Rasti (2)

1263 Kata
“… Anda masih bahagia dengan itu?" Rasti tertawa. "Isa nggak hanya cuek, dingin, dan maniak kerja, tapi juga kikuk, dan payah dalam mengekspresikan perasaannya. Dia memang jenius dalam pekerjaan, tapi sangat bodoh dalam mengurus dirinya sendiri. Meski begitu, meski nggak banyak waktu yang kami habiskan bersama, aku sangat bahagia menjadi istrinya, dan ibu dari anaknya." Fanya tertegun lama, terhipnotis dengan senyum Rasti. Untuk beberapa alasan, dia cemburu dengan wanita ini, dan secara refleks berkata, "Dia tidak mencintaimu." Rasti tidak marah, hanya tersenyum kecil. "Isa juga tidak mencintaimu, Fanya. Dia belum pernah jatuh cinta selain dengan pekerjaannya. Hahaha..." Fanya menghela napas. Sungguh, dia sangat mengagumi Rasti. Perkataan cemoohan Fanya saat itu hanya bagian kecil dari tindakan kekanakannya saat cemburu. Sungguh, dia tahu seberapa besar cinta Isa untuk Rasti. Fanya tahu Isa selalu berusaha keras menyelesaikan pekerjaan agar bisa pulang dan menemui Rasti. Dia tahu Isa tidak pernah lupa ulang tahun Rasti dan selalu kikuk setiap kali akan memilih kado untuk istrinya. Terkadang, saking bingungnya, pria itu malah memutuskan tidak jadi membeli kado, dan malah mentransfer sejumlah uang saja di luar uang belanja. Fanya tahu Isa bahkan lebih sering memedulikan Rasti sejak Bayu muncul. Dia tidak akan pernah lupa bagaimana linangan air mata Isa menumpuk di pelupuk ketika menggendong Bayu untuk pertama kalinya. Dia yang paling tahu besar cinta Isa untuk Rasti dan Bayu. Tahu apa orang-orang di luar, yang mengatakan Isa sangat dingin dan cuek dengan istrinya? Mereka hanya melihat Isa sekilas, sementara Fanya selalu bersama Isa setiap hari. Fanya membantu Isa duduk, lalu berdiam di sebelahnya pula. Isa bergumam antara sadar dan tidak, "Apakah dia bahagia selama ini?" Fanya ingin mengatakan kalau Rasti bahagia, sangat bahagia, tapi sosok anak lelaki usia lima tahun lebih dulu muncul di depan mereka. Mata Isa terbelalak, membawa dirinya kembali ke kenyataan. Bagaimana dia menjelaskan kepada Bayu kalau Rasti sudah meninggal? "Daddy?" Suara kecilnya membawa kembali seluruh suara yang sempat hilang dari pendengaran Isa. Pria itu tertegun saat Bayu memeluk lututnya. "Hemm?" "Di mana Mommy?" Hati Isa seperti tertusuk pedang tajam, sampai membuat lidahnya kelu. Dia hanya mampu menggendong Bayu dan membawa kembali putranya ke kamar rawat. "Daddy?" Mata bundar Bayu yang jernih berkedip bingung. "Hemm?" Isa menyelimuti Bayu, secara tidak langsung menyuruh anak itu tidur lagi. "Granny menangis keras sekali di ruangan itu," tunjuk Bayu ke ruang rawat Rasti. "Ada Grand Pa juga di sana." Bayu menyebut Granny dan Grand Pa untuk orangtua Rasti. "Oma dan Opa juga di sana." Bayu menyebut Oma dan Opa untuk kedua orangtua Isa. "Hemm..." Isa mengusap-usap kepala Bayu. "Kenapa Granny menangis?" Isa menggeleng. "Mommy punya cokelat di kulkas. Daddy bisa kasih cokelat itu untuk Granny, biar Granny nggak nangis lagi." Isa mengangguk. "Hemm..." "Daddy?" "Hemm?" "Di mana Mommy?" Isa mengedip-kedipkan matanya, mencegah buliran bening keluar. "Tidurlah." "Bayu ingin tidur sama Mommy." Isa melepas sepatunya, lalu rebahan di sebelah Bayu, memeluk anak itu. "Hari ini sama Daddy." Bayu tersenyum lebar. Bisa dihitung jari berapa kali dia tidur bersama Isa. Lebih jarang lagi tidur bersama Isa dan Rasti. Karena itu, dia mengangguk puas, dan memeluk Isa. "Daddy hangat, tapi Mommy sangat wangi." Isa terdiam lama sebelum berkata, "Hemm... Mommy sangat wangi." "Besok malam, bisakah Bayu tidur sama Mommy dan Daddy?" Isa diam saja, hanya lebih mengeratkan pelukan ke Bayu. Di luar ruangan, Fanya mengembuskan napas panjang saat menyaksikan Isa dan Bayu. Dia mendatangi dokter, kemudian mengurus semua administrasi untuk proses pemakaman Rasti. Wanita itu juga mengatur sendiri tanah makam untuk Rasti. Dia bahkan menghubungi beberapa relasi Rasti seperti panti asuhan dan kelompok organisasi on line yang dikelola istri Isa itu, untuk memberi kabar duka. Setelah serangkaian proses, Fanya memasuki kamar Rasti, menatap Bertha, ibu Rasti. Bertha menangis histeris karena putri kesayangan dan kebanggannya meninggal di usia belum genap 26 tahun. Diene dan suaminya juga turut sedih. Untuk sesaat, Fanya diam. Fanya sangat memahami kedua keluarga ini. Dia tahu, meski pada awalnya Rasti tidak disukai oleh mertuanya, tapi kinerjanya sangatlah baik selama lima tahun belakangan. Terlebih setelah Rasti melahirkan bayi. Wanita itu nyatanya mampu menjadi istri, menantu, dan ibu yang baik. Dia juga membuat nama baik kedua keluarga dengan idenya membangun panti asuhan, bahkan sering menyumbang pakaian batik perusaahan Isa untuk anak-anak di sana, juga untuk orang-orang yang membutuhkan. Wanita itu aktif di bidang relawan, dan beberapa komunitas sosial untuk membantu orang-orang berkebutuhan khusus pula. Bahkan dengan semua koneksinya, dia tetap rendah hati dan tidak lupa memuji nama suaminya di depan orang banyak, menyebabkan perusahaan dan produksi batik Isa mengalami perkembangan pesat hingga mampu mencapai manca negara. Lebih baiknya lagi, Isa bisa membuka cabang perusahaan di beberapa daerah. Bagi orang luar, terutama orang-orang berpikiran sempit seperti Ayana, Rasti mungkin hanya terlihat seperti ibu rumah tangga biasa yang menjalani kehidupan membosankan, seperti mengurus suami dan anak, tapi Fanya tahu yang sebenarnya. Di sela waktu senggangnya, melalui media sosialnya, Rasti menjalani banyak kegiatan untuk membantu bisnis Isa. Tindakannya ini diketahui oleh kedua mertuanya dan kakek Isa pula, menyebabkan Rasti menjadi cucu menantu kesayangan. Menjadi cucu kesayangan kakek Isa, berarti mendapatkan jackpot; saham, modal, dan kekayaan. Hal ini berimbas pula ke perusahaan bahan dasar pakaian milik keluarga Rasti. Semula hanya perusahaan Isa yang mengambil bahan dasar dari pabrik keluarga Rasti secara tetap dan dalam jumlah besar, tapi dalam lima tahun ini, hampir seluruh kota mengambil pesanan bahan dasar dari mereka. Maka ketika Fanya melihat Bertha menangis histeris untuk Rasti, dia tahu wanita tua itu tidak berakting kali ini. Bertha benar-benar kehilangan pilarnya. Fanya yang berdiri di dekat pintu masuk akhirnya menarik perhatian Yus Rusadi Prayoga, ayah Isa. Mengangguk pelan, mendekat, lalu Fanya berbisik, "Haruskah saya melarang kedatangan wartawan untuk pemakaman besok, Pak?" Rusadi menggeleng. "Tidak perlu, tapi batasi gerak mereka untuk tidak menggangu prosesi." Fanya mengangguk. "Saya mengerti." Fanya keluar kamar, tapi Rusadi mengikuti keluar. Pria yang menginjak usia kepala lima itu bertanya, "Sudah mengabari semua organisasi yang dibina Rasti?" "Sudah, Pak." Rusadi menepuk bahu Fanya pelan. "Meskipun Rasti jarang tampil di media, tapi dia dikenal sebagai istri Isa, maka akan banyak relasi Isa juga yang datang besok. Untuk itu, tolong kamu temani Isa dan Bayu." Fanya sekali lagi mengangguk. "Saya mengerti. Oh, ya, Pak, haruskah saya menjelaskan kepada Bayu tentang Rasti?" Rusadi diam lama, sebelum berkata, "Tanya Isa dulu." Fanya kembali mengangguk. "Baiklah. Ada perintah lain, Pak?" Rusadi menghela napas. "Kalau di luar kantor, kamu bisa panggil saya paman." Fanya tersenyum kecil. "Maaf, Paman, kebiasaan." "Besok, bawakan sarapan untuk istri dan besan saya, ya, Fanya. Meski mereka nggak mungkin selera makan, tapi mereka harus makan, jadi siapkan makanan terbaik." "Sudah saya atur, Paman. Jangan khawatir." Rusadi mengakhiri perbincangan di sana, dan Fanya kembali sibuk menerima panggilan telepon dari banyak relasi, baik dari pihak Isa maupun Rasti.   *   Keesokannya, prosesi pemakaman. Isa masih di kamar rawat putranya, malas bergerak. Fanya masuk, membawakan stelan kemeja dan celana warna hitam, parfum, juga sekotak sarapan beserta air mineral. Isa menoleh sekilas, menghela napas. "Aku tidak lapar." Fanya menyingkirkan sarapan. Tanpa banyak kata, Fanya meletakkan pakaian di sofa depan brankar, lalu balik badan. Dia mengeluarkan tablet dari tas, mulai membaca daftar tugas di sana. "Semua sudah diatur. Saya tidak menerima wawancara dari wartawan untuk Anda, maka saya alihkan ke Indra. Beberapa anak panti akan datang juga, jadi Anda setidaknya harus menyapa mereka. Untuk beberapa relasi dari organisasi binaan Rasti, saya sudah membagi pengaturan kepada Pak Rusadi dan Bu Diene. Untuk kedua orangtua Rasti, saya tidak mengizinkan wartawan mewawancarai mereka, juga tidak membiarkan relasi Rasti menemui mereka. Untuk yang terakhir, apakah saya melakukan kesalahan?" "Tidak. Lanjutkan." Fanya menceklis daftar yang baru dia sebutkan. Lalu melanjutkan ke beberapa jadwal rapat yang dialihkan ke minggu depan. "Apa ada tugas tambahan?" "Pengacara istri saya?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN