"Dia belum pernah jatuh cinta selain dengan pekerjaannya..."
─Rasti─
***
"... Kak Rasti siuman!"
Mendengar itu, Isa segera masuk ke kamar rawat sang istri. Langkahnya tidak terburu-buru, tapi jelas, dia ingin segera menemui Rasti, terlepas betapa datar ekspresi di wajahnya saat ini.
Setelah berada di dalam ruang rawat, Isa segera menekan tombol merah dekat brankar, lalu berdiri bodoh di sisi Rasti yang terlihat kesakitan. Tangan Isa beberapa kali seperti hendak meraih jemari Rasti, tapi ketika melihat wanita itu sangat kesakitan, dia mengurungkan niat, khawatir malah semakin menyakitinya.
Ayana melihat gestur kikuk Isa dan salah paham. Dia pikir Isa jijik memegang tangan Rasti. Jangan salahkan Ayana, karena wajah tanpa ekspresi Isa itu memang sering membuat orang keliru. Hampir saja Ayana mengumpat kesal ke Isa kalau tidak ingat lagi di depan sang kakak.
"Kakak, Ayana di sini," kata Ayana sembari memegang tangan Rasti.
Rasti mati-matian menahan rasa sakitnya, berusaha keras menggerakkan mulut. Matanya berkedip-kedip membiasakan cahaya masuk, tapi malah membuat air mata terus bermunculan.
Tangan Isa gemetar, terulur hendak menghapus air mata Rasti, tapi ragu. Dia benar-benar takut menyakiti Rasti. Lihatlah istrinya yang sangat rapuh itu, seolah menyentuhnya sedikit saja akan menyebabkan luka. Tangan Isa berakhir menggenggam erat pinggiran brankar, menahan rasa frustrasinya.
Isa berkata dengan serak, nyaris tanpa emosi, "Jangan memaksakan diri."
Rasti keras kepala, terus mencoba membuka mulut, seolah ingin mengatakan banyak hal.
Isa kini mencengkeram pinggiran brankar dengan dua tangan, lalu sesekali melihat ke pintu masuk. Ke mana dokternya? Kenapa mereka lama sekali?
"Kak, di mana yang sakit? Kakak bisa mendengarku?" Ayana mengelus-elus punggung tangan Rasti, tapi air mata kakaknya malah semakin menetes.
"I...Sa..." Rasti berusaha keras mengeluarkan suara meski yang keluar seperti cicitan nyaris tak terdengar.
Mendengar itu, jantung Isa berdetak cepat. Dia ingin meringankan penderitaan Rasti, juga mengatakan kalimat penghiburan seperti, 'aku di sini, jangan takut, semua akan baik-baik saja, dokter akan segera datang', atau kalimat sejenisnya. Sayangnya, pemikiran logisnya lebih mendominasi, membalas niat sebelumnya dengan mengatakan, 'apakah mengatakan itu dapat mengurangi rasa sakit di tubuhnya? Tidak ada korelasi antara keduanya, jangan membuang waktu. Dengarkan saja keinginannya'. Karena itulah, tangan Isa yang sempat refleks terulur untuk memenuhi panggilan Rasti, kembali turun ke pinggiran brankar.
Rasti mengangakat tangannya yang diinfus dengan kesulitan.
Ayana menatap tajam Isa yang menurutnya tidak peka. Matanya seolah berkata, "Tidak bisakah kau memegang tangannya sebentar saja?"
Isa masih bersikap bodoh di sana!
"Pegang tangannya!" tegas Ayana ke Isa, terlihat sangat kesal.
Ayana tahu Isa tidak mencintai Rasti, tapi di saat seperti ini, apa susahnya memegang tangan itu untuk menenangkan Rasti? Biar bagaimanapun, Rasti tetaplah istri Isa, yang telah memberi pria itu seorang putra. Dia harusnya lebih menghargai Rasti. Oh, astaga, Ayana benar-benar ingin menghajar pria ini!
Setelah pergulatan sengit antara logika dan hatinya, Isa akhirnya mendengar teriakan Ayana, dan otomatis logikanya ditekan. Dengan hati-hati, Isa memegang tangan Rasti, sangat takut akan mematahkan tangan pucat dengan jemari lentik yang tampak rapuh itu.
Rasti membuka mulutnya, seperti hendak mengatakan sesuatu. Isa pun mendekat ke mulut Rasti. Karena Ayana juga ingin mendengar perkataan kakaknya, dia juga menunduk di saat yang bersama dengan Isa.
Mata Ayana memelotot ketika bibirnya dan bibir Isa nyaris bertabrakan. Kening mereka bahkan sudah bersentuhan selama sedetik. Untung Isa bisa mengerem tepat waktu, dan segera menjauhkan wajahnya dari Ayana. Kalau tidak, entahlah.
Rasti berusaha keras menyatukan tangan Isa dan Ayana, sampai dia berhasil menempatkan tangan Isa di atas tangan Ayana, lalu berkata dengan sangat parau kepada keduanya, "Jaga Bayu..."
Hanya dua kata itu, dan tatapan memohon yang Rasti tunjukkan ke Isa dan Ayana, lalu dia menutup mata untuk selamanya. Bunyi bip panjang menandai akhir hidup Rasti.
Ayana dan Isa membeku di sana, dengan tangan mereka masih menyatu di atas perut Rasti. Sampai akhirnya Anta yang sedari tadi mengamati, mendekati Ayana dan memeluknya, memisahkan tangan yang sebelumnya menyatu. Fanya juga ada di ruangan itu, mendekati Isa hampir di saat bersamaan dengan gerakan Anta. Tanpa banyak kata, sang sekretaris menepuk-nepuk pelan bahu Isa.
Ayana memejamkan mata, memeluk Anta, menghirup dalam-dalam aroma wood dari lekukan leher pria itu. Setetes air mata membasahi pipinya.
Risa masuk, memeluk Rasti sambil meraung ketika bunyi bip panjang memekakan telinga.
Isa terdiam, suara bising Risa dan mesin EKG tak dia dengar. Tiba-tiba dunianya terasa sunyi. Dia bahkan tidak tahu dokter datang dan menggunakan defibrilator untuk menyelamatkan Rasti. Bunyi bip panjang tanda akhir hayat seseorang itu tak kunjung berubah.
Kemudian terdengar dokter berkata, "Wirdina Rasti Angela mengalami kecelakaan, terluka parah dan tidak sadarkan diri ketika ditemukan di tempat kejadian. Terlepas dari usaha yang dilakukan oleh tim dokter, Angela meninggal dunia." Dokter melihat jam tangannya. "Pada hari ini, Sabtu empat Juli pukul empat lebih tujuh menit, Angela meninggal dunia."
Ayana menghela napas, diam lama dalam pelukan Anta. Sampai terdengar Fanya menghubungi keluarga Isa, barulah Ayana berbisik, "Bawa aku keluar dari sini, Anta... Aku nggak bisa menggerakkan kakiku."
Anta segera membawa Ayana ala bridal style, keluar dari ruangan, melewati dua keluarga yang berhamburan hendak masuk ke kamar Rasti. Anta mengabaikan lirikan sinis dua keluarga itu, hanya mengeratkan pegangannya pada bahu Ayana, membiarkan gadis itu mencengkeram bagian depan kaus hitamnya, dan menyembunyikan wajah di dadanya.
Anta tidak menghibur Ayana dengan kata-kata, karena dia tahu Ayana tidak membutuhkannya. Dia membawa gadis itu ke mobil, lalu melajukan kendaraan sepanjang jalan, mengelilingi kota. Sampai Ayana tertidur, barulah dia menghentikan mobil di dekat danau buatan. Anta meraih selimut di jok belakang, menyelimuti gadis itu, tak lupa mengecup pucuk kepalanya .
Sementara di rumah sakit...
Isa tidak bisa mendengar kata-kata penghiburan dari kedua orangtuanya. Dunianya terasa sepi, seolah seluruh suara lenyap bersama Rasti. Dia berjalan linglung ke luar kamar rawat, hampir terjatuh andai Fanya tidak memegangi tangannya.
Hanya Fanya yang mengerti bagaimana hancurnya hati Isa saat ini. Hanya Fanya yang benar-benar tahu seperti apa hubungan Isa dan Rasti. Hanya Fanya yang paham, tulus cinta Isa untuk Rasti tak pernah tersampaikan dengan semestinya karena Rasti sudah selalu memenuhi hidup Isa dengan penuh cinta, dan tidak membutuhkan kalimat 'aku mencintaimu'.
Fanya yang satu kelompok relawan bersama Rasti, pernah bertanya, "Apakah Anda bahagia bersama Pak Isa?"
Rasti pertama-tama tersenyum, tersipu. "Aku sangat bahagia."
"Pak Isa itu cuek, dingin, dan maniak kerja. Sedikit sekali waktu yang beliau habiskan dengan Anda. Anda masih bahagia dengan itu?"
***