Alasan (2)

937 Kata
"Bagaimana pertemuannya?" tanya Anta. "Gila!" Ayana langsung duduk tegak. "Sayang, kamu tahu, si gila itu ingin menikahiku!" Ekspresi Anta tidak senang. "Terus?" "Aku tolak lah. Aku bilang akan jadi baby sitter-nya Bayu." Kemudian Ayana menjelaskan dengan detail kejadian di ruang tamu rumahnya beberapa saat lalu. "Jangan khawatir, aku akan bantuin kamu jadi baby sitter." "Gimana sama pernikahan kita?" "Kita punya dua bulan, kan? Santai sedikit, nona baby sitter." "Is, kan, ngejek! Anta, gimana nih? Aku nggak bisa jaga anak-anak." "Hahaha..." Anta menarik Ayana kembali rebahan, mengusap-usap kening gadis itu dengan ibu jarinya. "Kalau nggak bisa jadi baby sitter, harusnya kamu nikah aja sama Isa. Dia kan ganteng, kaya, dan semua gadis ingin menikah dengannya." Ayana menyipitkan mata, menepis tangan Anta, bangkit lalu membelakangi pria itu. Anta tertegun sejenak, pikirannya rumit. "Ay─" "Apa perjuanganku nggak pernah kamu hargai?" Ada yang tercekat di tenggorokan Anta, dan ada sesuatu yang seperti menusuk jantungnya. "Bukan begitu, Ay." Anta memeluk Ayana dari belakang, meletakkan dagunya di atas bahu gadis itu, lalu menghirup dalam-dalam parfum aroma vanila yang menenangkan. "Aku hanya merasa nggak pantas untukmu." "Anta!" Ayana balik badan, matanya menyipit marah, sudah memerah hampir berlinang. "Berapa kali harus aku bilang, aku cintanya sama kamu, dan hanya mau menikah sama kamu. Jangankan keluargaku, bahkan jika seluruh dunia menentang, aku akan tetap memilih kamu! Aku nggak peduli seberapa nggak pantasnya kamu buat aku. Yang aku inginkan cuma kamu." Anta terkejut dengan perubahan emosi Ayana, maka dia langsung membawa gadis itu ke pelukan. "Sst! Jangan bicara lagi. Maafkan aku, oke?" Ayana seolah tidak mendengar, lanjut berkata, "Dari dulu masalah kita cuma ini-ini aja. Aku capek bilangin ke kamu, kalau yang aku inginkan cuma kamu." Ayana memeluk erat Anta, memejamkan mata. "Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu. Aku cuma mau kamu." Anta mengecup pipi Ayana, memeluknya sambil tersenyum. "Aku lebih mencintaimu. Tapi Ay, kenapa kamu sangat mencintaiku?" Jika harus menjelaskan alasannya, Ayana tidak akan bisa. Mungkin dia akan menemukan alasannya jika mengingat kembali pertemuan pertamanya dengan Anta. Hari itu, lebih dari dua tahun lalu... Bertha tidak ingin Ayana mengambil jurusan broadcasting atau penyiaran, karena gadis itu sudah sesuka hati memilih SMK swasta b****k daripada SMA terbaik pilihan keluarga. Jadi, saat kuliah, dia harus mendengarkan orangtuanya, terlebih ketika biaya kuliah masih menjadi tanggungan orangtua. Perseteruan pun terjadi. Ayana membantah, mengatakan bisa cari uang sendiri. Dia bahkan mengancam tidak mau kuliah kalau tidak dengan jurusan pilihannya. Jonathan yang biasa diam, kali itu memukulinya dengan tongkat karena sikap kurangajar Ayana. Dia mengancam akan menghapus gadis itu dari daftar anggota keluarga. Apa Ayana menyerah? Tidak. Semakin dia ditentang, semakin dia berontak. Malam itu juga, meski punggungnya sakit karena dipukul Jonathan, dan pipinya merah akibat tamparan Bertha, Ayana keluar dari rumah dan mencari klub malam Freedom. Dia cukup dikenal di klab itu karena punya kebiasaan taruhan minum. "Hari ini mau taruhan lagi, Ay?" "Yo'i," kata Ayana, sudah mengambil duduk di kursi tinggi depan bar. Tampak tersenyum lebar meski beberapa waktu lalu masih dalam keadaan suram pasca pertengkaran. Bar tender bernama Billy itu geleng-geleng kepala. "Nggak mau diobatin dulu luka di pipinya?" Ayana tidak sempat menjawab pertanyaan Billy karena penantang pertama sudah datang. Seorang bapak-bapak usia 40-an, meletakkan seikat uang yang kesemuanya berwarna merah di meja bar. "Kalau kamu menang, kamu dapatkan uang ini. Kalau saya menang, kamu harus tidur dengan saya." Bapak itu menyeringai. Ayana merengut, mengelus permukaan uang dengan telunjuk lentiknya. "Apa nilai saya hanya sebatas satu ikat?" Ada kerlipan menggoda dari mata bundarnya yang berkabut seolah sedih. Si bapak menelan ludah, mengamati Ayana dari kepala sampai kaki. Hari ini Ayana memakai stelan favoritnya; kemeja over size yang dua kancing teratasnya sengaja dia buka untuk mempertontonkan tulang selangka yang indah, dan hot pants di atas lutut memamerkan paha mulusnya. Rambut merah gadis itu tergerai acak, tapi malah menimbulkan kesan menggoda. Si bapak mengeluarkan kartu kredit platinum, matanya memelotot mengukur d**a Ayana di balik kemeja besarnya. Kemeja itu saja sudah kebesaran di tubuh mungil Ayana, tapi tonjolan gunung kembarnya masih tercetak indah. Itu hanya menimbulkan imajinasi liar seorang pria. Ayana bersiul, tertawa renyah saat memandang kartu kredit itu. Sebenarnya dia juga punya satu di rumah, tapi tidak pernah dia gunakan karena itu pemberian ayahnya. Kalau keluar dari rumah, pekerjaan seperti inilah yang akan dia lakukan. Dia sangat percaya diri dengan toleransi alkoholnya yang sangat tinggi. Sudah dua tahun dia berteman dengan alkohol, dan telah enam bulan memenangkan pertandingan ini tanpa kalah sekalipun. Billy melirik Ayana, sedikit khawatir, lalu berbisik, "Dia juga punya toleransi tinggi terhadap alkohol." Ayana kehilangan senyumnya sesaat, tapi tersenyum semakin lebar di detik berikutnya. "Jangan khawatir, aku akan menang." "Kita mulai?" tanya si Bapak. Ayana mengedikkan bahu. "Saya siap kapan saja." Mereka pun memulai pertandingan. Billy bergantian mengisi gelas kecil bening di depan Ayana dan si Bapak. Sepanjang pertandingan, si bapak akan mengoceh tentang kecantikan Ayana, dan betapa seksinya gadis itu. Dia juga akan membanggakan dirinya yang merupakan direktur utama di Freddy Textile. Sayang sekali si bapak tidak tahu kalau Ayana adalah putri dari Jonathan Freddy, CEO pabrik itu, dan dia juga cucu dari pendiri pabrik itu. Ayana hanya sesekali tertawa renyah, membalas dengan 'oh ya?', 'benarkah?', atau 'terdengar hebat!' sepanjang pertandingan mereka. Setelah putaran panjang, Ayana mulai merasakan pusing, tapi dia tetap memaksakan diri minum lagi. Si bapak akhirnya KO. Ayana tertawa kuat, mengambil kartu kredit dan uangnya, lalu memeluk dengan dramatis. "Aku kaya," katanya dengan kekanakan. Billy geleng-geleng kepala, ikut tertawa. Tidak jauh dari sana, ada sekelompok pemuda yang melirik Ayana sejak tadi, salah satunya Anta. "Dia bunga tercantik di klub ini," kata teman Anta sembari menyenggol lengan Anta. "Kau baru pertama kali ke sini, kan? Lihat dia. Sangat seksi." Anta melirik Ayana, menenggak minumannya, tersenyum kecil. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN