Wasiat dan Syarat (2)

1035 Kata
“Kamu sudah pulang?” tanya Rasti. Isa diam saja terhadap ilusi menyakitkan di depannya. “Tadi aku udah promo-in lagi design terbaru produk kamu ke beberapa penyumbang yayasan, dan syukur banget ada yang mau beli dalam jumlah besar, jadi aku kasih tahu nomor Fanya sama mereka...” Isa diam mendengarkan semua cerita Rasti tentang kegiatannya di rumah hari ini. Rasti mengambil tas Isa, dan membimbing suaminya untuk duduk di sofa. Wanita itu kemudian melepas sepatu dan kaus kaki sang suami, masih terlihat bahagia saat menceritakan kegiatannya dengan Bayu. Dalam kenyataannya, Isa hanya duduk diam masih lengkap dengan sepatu dan kaus kakinya. Ilusi Rasti tersenyum ketika melihat Isa diam saja, seolah sudah tahu kalau suaminya itu tidak akan pernah menanggapi ceritanya. Meski begitu, ilusi Rasti masih tetap terlihat bahagia. “Makanan sudah dingin. Kamu mandi dulu selagi aku memanaskannya,” kata Rasti, lalu berjalan menuju dapur. Isa mengikuti sosok ramping yang memiliki wangi Vanila. Ekspresinya masih datar, tapi matanya sudah berkaca-kaca. Tangannya terulur seolah ingin menarik ilusi itu ke dalam pelukan dan mengisi sesuatu yang kosong di hatinya, tapi baru sebentar terangkat, tangan itu kembali turun ke sisi badan dengan lesu. Ilusi Rasti sedang memanaskan makanan sambil bersenandung. Isa memerhatikan bagaimana wanita itu mengucir rambut sebahunya dengan asal. Dia memerhatikan pula wajah sang istri yang berseri-seri seolah sangat bahagia ketika memanaskan masakan. Wanita itu sangat terampil melakukan pekerjaan dapur, seolah telah melakukannya sepanjang hidup. Setelah Rasti menyajikan makanan di meja, Isa duduk di kursi. Ilusi Rasti tersenyum ke arahnya sambil menjelaskan makanan apa yang dibuatnya. “Ayam katsu asam manis, favorit kamu. Kamu nggak suka pedas, jadi aku banyakin manisnya, dan nanasnya. Kamu suka banget nanas, kan?” Isa mengambil sendok dan memakan ayam katsu yang sebenarnya memang ada di sana karena sudah disiapkan Fanya sebelumnya. Ilusi Rasti bertopang dagu, tersenyum lebar dengan sangat manis. Matanya berbinar ketika bertanya, “Gimana? Enak, nggak?” Air mata Isa tumpah ke pipi. “Ini bukan masakan kamu...” Ilusi Rasti menyahut, “Yah, karena kamu diam aja, aku anggap itu enak. Oh, ya, Isa, kamu tahu, tadi di panti Bayu lihat keluarga tiga, ada ayah, ibu sama anaknya. Aku pikir, sekali-sekali, kita juga harus melakukannya untuk Bayu. Nggak usah ke tempat yang jauh, asal bersama-sama, Bayu pasti senang. Ke taman bermain atau kolam renang juga bagus kayaknya. Gimana? Kamu bisa luangkan waktu?” Air mata Isa semakin deras mengalir, dan dia telah meletakkan sendoknya. “Maafkan aku...” Ilusi Rasti kelihatan kecewa dan sedih, tapi dia masih berusaha tersenyum. “Kenapa diam aja? Kamu nggak bisa, ya? Oke, jangan dipikirkan, nanti aku bilangin sama Bayu. Dia anak yang baik, pasti mengerti kamu.” “Maafkan aku...” “Kamu nggak usah ngerasa bersalah. Sungguh, aku bisa mengatasi semuanya.” “Maaf...” “Isa? Apakah aku sudah menjadi istri yang baik?” Isa menutup wajahnya dengan kedua tangan, badannya gemetar karena isak tangis. “Kamu istri terbaik di dunia...” “Isa, aku beruntung menikah denganmu...” “Kenapa kamu pergi? Aku belum mengatakan kalimat yang ingin kamu dengar...” *** Dua minggu kemudian... "Apa? Siapa yang menikah?" Ayana berdiri tiba-tiba, hampir menjatuhkan kursi yang didudukinya. Dia mengejutkan para tetua dari dua keluarga. Hadir di sana adalah kedua orang tua Ayana, kedua orangtua Isa, kakek Isa, dan kakek Ayana. Isa dan Ayana tidak memiliki nenek. Mereka sudah meninggal beberapa waktu lalu. Karena itulah, persahabatan kakek Ayana dan kakek Isa semakin dekat. Tak ayal dua tetua itu masih sering nongkrong di kafe-kafe kelas elit untuk membunuh waktu dan rasa kesepian. Hari ini dua keluarga membahas wasiat Rasti, tapi sebelum itu terjadi, Isa mengagetkan Ayana dengan lamarannya. Isa yang duduk tepat di seberang Ayana berkata dengan dingin, "Kita berdua." "Apa kalian gila?!" raung Ayana, menghadap kedua orangtuanya. "Kak Rasti meninggal karena pria ini, dan sekarang kalian ingin mengirimku kepadanya?" Isa mengernyit. Dia kesal, tapi di wajahnya tidak banyak perubahan ekspresi. " Ayana! Perhatikan cara bicaramu di depan tetua!" bentak Jonathan, ayahnya. "Ayah..." rengek Ayana. "Aku nggak mau nikah sama dia." "Itu permintaan terakhir kakakmu!" bentak Bertha. "Kapan kakak meminta hal gila kayak gitu?!" "Tadi malam," kata Isa. Ayana mengingat semua perkataan Rasti malam itu, lalu duduk kembali hanya untuk menggebrak meja. "Hei, berengsek!" Ayana melempar tisu─yang telah dia gulung-gulung─ke Isa. Dia inginnya melempar benda lain, tapi tidak ada apapun di meja ruang tamu itu, seolah keluarganya paham dengan tabiatnya yang suka melemparkan sesuatu saat dia marah, dan keluarganya tahu kalau Ayana akan marah hari ini. "Bagian mana dari kata-kata kakak yang meminta kita menikah?" teriak Ayana. Isa menahan kesalnya, meski sorot tajamnya gagal bekerja sama. Tidak bisakah gadis ini bicara dengan volume suara normal? Bahkan kakek yang tua pun masih memiliki pendengaran bagus. Isa bilang, "Dia menyatukan tangan kita, dan meminta kita menjaga Bayu." "Jangan konyol! Menjaga, ya menjaga! Kakak nggak menyebutkan kata-kata menikah di sana! Apa kau i***t?" " Ayana!" bentak Jonathan lagi, tapi saat dia hendak melontarkan lebih banyak kata, kakek Isa menggeleng pelan dengan sedikit senyuman di sana. Tetua eksentrik itu bahkan berbisik ke kakek Ayana, "Sejak dulu, aku sangat jarang melihat ekspresi di wajah Isa, selain senyum palsu untuk urusan bisnis, tapi hari ini, aku melihat ada kesal dan marah di sana. Suruh putramu diam, dan kita lihat pertunjukan bagus ini. Sepertinya aku akan menyukai Ayana." Kakek Ayana hanya tertawa kecil, membisikkan kata-kata itu ke putranya. Jonathan menghela napas, melirik Diene yang mendengus jijik melihat Ayana. Meski Ayana bertingkah seperti itu, Jonathan tetap terluka karena pandangan jijik terhadap putrinya. Tapi, apa yang bisa dia lakukan? Ayana memang biang masalah! Sementara itu, di sisi lain, Isa menatap Ayana. "Pakai otakmu." Semua pendengar di sana tercengang. Ini pertama kalinya mereka mendengar kalimat makian dari Isa. Bahkan Ayana yang sangat sedikit melihat Isa tahu kalau pria di depannya ini terkenal dengan sopan santun dan tutur katanya yang baik. Para tetua langsung melirik Ayana. Kakek Ayana, kedua orang tua Ayana dan Diene langsung khawatir kalau gadis itu akan membawa pengaruh buruk untuk Isa. Belum apa-apa, Isa sudah tertular kata-kata makian begini, bagaimana lagi kalau nanti mereka menikah? Diene (ibu Isa) sangat menyayangkan wasiat Rasti. Sementara Rusadi (ayah Isa), dan kakek Isa merasa tertarik dengan perubahan Isa ini. "Hei, kau lah yang nggak pakai otak di sini!" balas Ayana. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN