarganya itu pun tidak tersinggung sama sekali dengan ucapan Sumih. Selama ini, Renata dan Arjun sudah menganggap Sumih sebagai pengganti orang tua mereka yang telah tiada. Apalagi, Sumih selalu bekerja dan melayani sepenuh hati tanpa pernah melakukan kesalahan ataupun protes pada mereka. Mendengar ucapan Sumih itu, tentu saja Renata kembali teringat bahwa saat ini memang dirinya tidak bisa dan tidak boleh lagi egois. Kehamilannya ini, dia sendiri yang memutuskan untuk mempertahankan. Jadi, Renata tidak boleh hanya memikirkan dirinya sendiri. “Bibi benar. Aku udah memutuskan untuk melahirkan anak ini. Jadi, mana boleh aku buat dia kelaparan dan kekurangan gizi,” kata Renata dengan senyum tipis. Sumih segera mendekat dan menyodorkan semangkok bubur ayam kepada Renata. Sumih adalah orang yang paling mengerti dengan kebiasaan Renata. Biasanya, saat sedih dan tidak mau makan, Renata tidak akan pernah bisa menolak bubur ayam yang dia sajikan. Apalagi, sekarang Renata sedang berbadan dua dan semua itu butuh asupan gizi yang banyak dari biasanya. “Gimana rasanya, Non?” tanya Sumih yang masih setia mendampingi Renata makan. “Masih sama seperti yang dulu, Bi. Aku suka banget,” jawab Renata dan mengacungkan jempolnya pada Sumih pertanda dia suka dan rasanya memang enak. “Makasih, Non Reta. Memang semuanya dibuat dengan bahan dan cara yang sama sejak dulu hingga hari ini,” jelas Sumih pula kepada Renata. “Itu yang paling penting, Bi. Selama apapun waktu berjalan, sejauh apapun masa lalu meninggalkan, sebaik apapun kehidupan sekarang yang kita miliki, jangan pernah melupakan hal-hal kecil yang udah membantu kita kuat dan terus semangat dulunya,” ungkap Renata dengan nada sendu, tapi ini bukan tentang bubur ayam yang baru saja disantapnya dengan nikmat. Reta memang terlihat susah payah menelan bubur itu hingga habis. Sepertinya, dia mengabaikan keenggannya demi bisa memberikan gizi yang baik untuk calon buah hatinya. Renata berpikir bahwa meski Gemilang bersalah dan sudah mengkhianatinya, dia juga membenci Gemilang sampai ke tulang. Namun, Renata tidak bisa membenci darah dagingnya sendiri, walau itu adalah benih Gemilang juga. Waktu terlalu cepat berlalu dan hari ini di mana Renata menerima surat perceraian dari pengadilan agama. Dia merasa sedih dan terluka pada dasarnya, walau bagaimanapun dia pernah bersama Gemilang selama lima tahun dan dia mencintai pria itu. “Kenapa wajah kamu jadi murung dan tampak sedih, Re?” tanya Arjun yang melihat perubahan pada ekspresi Renata saat memegang dokumen cerai di tangannya. “Nggak apa-apa, Mas. Aku hanya ingin membuang semua tangisku untuk pria itu terakhir kalinya. Setelah ini, tak ada satu tetes air mataku pun yang akan jatuh untuk dia!” jawab Renata dengan tegas dan terlihat begitu meyakinkan. “Bagus. Aku nggak mau kamu masih memikirkan dia dan berlarut-larut dalam kesedihan.” “Aku akan langsung ke rumah mereka untuk menyerahkan surat cerai ini, Mas.” “Jangan pergi ke sana sendiri, Reta. Biar Wira dan Seno yang ke sana mengantarkannya. Kamu juga masih belum terlalu sehat untuk pergi keluar rumah. Aku takut kamu justru drop lagi setelah bertemu mereka nanti di sana,” terang Arjun melarang Renata untuk pergi ke rumah Gemilang. “Nggak, Mas. Aku justru semakin sehat dan kuat saat ini, karena aku akan mengantarkan hal terakhir yang mengikatku dengan mas Gemilang.” “Kamu yakin mau mengantarkan itu sendiri?” “Sangat yakin, Mas. Aku ingin melihat mertua dan adik ipar yang selalu menindasku itu untuk terakhir kalinya. Setelah hari ini, aku bisa pastikan mereka nggak akan pernah bisa merasakan bahagia. Mereka akan hancur perlahan-lahan, merasakan sakit dan penghinaan sepuluh kali lipat dari yang pernah mereka berikan ke aku selama lima tahun belakangan ini,” ungkap Renata sungguh dengan penuh tekad dan keteguhan hati yang kuat. Arjuna melihat kesungguhan dan juga ambisi yang tinggi dari raut wajah Renata saat dia mengeluarkan semua kata demi kata itu. Arjun tidak mungkin menghalangi Renata terus, tapi dia memikirkan cara lain untuk tetap bisa melindungi Renata dari serangan keluarga Gemilang nanti. Renata memang sudah terlihat lebih segar dari saat pertama kali dia datang kembali ke rumahnya itu. Arjun dan para pelayan tentu saja merawat Renata dengan sangat baik, terutama Sumih yang begitu peduli dan perhatian pada Renata. Ditambah lagi, semua orang tahu bahwa Renata sedang mengandung keturunan Guntur Wijaya – kakek Renata dan Arjun yang legendaris dalam dunia bisnis. “Oke. Semua udah selesai dan aku akan pergi sekarang, Mas. Kamu nggak ke kantor?” tanya Renata setelah menghabiskan satu gelas s**u hamilnya. “Iya. Ini aku mau berangkat ke kantor juga, sekalian aja gimana? Aku bisa tungguin kamu di depan rumah si breng sek itu.” Arjun menjawab dengan memberikan penawaran pada Renata. “Aku rasa itu nggak perlu, Mas. Aku bisa pergi sama sopir aja dan aku bisa jaga diri baik-baik kok selama di sana. Lagi pula, aku nggak akan lebih dari satu jam berada di sana. Aku hanya perlu mengambil beberapa barang yang memang aku bawa dari rumah kita dulu,” ungkap Renata lagi untuk lebih meyakinkan Arjun pada dirinya. “Oke kalau gitu. Aku berangkat duluan dan jangan lupa kabari aku langsung kalau kamu dalam bahaya. Aku nggak melihat sisi baik lagi dari keluarga mereka.” “Pasti, Mas. Aku udah kembali, tentu aku akan bergantung lagi padamu seperti dulu,” balas Renata dan membuat hati Arjun meleleh dengan senyum manis sang adik kesayangannya itu. Renata melepas kepergian Arjun terlebih dahulu dan kemudian dia pun bersiap untuk pergi ke rumah yang selama ini dia sangka akan selalu menjadi rumahnya. Setengah dari uang untuk membeli rumah itu memang menggunakan uangnya. Renata tidak ingin terlihat banyak uang, jadi dia mengatakan bahwa itu adalah uang tabungannya sejak sebelum menikah. “Harusnya ... bukan aku yang terusir dan angkat kaki dari rumah itu, Mas! Tapi ... nggak masalah bagiku! Aku bisa mengambil lebih banyak lagi dari itu dan membuat kalian semua bertekuk lutut meminta belas kasihan dariku,” gumam Renata dan segera masuk ke dalam mobil pribadinya. Dia memutuskan untuk tidak menggunakan sopir seperti yang seharusnya dia lakukan sesuai perintah Arjun tadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN