6. Alasan

1002 Kata
"Aku nggak peduli seberapa nggak pantasnya kamu buat aku. Yang aku inginkan cuma kamu..." ─Ayana─ *** "Daddy udah besar, tapi nggak ke sana?" "Daddy itu jahat. Dulu Daddy sering ninggalin Mommy dan Bayu, kan, jadi nggak boleh ke surga. Nanti kalau udah baik, baru boleh ke surga." Isa cemberut saat Fanya menyalahkan semua kepadanya, tapi dia tidak membenci cara wanita ini menjelaskan. Malah, dia sedikit lega, karena kenyataannya, dia memang jahat. Jika terlihat buruk bisa membuat putranya menjadi baik, pakai cara itu! "Bayu udah baik, dan sekarang mau cepat-cepat besar." Fanya mengangguk, mengusap-usap pucuk kepala Bayu. "Eum, tentu saja! Kalau Bayu udah lebih besar dari Daddy, baru nanti dijemput ke surga." Bayu mengangguk. "Bayu akan cepat besar." Fanya menggendong Bayu, melemparkan tasnya ke Isa. Pria itu sedikit terkejut karena perbuatan lancang Fanya, tapi dia tidak membenci tindakannya. Dia tahu, Fanya selalu totalitas untuk segala hal. "Kalau mau cepat besar, harus banyak makan." "Bayu akan banyak makan." "Bagus, bagus." Bayu memeluk leher Fanya, menatap Isa yang membawa tas Fanya di belakang mereka. "Tante, apa di surga ada cokelat?" "Tentu saja! Di surga ada semua yang Bayu mau." "Robot juga?" "Robot juga!" "Mobil?" "Mobil!" "Di surga, boleh nggak belajar?" "Kenapa Bayu nggak mau belajar?" "Bayu nggak suka belajar." "Kenapa nggak suka belajar?" "Gurunya galak." "Tante Fanya akan memarahi gurunya biar dia nggak galak-galak." Isa tersenyum kecil mendengar interaksi sekretaris dan putranya itu. Sampai mereka ke mobil, dan kendaraan bergerak ke taman bermain, keduanya masih aktif mengobrol. Bayu akan menanyakan banyak hal tentang surga, berulang-ulang, kadang pertanyaan yang sama. Fanya dengan sabar dan semangat menjawab semua rasa ingin tahu Bayu. Dia juga akan menasehati Bayu pelan-pelan untuk kembali bicara dengan Opa-omanya, Granny-Grand Pa, dan Buyut. Fanya menambahkan, "Semua orang juga sedih karena Mommy ke surga duluan. Bayu sebagai anak baik harus ramah kayak dulu ke Granny. Ingat, kan, pas Granny nangis sedih di rumah sakit?" Bayu mengangguk. "Tadi Bayu udah kasih cokelat untuk Granny. Besok Bayu akan bawakan lagi cokelat, dan bicara sama Granny juga, bawa robot juga." Fanya memeluk Bayu, mengecup pipi anak itu. "Bayu anak pintar!" Bayu tersenyum malu-malu, kemudian menatap Isa, menunggu pujian sang ayah. Isa mengangguk pelan, mengusap pucuk kepala sang anak. "Anak pintar." Bayu paling suka ketika Daddy-nya mengusap pucuk kepalanya, dan memujinya. Dia ingin terus mendengar ini sebelumnya, dan baru sekarang bisa tercapai. Bayu ingin seperti ini terus dengan Daddy dan Tante Fanya, lalu nanti dia akan tumbuh besar dan ajak Daddy ke surga menemui Mommy. Daddy sekarang sudah lebih baik, nanti saat Bayu lebih besar, Daddy akan jauh lebih baik lagi. Mommy pasti senang kalau Bayu ajak Daddy ke surga. Isa tidak tahu isi kepala putranya. Dia hanya sangat bersyukur karena ada Fanya di sini. Kalau tidak, dia akan menjawab semua pertanyaan Bayu dengan 'Hemm' atau 'iya' saja. Di rumah Ayana, para tetua melihat kepergian ketiganya. Diene langsung nyeletuk, "Fanya sangat memahami Bayu. Mereka terlihat seperti sebuah keluarga." Kedua orang tua Ayana melirik Diene, sedikit tidak suka. Belum kering makam Rasti, tapi besan ini sudah mengungkit Fanya lagi. Di awal pernikahan juga, besan ini menyanjung tinggi Fanya. Baru ketika Rasti membuktikan diri, dia mulai menerima putri mereka. Sekarang balik ke Fanya lagi. Sungguh menyebalkan. Kakek Isa dan Rusadi juga memandang Diene dengan ekspresi rumit. Mulut wanita ini sepertinya tidak punya rem kalau terkait keinginannya. Untung saja di depan khalayak, dia bersikap seperti bangsawan, kalau tidak, mungkin Rusadi sudah menceraikannya sejak lama. Tidak ada yang menanggapi ucapan Diene. Tanpa perlu dibilang pun, semua orang yang punya mata sudah tahu kalau Fanya sosok sempurna untuk Bayu dan Isa. Tapi, kan, Rasti inginnya Ayana, bukan Fanya! *** Ayana tidak bisa menghubungi Anta, maka dia mengendarai mobilnya ke rumahnya. Niatnya mau menceritakan tentang warisan dan soal baby sitter, tapi saat tiba di sana, rumah Anta malah sepi. Anta punya dua adik kembar usia 8 tahun, dan dua kakak kembar usia 27 tahun yang telah berumah tangga dan tinggal di rumah sederhana ini bersama-sama. Dari dua kakaknya lahir dua keponakan lucu usia dua tahun. Rumah harusnya ramai, terlebih akhir pekan, dan sekarang pukul empat sore, jamnya kumpul keluarga. Mereka punya kegiatan akhir pekan bersama. Mereka akan memesan makanan ringan dan menonton film di ruang keluarga. Kalau bosan, sesekali di akhir pekan, mereka akan ke taman bermain atau kolam renang. Selama dua tahun belakangan, Ayana akan ikut kegiatan itu kalau ada waktu luang. Meski Ayana kadang tidak bisa, mereka tidak lupa mengabari kalau ada kegiatan di luar rumah. Kemarin, tidak ada kabar, artinya, minggu ini kumpul keluarga di rumah. "Permisi," sapa Ayana ke ibu-ibu di sebelah rumah Anta. "Ya, Dek?" "Anta dan keluarganya ke mana, ya, Bu?" Sebelum si ibu menjawab, mesin motor matik terdengar mendekat. Itu Anta! "Anta!" Ayana mendatangi Anta, tampak bahagia, tapi kemudian sedih ketika melihat ekspresi aneh di wajah sang kekasih. "Ada apa?" Anta menggeleng, mencoba tersenyum, tapi gagal. Sejak kapan dia bisa berbohong di depan Ayana? "Ada apa?" ulang Ayana, kali ini dengan suara yang lebih lembut, bahkan dia memegang lengan pria itu. Anta memeluk Ayana, menyembunyikan ekspresi sedih di wajahnya. "Biarkan aku memelukmu sebentar." Ayana menghela napas, tidak memaksa Anta untuk bercerita. Dia menepuk-nepuk punggung pria itu. Setelah beberapa menit, Anta membawa masuk Ayana ke rumah, lalu duduk di sofa. Melihat pacarnya masih kalut, Ayana beranjak ke dapur, mengambilkan minuman dingin, lalu duduk di sebelah pria itu. "Di mana yang lain?" tanya Ayana. Anta menegang sesaat, melirik Ayana usai menenggak air. "Aku nggak mau berbohong, tapi juga nggak mau mengatakan yang sebenarnya. Seenggaknya jangan sekarang." Ayana terkikik pelan. Dia pindah duduk ke pangkuan Anta, melingkarkan tangan ke leher pria itu, kemudian menciumnya. "Jangan bertingkah imut di depanku," bisik Ayana, "atau aku akan memakanmu." Anta mendengkus. "Siapa yang imut? Aku pria! Pria nggak imut!" "Hahaha... Baik, baik. Anta-ku yang tampan dan gagah!" Ayana merengkuh wajah Anta, sekali lagi mendaratkan ciuman. Usai dua menit, keduanya sedikit terengah-engah. "Kamu maniak ciuman!" gerutu Anta, tersenyum kecil. "Memangnya siapa yang membuatku kecanduan?" Anta hanya geleng-geleng kepala sambil tertawa. Ayana rebahan di sofa, menjadikan paha Anta sebagai bantalan kepala. "Bagaimana pertemuannya?" tanya Anta. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN