5. Bayu Gatra Prayoga

983 Kata
"Daddy, Bayu nggak nakal kalau diajak ke panti, jadi kenapa sekarang Mommy nggak ajak Bayu ke surga?" ─Bayu─ *** Ayana ingin menjedutkan kepalanya ke dinding! Kakek Isa menyadari kekacauan pikiran Ayana, karenanya dia membantu gadis itu dengan berkata, "Persyaratan sudah disebutkan. Kesimpulannya, Ayana akan menjadi baby sitter Bayu selama dua bulan, dan tinggal di rumah Isa. Setelah dua bulan, kita akan menanyakan kembali apakah Ayana sudah siap menikah dengan Isa." Kedua orang tua dari kedua pihak mengangguk setuju. Apalagi yang bisa mereka lakukan jika Kakek Isa sudah bicara? Ayana menoleh cepat ke kakek Isa. "Kenapa malah jadi nanya siap nikah atau enggak?" Kakek Isa tertawa. "Jangan pikirkan sekarang. Nanti saja." Diene, yang mengipasi dirinya, diam-diam merencanakan sesuatu agar Isa tidak perlu menikahi Ayana. Semula pilihan nikah itu jatuh ke Fanya, tapi sayangnya, Isa sudah berjanji tidak akan menikahi wanita lain selain Ayana. Sekarang dia harus bertanya ke putra bungsunya untuk ini. Putra bungsunya itu, kan, punya seribu cara untuk menyingkirkan musuh. Sungguh, Diene tidak sudi memiliki menantu seperti Ayana! "Isa, lanjutkan topik berikutnya," kata Kakek Isa. Ayana menyipitkan matanya ke Isa. Ada lagi? Apa lagi sekarang? "Ini tentang warisan Rasti." Isa menyerahkan fotokopi surat hak waris dari pengacara kepada kedua orang tua Ayana. Mengatakan secara singkat, "Delapan persen saham di perusahaan saya, lima persen saham di perusahaan papa, panti asuhan, dan toko perhiasan hadiah dari kakek, semuanya Rasti berikan kepada Ayana." Semua pendengar terkejut, tak terkecuali Ayana. "Bagaimana bisa begitu?" protes Bertha (ibu Ayana). "Dia juga masih punya Risa dan Bayu." Isa bilang, "Rasti tahu Bayu memiliki saya, dan Risa memiliki kalian sebagai orang tua. Sementara Ayana..." Isa melirik Ayana yang terdiam dengan sedikit menunduk dan melamun. Dia baru sadar, kalau Ayana memang agak menyedihkan. Terutama saat dia lagi diam. Bisakah gadis ini tetap begini? Dia cantik kalau lagi diam. "Tapi Ayana masih kecil. Dia bahkan belum genap dua puluh tahun," protes Bertha lagi. Ayana mendengkus. "Mom sangat menggelikan. Hukum saja menyatakan usia 18 tahun sebagai dewasa. Kalau menurut Mom usia sembilan belas tahun masih kecil, lalu kapan baru dikatakan dewasa? Saat lima puluh tahun?" Kakek Isa tertawa di saat Bertha menahan kesal setengah mati. Wanita itu menatap Jonathan seolah berkata, "Lihat anak kurangajar itu! Tidak bisakah kau menutup mulutnya?!" Jonathan menghela napas, menatap lagi surat wasiat Rasti. Abai pada Bertha dan Ayana. "Karena itu, ada syarat di sana." Isa menunjukkan pernyataan di paling bawah kertas, seolah tidak mendengar kalimat sarkas Ayana yang sesungguhnya sedikit menggelikan. “Ayana harus berusia dua puluh satu baru bisa mendapatkan semua warisan. Sebelum itu, harus ada walinya." Ayana menyeringai. "Jangan bilang, kamu waliku?" Isa mengangguk. "Saya suami Rasti, maka berhak mengelola warisannya sebelum jatuh ke tanganmu." Ayana sedikit mencondongkan badan ke depan. "Kalau aku menikah dengan orang lain, apakah dia akan menjadi waliku?" Isa akhirnya ingat kalau Ayana memiliki kekasih. Kenapa dia bisa lupa? Dengan nada berat, Isa berkata, "Tentu." Ayana tampak senang, menyandarkan badan ke kepala kursi. "Kalau begitu, aku akan menikahi Anta segera, dan dia akan menjadi waliku." Kedua orang tua Ayana mengalami kenaikan detak jantung mendadak. Apalagi Bertha, yang sudah memegang dadanya, sementara tangan lain menggenggam kuat tangan Jonathan seakan ingin meremukkannya. Jonathan akan menampar Ayana saat itu juga andai tidak ada para tetua dan besannya. Kenapa anak ini sangat kacau? Isa menyeringai samar, sangat tertarik untuk meruntuhkan senyum Ayana. Entahlah, menurutnya, gadis itu lebih terlihat bagus kalau memasang wajah kesal, daripada senyum penuh kemenangan. Karenanya, Isa bilang, "Jangan lupa perjanjian kita selama dua bulan ke depan. Selama dua bulan ini, kamu tidak boleh menikah dengan Anta." Benar saja, Ayana langsung marah dan memukul meja. "Sekarang aku mengerti! Kamu bersikukuh menikahiku cuma demi warisan Kak Rasti, kan?" Isa biasanya tidak peduli dengan cara orang berpikir tentangnya, tapi saat terkait gadis ini, dia merasa kesal. Apakah dia seburuk itu di mata Ayana? Saham Rasti hanya lima persen di perusahaan Isa, sementara Isa memiliki 45%. Jangan hitung saham Isa di perusahaan ayah dan kakeknya, juga ada warisan dari sang nenek, belum lagi warisan kakek-nenek dari pihak ibunya. Oh astaga! Isa tidak semiskin itu sampai menginginkan warisan istrinya! Apa otak gadis ini tidak bisa bekerja dengan baik? Malas berdebat, Isa hanya berkata, "Terserah kamu mau berpikir apa." Kedua orang tua Ayana menenggak air dingin di saat bersamaan. Mengutuk Ayana di dalam hati. Diene menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Ayana. Sementara sisa pendengar hanya bolak-balik melihat dua insan yang bertengkar. Mereka tertarik dengan perubahan ekspresi Isa. Kakek Isa merasakan ketidaksabaran cucunya di sana, dan dia mengambil alih situasi. "Oke, anak-anak, cukup diskusinya. Terlepas dari bagaimana perbedaan pandangan di antara kalian, semua menyetujui satu hal; kita ingin melaksanakan keinginan terakhir Rasti. Apakah Kakek benar?" Ayana mengangguk. Tentu saja dia ingin melakukan keinginan terakhir kakaknya. Lihatlah, betapa sayangnya Rasti terhadap Ayana, sampai seluruh kekayaannya diberikan untuk adik konyol ini. "Kalau begitu, semua selesai di sini." Kakek Isa menatap Ayana, tersenyum kecil. "Ayana, besok datanglah bersama Bayu dan Isa ke rumah Kakek, ya." "Hah? Oh. Iya, Kek." Kakek Isa berdiri, menepuk pundak Kakek Ayana, lalu berjalan keluar ruangan. Dalam proses keluar dari pintu, pria tua ini menyempatkan mengacak rambut Ayana sambil berkata, "Cucu yang nakal. Hahaha..." Kedua orang tua dari kedua pihak menyusul dua tetua keluar, meninggalkan Ayana dan Isa. Ayana mengambil ponselnya, menghubungi Anta, segera keluar rumah pula. Dia tidak sedikit pun memandang Isa. Isa melirik Ayana, masih ingin mengatakan sesuatu terkait psikis Bayu, tapi gadis itu sudah pergi. Dia hanya bisa keluar rumah juga. *** Di taman depan rumah Ayana, duduk seorang anak lelaki usia lima tahunan, sementara Fanya berdiri di sebelahnya sambil menerima panggilan telepon. Sesekali sekretaris Isa itu akan tersenyum dan mengusap pucuk kepala si anak dengan penuh kasih sayang. Saat keluar rumah, pemandangan itulah yang dilihat oleh Ayana. Dia mengernyit sedikit, ada perasaan tidak suka melihat keakraban keduanya. Bayu menoleh ke samping, terlambat melihat Ayana yang telah masuk ke mobil dan meninggalkan rumah. Anak itu melihat kembali ke dalam bangunan besar nuansa biru keperakan, seakan menunggu seseorang. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN