“Kamu istri terbaik di dunia...”
─Isa─
***
"Pengacara istri saya?"
"Saya sudah mengatur pertemuan di sore hari setelah wartawan dan relasi pergi."
"Jangan dulu. Saya akan bicara dengannya secara pribadi besok."
"Baik, Pak. Ada hal lain lagi?"
"Tidak."
"Bagaimana dengan Bayu?"
Diam lama.
Fanya menoleh, mendapati Isa kesulitan mengancing bagian lengan kemeja, bahkan ada kancing yang dimasukkan ke tempat yang salah. Dia mendekat, membantu Isa merapikan kemeja dan mengancingkan dengan benar, merapikan pula kerahnya.
"Kamu sibuk hari ini?"
Fanya mengangguk. "Saya tidak bisa menemani Bayu, tapi saya sudah meminta seorang baby sitter dari yayasan."
"Saya tidak memercayai mereka."
Fanya mendongak, lalu melirik arlojinya. "Saya akan usahakan mengalihkan pekerjaan ke Indra, tapi paling tidak cepat pun akan memakan waktu sampai pukul sebelas siang ini."
"Pakai cara itu."
Fanya mengangguk, lalu memasukkan tablet ke tas. "Bagaimana dengan Ayana?"
Ada kernyitan di kening Isa untuk sesaat.
"Maksud saya tentang wasiat Rasti sebelum..."
"Siapa saja yang mendengar permintaan terakhir Rasti tadi malam?"
"Selain Bapak dan Ayana, hanya saya dan pacar Ayana. Risa datang belakangan, tidak sempat mendengarkan."
Isa diam.
"Haruskah kita mengabaikannya? Ayana tidak akan setuju karena dia sudah memiliki pacarnya."
Isa menghela napas, duduk, lalu mengusap wajahnya. Baru kali ini Fanya melihat Isa begitu gusar, selain saat pendapatannya surut drastis enam tahun lalu. Dia berharap, Isa melupakan perkataan Rasti.
"Saya akan melakukannya."
Ada yang tercekat di tenggorokan Fanya sesaat setelah kalimat Isa meluncur. Dengan susah payah, dia berkata, "Saya mengerti."
Fanya balik badan, hendak pergi, tapi Isa meraih pergelangannya. Wanita itu menoleh, ekspresinya penuh tanda tanya.
Isa membasahi bibirnya, sebelum berkata, "Maafkan aku."
Mata Fanya berlinang, tapi dia buru-buru menguatkan hati, dan tersenyum kecil. "Tidak masalah."
"Terima kasih, Fanya ... untuk semuanya."
Fanya mengangguk. Ada rasa ketidakrelaan ketika kehangatan di pergelangannya menghilang.
Saat adegan itulah, Risa menangkap basah keduanya. Dia yang memiliki mata bengkak karena banyak menangis, mendengus dalam hati. Kakaknya baru saja meninggal, tapi abang iparnya malah bermain-main dengan sekretarisnya. Aku tahu Bang Isa nggak mencintai Kak Rasti, tapi nggak harus sekarang, kan, dua orang ini menunjukkan kemesraan? Kak Aya benar, Fanya sangat jelek.
Risa harus mengatakan ini kepada Ayana. Berpikir lebih jauh lagi, dia bahkan ingin Ayana mendapatkan hak asuh Bayu. Remaja SMP ini kasihan dengan nasib keponakannya kalau mendapatkan ibu tiri seperti Fanya. Kalau Risa tidak bisa mendapatkan hak asuh karen usianya, maka Ayana pasti bisa karena sudah dewasa. Dengan pemikiran dan tekad itu, Risa memasuki kamar rawat Bayu tanpa ragu, dan mengagetkan kedua orang dewasa di dalam.
"Bang Isa dicariin ayah," kata Risa dengan suara serak, sisa-sisa raungan kesedihan tadi malam. Dia lalu duduk di tepi ranjang Bayu. "Hari ini aku akan menemani Bayu."
Isa terkejut dengan sikap Risa. Setahunya, adik iparnya yang satu ini memiliki sisi kalem seperti Rasti, tapi barusan, dia mendeteksi nada ketus ala Ayana. Isa menjadi sedikit terhibur. Apakah dia terhibur karena tingkahnya mirip dengan Ayana, atau murni karena itu adalah Risa? Isa tidak memikirkannya lebih jauh.
Isa tahu kalau di luaran beredar gosip tentangnya dan Fanya. Kemudian adik ipar ini melihatnya berduaan dengan Fanya sebelum pemakaman Rasti, tentu menimbulkan kesalahpahaman. Meski begitu, Isa tidak tertarik untuk mengklarifikasi apapun. Dia hanya berlalu dari sana bersama Fanya.
Risa dongkol. Dengan pemikiran polos ala remaja, dia menghubungi Yana untuk mengadu.
***
Ayana terbangun karena dering ponselnya, baru akan mengangkatnya, panggilan itu sudah berakhir. Ayana tidak repot menghubungi kembali Risa yang barusan menghubunginya, karena saat ini otaknya sedang mencerna situasi yang terjadi tadi malam. Akhirnya Ayana sadar kalau dia tertidur di mobil, dan masih dengan pakaian yang dikenakan tadi malam. Saat ingat pemakaman Rasti, dia segera keluar mobil untuk mencari Anta.
Anta datang berlari dengan dua kotak sarapan, melihat Ayana berputar-putar di sekitar danau.
"Merindukanku?"
Ayana bernapas lega, lalu memeluk Anta.
Anta tersenyum kecil, membalas pelukan dengan satu tangan. "Makan dulu, lalu ganti baju. Aku akan mengantarmu ke pemakaman Rasti."
Ayana mengangguk dalam pelukan Anta.
Anta mengamati Ayana yang tidak nafsu makan, tapi memaksakan diri mengunyah sarapan. Sesekali dia akan merapikan anak rambut gadis itu ke belakang telinganya.
"Boleh kutanya sesuatu?"
"Tanyalah," balas Ayana.
"Apa yang akan kamu lakukan dengan permintaan terakhir Rasti?"
Ayana mengernyit. "Permintaan terakhir? Yang menjaga Bayu itu?"
Anta mengangguk.
"Tentu aku akan menjaga Bayu."
Anta seketika kehilangan nafsu makannya.
"Kita bisa menjaganya bersama, kan, kalau pria maniak kerja itu nggak bisa menjaganya?"
Mata Anta berkedip-kedip, lalu dia tertawa pelan. Ayana memang galak, keras kepala, dan pemarah, tapi itu karena sifat dasarnya yang polos dan pikirannya sederhana.
Mengusap-usap pucuk kepala Ayana, Anta berkata, "Ya, kita bisa menjaga Bayu bersama-sama. Kalau perlu, aku akan menikahimu agar kita bisa mendapat hak asuh Bayu."
Mata Ayana berbinar mendengar kata pernikahan. "Itu benar. Isa nggak akan mengizinkanku mengasuh Bayu dengan status, dan pekerjaanku. Hukum juga menentangku selagi ayah kandung Bayu masih hidup. Tapi kalau denganmu, hukum pun nggak bisa menuntut kita. Aku akan cari bukti kalau Isa nggak layak mengasuh Bayu, lalu kita ajukan permohonan hak asuh ke pengadilan."
Anta mengangguk. "Benar." Dia kemudian memikirkan sesuatu. "Bagaimana dengan kerabat Isa yang lain?"
"Isa punya seorang adik lelaki, tapi kehadirannya tidak diakui keluarga. Dua sepupunya masih remaja, tiga sepupu di luar negeri sudah berumah tangga. Kalau dari pihakku, nggak ada kerabat karena kedua orangtuaku anak tunggal."
Anta merenung. "Mereka nggak akan merebut hak asuh Bayu, tapi, bukankah Isa punya sekretaris cantik? Kalau dia menikahi sekretaris itu dan hak asuh Bayu jatuh ke Isa..."
"Enggak! Aku nggak bisa biarkan keponakanku jatuh ke tangan dua orang yang maniak kerja itu. Kita harus melakukan sesuatu, Anta."
"Aku akan siapkan segalanya untuk menikahimu. Tapi itu mungkin memakan waktu sekitar dua minggu."
"Nggak masalah. Aku juga akan pikirkan cara menghalangi pernikahan Isa dan Fanya."
***
Sepulang dari acara pemakaman istrinya, Isa tidak langsung pulang ke rumah. Dia mampir ke klub Freedom dan menenggak beberapa minuman. Sangat larut baru dia kembali ke rumah. Sopir yang membawanya pulang sempat berpikir untuk menghubungi Fanya karena melihat kondisi majikannya yang memprihatinkan, tapi Isa melarang.
Isa berjalan sempoyongan menuju pintu rumahnya. Dia membuka pintu, lalu tertegun lama. Di depannya ada Rasti yang tengah tersenyum manis kepadanya.
“Kamu sudah pulang?” tanya Rasti.
***